KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT
karena atas limpahan rahmat dan hidayahNyalah kami dapat menyelesaikan makalah
Aqidah Akhlak ini dengan sebaik – baiknya.
Makalah ini membahas tentang akhlak
berpakaian berhias, perjalanan, bertamu serta menerima tamu dalam kehidupan
sehari – hari. Untuk itu kami membuat makalah ini untuk menambah pengetahuan
dan wawasan kita sebagai manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk itu kami mengharapkan sebesar – besarnya, makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita, serta dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari.
Terima kasih banyak atas partisipasi dan dukungan pihak – pihak yang terkait
dalam pembuatan makalah ini. Tak lupa kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan ataupun kata – kata yang menyinggung didalam makalah ini.
Kesenpurnaan hanyalah milik Allah SWT, kekurangan hanyalah milik kami sebagai
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
1. LATAR BELAKANG
Didalam kehidupan sehari – hari terdapat berbagai macam segi kehidupan yang
memiliki aturan dan tata cara yang harus kita taati. Pakaian merupakan
salah satu kebutuhan yang tak bisa lepas dari hidup kita. Seiring dengan
perkembangan zaman, berpakaian sudah menjadi salah satu pusat perhatian dalam
kemajuan globalisasi. Berbagai macam jenis pakaian telah muncul dikehidupan
kita, sehingga membuat kita harus memilih – milih yang mana yang pantas untuk
kita pakai serta tidak melanggar ajaran agama Islam. Begitu juga berhias,
pengaruh dunia barat sangat besar bagi negara kita Indonesia. Alat – alat
semakin canggih, untuk berhias pun tak jadi hal yang susah bagi kita.
Ajaran agama Islam tak hanya membahas hal yang besar bagi manusia, hal yang
kecil seperti perjalanan, bertamu dan menerima tamu dianggap hal yang kecil
bagi sebagian besar manusia untuk dipelajari. Kesadaran akan pentingnya aturan
yang telah ada didalam Al – Qur’an terkadang terlupakan bagi kita. Mengabaikan
hal – hal kecil yang ujungnya akan berakibat bagi kehidupan sehari – sehari.
Melewatkan hal – hal yang kecil secara terus menerus membuat kita membentuk
sebuah kebiasaan yang buruk sepanjang kita lupa akan aturan.
Untuk itu, sebagian besar manusia melupakan aturan – aturan yang telah
ditetapkan. Berpakaian tidak sesuai dengan ajaran Islam, Berhias berlebihan,
menempuhi perjalanan tanpa ingat waktu, bertamu tanpa mengenal siapa tuan
rumah, dan menerima tamu tanpa memperhatikan apa yang harus dilakukan.
Makalah ini dibuat agar menjadi ulasan kembali ingatan kita dan menambah
pengetahuan kita, bahwa berpakaian, bertamu, berhias, perjalanan dan menertima
tamu mempunyai aturan tersendiri.
2. TUJUAN
Adapun tujuan kami membuat makalah ini:
1. Mengetahui pengertian dan pentingnya akhlak berpakaian, berhias, perjalanan,
bertamu dan menerima tamu
2. Mengidentifikasi bentuk akhlak berpakaian berhias, perjalanan, bertamu dan
menerima tamu
3. Menunjukkan nilai – nilai positif dari akhlak berpakaian, berhias,
perjalanan, bertamu dan menerima tamu dalam fenomena kehidupan sehari – hari
4. Dapat Membiasakan akhlak berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu, dan
menerima tamu
3. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan pengertian dan pentingnya akhlak berpakaian, berhias, perjalanan,
betamu dan menerima tamu
2. Sebutkan serta Jelaskan bentuk akhlak berpakaian, berhias, perjalanan,
bertamu dan menerima tamu
3. Apa saja nilai positif dari akhlak berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu
dan menerima tamu
4. Bagaimana cara membiasakan akhlak berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu
dan menerima tamu
A. AKHLAK BERPAKAIAN
Pakaian adalah salah satu alat pelindung fisik manusia. Tentunya pakaian tak
lepas dari kehidupan manusia. Semua kehidupan manusia haruslah sesuai syari’at
Islam, yang mana telah diatur oleh Al – Qur’an. Maka dari itu, manusia haruslah
berpakaian sesuai dengan yang telah diatur oleh Allah SWT. Berpakaian sesuai
dengan syari’at Islam, akan membuat kita merasa itu adalah sebuah kewajiban
untuk menjaganya agar tetap dengan aturan yang ada.
1. Pengertian Akhlak Berpakaian
Pakaian adalah kebutuhan pokok bagi setiap orang sesuai dengan situasi dan
kondisi dimana seorang berada. Pakaian termasuk salah satu kebutuhan yang tak
bisa lepas dari kehidupan. Karena pakaian mempunyai manfaat yang sangat besar
bagi kehidupan kita. Melindungi tubuh kita agar tidak mengalami dan mendapatkan
bahaya dari luar. Dalam bahasa Arabg pakaian disebut dengan kata
“Libaasun-tsiyaabun”. Dan salam kamus besar Bahasa Indonesia, pakaian diartikan
sebagai barang apa yang biasa dipakaioleh seorang baik berupa jaket, celana,
sarung, selendang, kerudung, jubah, surban dll.
Secara isltilah, pakaian adalah segala sesuatuyang dikenakan seseorang dalam
berbagai ukuran dan modenya berupa (baju, celana, sarung, jubah, ataupun yang
lain), yang disesuaikan dengan kebutuhan pemakainya untuk suatu tujuan yang
bersifat khusus artinya pakaian yang digunakan lebih berorientasi pada nilai
keindahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pemakaian.
Pakaian mempunyai tujuan umum untuk melindungi ataupun menutup tubuh manusia
agar terhindar dari bahaya yang dapat merusak tubuh kita secara langsung
melalui kontak fisik. Sedangkan menurut agama lebih mengarah kepada menutup
aurat tubuh manusia, agar tidak melanggar ketentuan syariat.
2. Bentuk akhlak berpakaian
Didalam pandangan IslamDalam pandangan Islam, pakaian terbagi menjadi 2 bentuk
pertama pakaian untuk menutupi aurat tubuh sebagai realisasi dari perintah
Allah bagi wanita seluruh tubuhnya kecuali tangan dan wajah, dan bagi pria
menutup aurat dibawah lutut dan diatas pusar. Batasan pakaian yang telah
ditetapkan oleh Allah ini melahirkan kebudayaan yang sopan dan enak dilihat
oleh kita dan kita pun merasa aman dan tenang karena pakaian kita yang memenuhi
kewajaran pikiran manusia. Sedangkan yang kedua, pakaian merupakan perhiasan
yang menyatakan identitas diri sebagai konsekuensi perkembangan peradaban
manusia.
Apabila berpakaian dalam tujuan menutup aurat dalam Islam, memiliki ketentuan –
ketentuan yang jelas, baik dalam hal ukuran pakaian maupun jenis pakaian yang
akan dipakai. Maka dari itu, sebagai muslim kita harus mengikuti aturan yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Pakaian yang berfungsi sebagai perhiasan menyatakan identitas diri, sesuai dengan
adat dan tradisi dalam berpakaian, yang menjadi kebutuhan untuk menjaga dan
mengaktualisasi dirinya dalam perkembangan zaman. Setiap manusia berhak
mengekspresikan dirinya lewat pakaian yang dipakainya, tetapi tidaklah
sembarangan. Tetap harus mengikuti syari’at Islam.
Didalam Islam, kita mengenal salah satu jenis pakaian yang dapat menutup salah
satu aurat wanita yaitu Jilbab. Jilbab mempunyai berbagai ragam jenisnya,
tetapi walaupun banyak ragamnya Jilbab boleh dikatakan Jilbab apabila dapat
menutup aurat, dari atas kepala manusia sampai dengan dada manusia,menutupi
bagian – bagian yang harus ditutupi terkecuali muka.
Bagi wanita, aurat adalah seluruh bagian tubuh kecuali muka dan telapak tangan,
yang lainnya haram untuk diperlihatkan kepada masyarakat umum. Kecuali bagi
mahram atau maharimnya. Bagi suaminya, wanita tidak mempunyai batasan aurat.
Busana Muslimah haruslah mempunyai kriteria sebagai berikut:
1. Tidak jarang dan Ketat
2. Tidak menyerupai laki – laki
3. Tidak menyerupai busana khusus non-muslim
4. Pantas dan sederhana (Roli A. Rahman dan M. Khamzah, 2008:30)
3. Nilai positif Akhlak Berpakaian
Pakaian sangat berfungsi bagi tubuh kita, salah satunya untuk melindungi kulit
kita. Apabila kulit kita tidak terlindungi oleh pakaian, langsung terkena
pancaran sinar ultra violet, maka kulit kita akan terbakar dan kita bisa
mengalami kanker kulit.
Pakaian juga menjaga suhu tubuh menusia agar tetap stabil, dengan menggunakan
jenis bahan pakaian tertentu, kita bisa menjaga suhu tubuh kita. Pakaian juga bisa
menjadi identitas diri kita, apabila kita menggunakan pakaian yang bagus dan
kelihatan nyaman, berarti kita sudah memenuhi kriteria berpakaian yang sopan,
dan kita pun bisa melakukan ibadah tanpa harus khawatir, apakah baju kita suci
dan pantas untuk dipakai.
4. Membiasakan akhlak berpakaian
Agama Islam memerintahkan pemeluknya agara berpakaian yang baik dan bagus,
sesuai dengan kemampuan masing – masing. Dalam pengertian bahwa pakaian
tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berpakaian, yaitu menutup aurat dan
keindahan.
Islam memiliki etika berbusana yang telah diatur oleh Allah SWT didalam Al –
Qur’an dan Hadits. Didalam Islam, kita sebagai umat Allah tidak diperbolehkan
memakai pakaian yang melanggar aturan Islam, tetap harus mengikuti aturan itu
sampai kita meninggal. Jika kita melanggar, dan tidak mau mengikuti aturan yang
telah ditetapkan oleh Allah, maka sama saja kita orang munafiq. Zaman semakin
berkembang bukan berarti kita harus mengikuti perkembangan yang ada secara
keseluruhan. Pakaian merupakan pengaruh yang besar bagi perkembangan zaman.
Karena, akibat dari perkembangan zaman yang datangnya dari Dunia Barat, sangat
mempengaruhi mode pakaian kita sebagai umat muslim. Maka dari itu biasakanlah
berpakaian sesuai syari’at Islam, agar tidak terpengaruh oleh pengaruh –
pengaruh negatif, yang membuat kita lupa akan Allah serta aturanNya.
KESIMPULAN
Agama Islam adalah agama yang sempurna, mengatur manusia dalam segala aspeknya.
Berpakaian, Berhias, perjalanan, bertamu serta menerima tamu tetap ada aturannya
dalam Islam. Semua akhlak tersebut adalah akhlak terpuji apabila kita
melakukannya hanya karena Allah SWT, tanpa ada niat yang berlebihan dan lain
dari pada niat kita kepada Allah SWT.
Maka dari itu, kita tidak boleh menyalah gunakan arti pakaian. Yang
sebetulnya untuk melindungi tubuh dari bahaya serta menutup aurat, fungsinya
berubah menjadi untuk memamerkan bentuk lekuk tubuh. Berhias juga tidak boleh
kita salah gunakan. Haruslah sesuai kadarnya, agar tidak menimbulkan pandangan
buruk terhadap kita. Dan jangan gunakan Berhias menjadi suatu hal yang maksiat
bagi kita. Perjalanan adalah suatu hal yang mulia.Hal yang suka dilakukan oleh
Rasulullah, dengan mempersiapkan segala aspek, baik waktu, tujuan, makanan,
serta yang lainnya.
Bertamu dapat menyambung tali silaturahmi, baik kepada siapapun. Ketika kita
bertamu, juga harus ingat aturan, karena kita bukan berada didalam rumah kita
sendiri. Menerima tamu juga hal yang mulia. Menerima tamu hukumnya wajib, kita
wajib menerima tamu apabila ia berada didalam rumah kita selama tiga hari.
Apabila tamu itu menginap dirumah kita lebih dari tiga hari, maka menerima ia
dirumah kita bukanlah wajib lagi. Kita berhak mengusir ia apabila mengganggu
ketentraman didalam rumah. Dan menjadi sedekah apabila kita tetap melayani ia
didalam rumah kita.
SARAN
Didalam berpakaian, kita sebagai muslim haruslah tetap berpakaian dengan
mengikuti syari’at Islam, dengan menutup aurat, tidak menggunakan pakaian yang
ketat atau membentuk lekukan tubuh
Halal dan Haram dalam Islam
oleh
Yusuf Qardhawi
2.2 Pakaian dan Perhiasan
ISLAM memperkenankan
kepada setiap muslim, bahkan menyuruh supaya geraknya baik, elok dipandang dan
hidupnya teratur dengan rapi untuk menikmati perhiasan dan pakaian yang telah
dicipta Allah.
Adapun tujuan pakaian
dalam pandangan Islam ada dua macam; yaitu, guna menutup aurat dan berhias. Ini
adalah merupakan pemberian Allah kepada umat manusia seluruhnya, di mana Allah
telah menyediakan pakaian dan perhiasan, kiranya mereka mau mengaturnya
sendiri.
Maka berfirmanlah
Allah s.w.t.:
"Hai anak-cucu Adam! Sungguh Kami
telah menurunkan untuk kamu pakaian yang dapat menutupi aurat-auratmu dan untuk
perhiasan." (al-A'raf: 26)
Barangsiapa yang mengabaikan
salah satu dari dua perkara di atas, yaitu berpakaian untuk menutup aurat atau
berhias, maka sebenarnya orang tersebut telah menyimpang dari ajaran Islam dan
mengikuti jejak syaitan. Inilah rahasia dua seruan yang dicanangkan Allah
kepada umat manusia, sesudah Allah mengumandangkan seruanNya yang terdahulu
itu, dimana dalam dua seruanNya itu Allah melarang keras kepada mereka
telanjang dan tidak mau berhias, yang justru keduanya itu hanya mengikuti jejak
syaitan belaka.
Untuk itulah maka
Allah berfirman:
"Hai anak-cucu Adam! Jangan sampai
kamu dapat diperdayakan oleh syaitan, sebagaimana mereka telah dapat
mengeluarkan kedua orang tuamu (Adam dan Hawa) dari sorga, mereka dapat
menanggalkan pakaian kedua orang tuamu itu supaya kelihatan kedua auratnya."
(al-A'raf: 27)
"Hai anak-cucu
Adam! Pakailah perhiasanmu di tiap-tiap masjid dan makanlah dan minumlah tetapi
jangan berlebih-lebihan (boros)." (al-A'raf: 31)
Islam mewajibkan
kepada setiap muslim supaya menutup aurat, dimana setiap manusia yang berbudaya
sesuai dengan fitrahnya akan malu kalau auratnya itu terbuka. Sehingga dengan,
demikian akan berbedalah manusia dari binatang yang telanjang.
Seruan Islam untuk
menutup aurat ini berlaku bagi setiap manusia, kendati dia seorang diri
terpencil dari masyarakat, sehingga kesopanannya itu merupakan kesopanan yang
dijiwai oleh agama dan moral yang tinggi.
Bahaz bin Hakim dari
ayahnya dari datuknya menceriterakan, kata datuknya itu:
"Ya, Rasulullah! Aurat kami untuk
apa harus kami pakai, dan apa yang harus kami tinggalkan? Jawab Nabi. 'Jagalah
auratmu itu kecuali terhadap isterimu atau hamba sahayamu.' Aku bertanya lagi:
'Ya, Rasulullah! Bagaimana kalau suatu kaum itu bergaul satu sama lain?' Jawab
Nabi, 'Kalau kamu dapat supaya tidak seorang pun yang melihatnya, maka
janganlah dia melihat.' Aku bertanya lagi: 'Bagaimana kalau kami sendirian?'
Jawab Nabi, 'Allah tabaraka wa Ta'ala, lebih berhak (seseorang) malu
kepadaNya." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, Hakim dan
Baihaqi)
2.2.1 Islam Agama Bersih dan Cantik
Sebelum Islam
mencenderung kepada masalah perhiasan dan gerak yang baik, terlebih dahulu
Islam mengerahkan kecenderungannya yang lebih besar kepada masalah kebersihan
adalah merupakan dasar pokok bagi setiap perhiasan yang baik dan pemandangan
yang elok.
Dalam salah satu
hadisnya, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Menjadi bersihlah kamu, karena
sesungguhnya Islam itu bersih." (Riwayat Ibnu Hibban)
Dan sabdanya pula:
"Kebersihan itu dapat mengajak
orang kepada iman. Sedang iman itu akan bersama pemiliknya ke sorga."
(Riwayat Thabarani)
Rasulullah s.a.w.
sangat menekankan tentang masalah kebersihan pakaian, badan, rumah dan
jalan-jalan. Dan lebih serius lagi, yaitu tentang kebersihan gigi, tangan dan
kepala.
Ini bukan suatu hal
yang mengherankan, karena Islam telah meletakkan suci (bersih) sebagai kunci
bagi peribadatannya yang tertinggi yaitu shalat. Oleh karena itu tidak akan
diterima sembahyangnya seorang muslim sehingga badannya bersih, pakaiannya
bersih dan tempat yang dipakai pun dalam keadaan bersih. Ini belum termasuk
kebersihan yang diwajibkan terhadap seluruh badan atau pada anggota badan.
Kebersihan yang wajib ini dalam Islam dilakukan dengan mandi dan wudhu'.
Kalau suasana bangsa
Arab itu dikelilingi oleh suasana pedesaan padang pasir di mana orang-orangnya
atau kebanyakan mereka itu telah merekat dengan meremehkan urusan kebersihan
dan berhias, maka Nabi Muhammad s.a.w. waktu itu memberikan beberapa bimbingan
yang cukup dapat membangkitkan, serta nasehat-nasehat yang jitu, sehingga
mereka naik dari sifat-sifat primitif menjadi bangsa modern dan dari bangsa
yang sangat kotor menjadi bangsa yang cukup necis.
Pernah ada seorang
laki-laki datang kepada Nabi, rambut dan jenggotnya morat-marit tidak terurus,
kemudian Nabi mengisyaratkan, seolah-olah memerintah supaya rambutnya itu
diperbaiki, maka orang tersebut kemudian memperbaikinya, dan setelah itu dia
kembali lagi menghadap Nabi.
Maka kata Nabi:
"Bukankah ini lebih baik daripada
dia datang sedang rambut kepalanya morat-marit seperti syaitan?" (Riwayat
Malik)
Dan pernah juga Nabi
melihat seorang laki-laki yang kepalanya kotor sekali.
Maka sabda Nabi:
"Apakah orang ini tidak
mendapatkan sesuatu yang dengan itu dia dapat meluruskan rambutnya?"
Pernah juga Nabi
melihat seorang yang pakaiannya kotor sekali, maka apa kata Nabi:
"Apakah orang ini tidak
mendapatkan sesuatu yang dapat dipakai mencuci pakaiannya?" (Riwayat Abu
Daud)
Dan pernah ada
seorang laki-laki datang kepada Nabi, pakaiannya sangat menjijikkan, maka tanya
Nabi kepadanya:
"Apakah kamu mempunyai uang?"
Orang tersebut menjawab: "Ya! saya punya" Nabi bertanya lagi.
"Dari mana uang itu?" Orang itupun kemudian menjawab: "Dari
setiap harta yang Allah berikan kepadaku." Maka kata Nabi: "Kalau
Allah memberimu harta, maka sungguh Dia (lebih senang) menyaksikan bekas
nikmatNya yang diberikan kepadamu dan bekas kedermawananNya itu." (Riwayat
Nasa'i)
Masalah kebersihan
ini lebih ditekankan lagi pada hari-hari berkumpul, misalnya: Pada hari Jum'at
dan Hari raya. Dalam hal ini Nabi pun pernah bersabda:
"Sebaiknyalah salah seorang di
antara kamu --jika ada rezeki-- memakai dua pakaian untuk hari Jum'at, selain
pakaian kerja." (Riwayat Abu Daud)
2.2.2 Emas dan Sutera Asli Haram Untuk Orang Laki-Laki
Kalau Islam telah
memberikan perkenan bahkan menyerukan kepada umatnya supaya berhias dan
menentang keras kepada siapa yang mengharamkannya, yaitu seperti yang dikatakan
Allah dalam al-Quran:
"Siapakah yang berani mengharamkan
perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk hambaNya dan begitu juga
rezeki-rezeki yang baik (halal)?" (al-A'raf: 32)
Maka dibalik itu
Islam telah mengharamkan kepada orang laki-laki dua macam perhiasan, di mana
kedua perhiasan tersebut justru paling manis buat kaum wanita. Dua macam
perhiasan itu ialah:
- Berhias dengan emas.
- Memakai kain sutera asli.
Ali bin Abu Talib
r.a. berkata:
"Rasulullah s.a.w. mengambil
sutera, ia letakkan di sebelah kanannya, dan ia mengambil emas kemudian
diletakkan di sebelah kirinya, lantas ia berkata: Kedua ini haram buat orang
laki-laki dari umatku." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Hibban dan
Ibnu Majah)
Tetapi Ibnu Majah
menambah:
"halal buat orang-orang
perempuan."
Dan Saiyidina Umar
pernah juga berkata:
"Aku pernah mendengar Rasulullah
s.a. w. bersabda: 'Jangan kamu memakai sutera, karena barangsiapa memakai di
dunia, nanti di akhirat tidak lagi memakainya.'" (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
Dan tentang masalah
pakaian sutera Nabi pun pernah juga bersabda:
"Sesungguhnya ini adalah pakaian
orang yang (nanti di akhirat) tidak ada sedikitpun bagian baginya."
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan tentang masalah
emas, Nabi s.a.w. pernah melihat seorang laki-laki memakai cincin emas di
tangannya, kemudian oleh Nabi dicabutnya cincin itu dan dibuang ke tanah.
Kemudian beliau
bersabda:
"Salah seorang diantara kamu ini
sengaja mengambil bara api kemudian ia letakkan di tangannya. Setelah
Rasulullah pergi, kepada si laki-laki tersebut dikatakan: 'Ambillah cincinmu
itu dan manfaatkanlah.' Maka jawabnya: 'Tidak! Demi Allah, saya tidak mengambil
cincin yang telah dibuang oleh Rasulullah.'" (Riwayat Muslim)
Dan seperti cincin,
menurut apa yang kami saksikan di kalangan orang-orang kaya, yaitu mereka
memakai pena emas, jam emas, gelang emas, kaling rokok emas, mulut(?)/gigi emas
dan seterusnya.
Adapun memakai cincin
perak, buat orang laki-laki jelas telah dihalalkan oleh Rasulullah s.a.w.,
sebagaimana tersebut dalam hadis riwayat Bukhari, bahwa Rasulullah sendiri
memakai cicin perak, yang kemudian cincin itu pindah ke tangan Abubakar,
kemudian pindah ke tangan Umar dan terakhir pindah ke tangan Usman sehingga
akhirnya jatuh ke sumur Aris (di Quba').
13
Tentang logam-logam
yang lain seperti besi dan sebagainya tidak ada satupun nas yang
mengharamkannya, bahkan yang ada adalah sebaliknya, yaitu Rasulullah s.a.w.
pernah menyuruh kepada seorang laki-laki yang hendak kawin dengan sabdanya:
"Berilah (si perempuan itu) mas
kawin, walaupun dengan satu cincin dari besi." (Riwayat Bukhari)
Dari hadis inilah,
maka Imam Bukhari beristidlal untuk menetapkan halalnya memakai cincin besi.
Memakai pakaian
sutera dapat diberikan keringanan (rukhshah) apabila ada suatu keperluan yang
berhubungan dengan masalah kesehatan, yaitu sebagaimana Rasulullah pernah
mengizinkan Abdur-Rahman bin 'Auf dan az-Zubair bin Awwam untuk memakai sutera
karena ada luka di bagian badannya.
14
Halal
dan Haram dalam Islam
Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi
Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993
2.2.5
Pakaian Wanita Islam
Islam mengharamkan
perempuan memakai pakaian yang membentuk dan tipis sehingga nampak kulitnya.
Termasuk diantaranya ialah pakaian yang dapat mempertajam bagian-bagian tubuh,
khususnya tempat-tempat yang membawa fitnah, seperti: buah dada, paha, dan
sebagainya.
Dalam hadisnya yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Ada dua golongan dari ahli neraka
yang belum pernah saya lihat keduanya itu: (l) Kaum yang membawa cambuk seperti
ekor sapi yang mereka pakai buat memukul orang (penguasa yang kejam); (2)
Perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, yang cenderung kepada
perbuatan maksiat dan mencenderungkan orang lain kepada perbuatan maksiat,
rambutnya sebesar punuk unta. Mereka ini tidak akan bisa masuk sorga, dan tidak
akan mencium bau sorga, padahal bau sorga itu tercium sejauh perjalanan
demikian dan demikian." (Riwayat Muslim, Babul Libas)
Mereka dikatakan
berpakaian, karena memang mereka itu melilitkan pakaian pada tubuhnya, tetapi
pada hakikatnya pakaiannya itu tidak berfungsi menutup aurat, karena itu mereka
dikatakan telanjang, karena pakaiannya terlalu tipis sehingga dapat
memperlihatkan kulit tubuh, seperti kebanyakan pakaian perempuan sekarang ini.
Bukhtun adalah salah
satu macam daripada unta yang mempunyai kelasa (punuk) besar; rambut
orang-orang perempuan seperti punuk unta tersebut karena rambutnya ditarik ke
atas.
Dibalik keghaiban
ini, seolah-olah Rasulullah melihat apa yang terjadi di zaman sekarang ini yang
kini diwujudkan dalam bentuk penataan rambut, dengan berbagai macam mode dalam
salon-salon khusus, yang biasa disebut salon kecantikan, dimana banyak sekali
laki-laki yang bekerja pada pekerjaan tersebut dengan upah yang sangat tinggi.
Tidak cukup sampai di
situ saja, banyak pula perempuan yang merasa kurang puas dengan rambut asli
pemberian Allah. Untuk itu mereka belinya rambut palsu yang disambung dengan
rambutnya yang asli, supaya nampak lebih menyenangkan dan lebih cantik,
sehingga dengan demikian dia akan menjadi perempuan yang menarik dan memikat
hati.
Satu hal yang sangat
mengherankan, justru persoalan ini sekarang sering dikaitkan dengan masalah
penjajahan politik dan kejatuhan moral, dan ini dapat dibuktikan oleh suatu
kenyataan yang terjadi, dimana para penjajah politik itu dalam usahanya untuk
menguasai rakyat sering menggunakan sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat
dan untuk dapat mengalihkan pandangan manusia, dengan diberinya kesenangan yang
kiranya dengan kesenangannya itu manusia tidak lagi mau memperhatikan
persoalannya yang lebih umum.
2.2.6 Laki-Laki Menyerupai Perempuan dan Perempuan
Menyerupai Laki-Laki
Rasulullah s.a.w.
pernah mengumumkan, bahwa perempuan dilarang memakai pakaian laki-laki dan
laki-laki dilarang memakai pakaian perempuan.15 Disamping itu beliau melaknat
laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.16
Termasuk diantaranya, ialah tentang bicaranya, geraknya, cara berjalannya,
pakaiannya, dan sebagainya.
Sejahat-jahat bencana
yang akan mengancam kehidupan manusia dan masyarakat, ialah karena sikap yang
abnormal dan menentang tabiat. Sedang tabiat ada dua: tabiat laki-laki dan
tabiat perempuan. Masing-masing mempunyai keistimewaan tersendiri. Maka jika
ada laki-laki yang berlagak seperti perempuan dan perempuan bergaya seperti
laki-laki, maka ini berarti suatu sikap yang tidak normal dan meluncur ke
bawah.
Rasulullah s.a.w.
pernah menghitung orang-orang yang dilaknat di dunia ini dan disambutnya juga
oleh Malaikat, diantaranya ialah laki-laki yang memang oleh Allah dijadikan
betul-betul laki-laki, tetapi dia menjadikan dirinya sebagai perempuan dan
menyerupai perempuan; dan yang kedua, yaitu perempuan yang memang dicipta oleh
Allah sebagai perempuan betul-betul, tetapi kemudian dia menjadikan dirinya
sebagai laki-laki dan menyerupai orang laki-laki (Hadis Riwayat Thabarani).
Justru itu pulalah, maka Rasulullah s.a.w. melarang laki-laki memakai pakaian
yang dicelup dengan 'ashfar (zat warna berwarna kuning yang biasa dipakai untuk
mencelup pakaian-pakaian wanita di zaman itu).
Ali r.a. mengatakan:
"Rasulullah s. a. w. pernah
melarang aku memakai cincin emas dan pakaian sutera dan pakaian yang dicelup
dengan 'ashfar" (Hadis Riwayat Thabarani)
Ibnu Umar pun pernah
meriwayatkan:
"Bahwa Rasulullah s.a.w. pernah
melihat aku memakai dua pakaian yang dicelup dengan 'ashfar, maka sabda Nabi:
'Ini adalah pakaian orang-orang kafir, oleh karena itu jangan kamu pakai
dia.'"
2.2.7 Pakaian Untuk Berfoya-foya dan Kesombongan
Ketentuan secara umum
dalam hubungannya dengan masalah menikmati hal-hal yang baik, yang berupa
makanan, minuman ataupun pakaian, yaitu tidak boleh berlebih-lebihan dan untuk
kesombongan.
Berlebih-lebihan,
yaitu melewati batas ketentuan dalam menikmati yang halal. Dan yang disebut
kesombongan, yaitu erat sekali hubungannya dengan masalah niat, dan hati
manusia itu berkait dengan masalah yang zahir. Dengan demikian apa yang disebut
kesombongan itu ialah bermaksud untuk bermegah-megah dan menunjuk-nunjukkan
serta menyombongkan diri terhadap orang lain. Padahal Allah samasekali tidak
suka terhadap orang yang sombong.
Seperti firmanNya:
"Allah tidak suka kepada setiap
orang yang angkuh dan sombong." (al-Hadid: 23)
Dan Rasulullah s.a.w.
juga bersabda:
"Barangsiapa melabuhkan kainnya
karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya nanti di hari kiamat."
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Kemudian agar setiap
muslim dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang menyebabkan kesombongan, maka
Rasulullah s.a.w. melarang berpakaian yang berlebih-lebihan, dimana hal
tersebut akan dapat menimbulkan perasaan angkuh, membanggakan diri pada orang
lain dengan bentuk-bentuk lahiriah yang kosong itu.
Di dalam hadisnya,
Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut,
"Barangsiapa memakai pakaian yang
berlebih-lebihan, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan nanti di hari
kiamat." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasa'i dan Ibnu Majah dengan sanad yang
dipercaya)
Ada seorang laki-laki
bertanya kepada Ibnu Umar tentang pakaian apa yang harus dipakainya? Maka jawab
Ibnu Umar: "yaitu pakaian yang kiranya kamu tidak akan dihina oleh
orang-orang bodoh dan tidak dicela oleh kaum filsuf." (Riwayat Thabarani)
islam adalah agama
fitrah. Karena itu, dalam segala urusan kehidupan manusia yang bersifat
duniawi, Islam lebih banyak mengikuti ketentuan yang sesuai dengan fitrah
manusia yang sempurna. Termasuk di dalamnya adalah masalah pakaian. Islam tidak
pernah menentukan ataupun memaksakan suatu bentuk pakaian yang khusus bagi
manusia. Islam tidak mempersoalkan model pakaian yang dipakai oleh suatu bangsa
atau kelompok masyarakat tertentu, bahkan Islam mengakui setiap bentuk pakaian
dan arah hidup manusia.
Islam secara tegas
telah menetapkan batas-batas penutupan aurat bagi laki-laki dan perempuan.
Islam mewajibkan kaum lelaki menutup auratnya dengan pakaian yang sopan,
diutamakan dari pusar hingga lutut, sedangkan bagi wanita, diwajibkan menutup
seluruh anggota badannya, kecuali wajah dan telapak tangannya.
Jika dilihat dari
banyak kasus seperti pelecehan akhlaq, kemesuman, dan perzinahan, salah satu
sebabnya ialah karena kebebasan wanita memakai pakaian yang tidak sopan, ajaran
Islam sungguh merupakan suatu solusi alternatif yang paling tepat.
Pakaian gaya Barat
dirancang bukannya untuk menutup aurat, tetapi untuk mendatangkan syahwat.
Menghias diri memakai make up bukannya untuk suami di rumah, tetapi ditujukan
untuk menarik perhatian orang di jalan atau pertemuan umum. Selera hidup mereka
pun karena tidak dibimbing oleh agama dan lebih terdorong oleh hawa nafsunya,
telah menyebabkan budaya mode-mode pakaian mereka yang serba wah, mewah, dan
memancing nafsu.
Akibatnya, pergaulan
antara pria dan wanita cenderung tidak mengenal kehormatan diri dan tidak lagi
didasari oleh iman dan akhlaq yang terpuji. Duduk-duduk berduaan dengan lain
jenis ditempat sunyi amat mudah dilakukan di mana saja, dan oleh siapa saja.
Sehingga, perbuatan zina pun seakan-akan sudah tidak dianggap sebagai suatu
kejahatan, selama hal itu dilakukan dengan dasar suka sama suka antara yang
bersangkutan.
Sikap dan perilaku
tidak terhormat seperti digambarkan di atas sangat dibenci oleh Islam. Sehingga
untuk mencegah dan menangkalnya, Islam telah mensyariatkan pemakaian jilbab
bagi wanita muslim.
Allah SWT berfirman :
“Hai Nabi, katakanlah
kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri orang-orang mukmin:
Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu.” (Al-Ahzab: 59)
Ayat ini menegaskan
bahwa wanita-wanita mukmin diperintah untuk menjulurkan jilbabnya, yakni
memakai hijab untuk menutup auratnya. Adapun yang dimaksud dengan jilbab atau
hijab itu adalah sejenis baju kurung dengan kerudung yang longgar bentuknya,
yang didesain supaya dapat menutup kepala, muka, dan dada. Model pakaian
seperti itu sudah umum dipakai oleh kaum muslimah karena merupakan simbol
penampilan wanita pribadi yang shalihah.
Rasulullah saw bersabda,
“Wahai Asma’, sesungguhnya wanita itu bila sudah menstruasi (baligh) tidak
pantas terlihat tubuhnya kecuali ini dan ini. Dan beliau menunjukkan muka dan
telapak tangannya.” (HR Abu Dawud dan Aisyah)
Syariat Islam
mewajibkan wanita mengenakan jilbab, yakni berpakaian yang benar-benar menutup
aurat, tidak lagi agar kaum wanita tidak terjerumus menjadi alat penggoda bagi
setan untuk melecehkan akhlaq dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan pakaian yang
sesuai dengan kaidah Islam itu, setidaknya akan melindungi pemakainya dari
godaan setan yang jelalatan di jalanan. Bagi wanita yang memakai jilbab pada
umumnya bisa merasakan adanya semacam kendala diri untuk tidak melakukan
hal-hal yang terlarang dan dicela oleh syara. Dengan kata lain, jilbab dapat
dikategorikan sebagai pengontrol perilaku wanita guna menyelamatkan kehormatan
dirinya dari berbagai macam godaan dan rongrongan setan.
Di samping itu,
dengan tertutupnya aurat, wanita muslim tidak mudah dijadikan permainan oleh
orang-orang yang berniat jahat, terutama kaum lelaki yang mata keranjang dan
suka mengganggu kehormatan kaum hawa. Di dalam tubuh wanita diibaratkan ada
perhiasan yang harus dijaga. Jika dijaga dengan penutup yang rapat, niscaya
perhiasan tersebut akan mudah jadi sasaran kerlingan mata siapa saja. Jadi,
sangat berbeda dengan kaum wanita yang gemar mengumbar auratnya di muka umum
dengan pakaiannya yang tak senonoh. Kelompok wanita ini, seperti biasanya, akan
mudah dituduh sebagai wanita yang tidak berakhlaq mulia dan berselera rendah.
Rasulullah saw
bersabda :
“Seseorang wanita
yang menanggalkan pakaiannya di luar rumah, yakni membuka auratnya untuk
laki-laki lain, maka Allah Azza wa Jalla akan mengelupaskan kulit tubuh si
wanita itu.” (HR Imam Ahmad,
Thabrani, Hakim, dan Baihaki)
Dulu, jilbab yang
merupakan identitas busana muslimah ini pernah menjadi isu politik di sementara
negeri-negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan ketika itu,
masyarakat Islam sendiri umumnya masih menganggap bahwa jilbab merupakan busana
eksklusif yang hanya dipakai oleh kalangan santri di pondok pesantren atau
siswa pada sekolah agama. Sekarang, alhamdulillah, jilbab telah memasyarakat
dan menyeruak ke segenap lapisan masyarakat; dipakai oleh kalangan luas, baik
santri, pelajar, mahasiswa, pegawai, ibu rumah tangga, maupun para wanita
karir, di desa maupun di kota-kota besar.
Mengapa busana
muslimah sampai di zaman modern ini tetap digemari dan dirasa cocok, baik oleh
kawula muda maupun kaum tua?
Selain karena alasan
syara, bentuk pakaian jilbab memang tak pernah ketinggalan jaman, dan akan
tetap eksis atau bertahan di tengah-tengah masyarakat. Sebab, sebenarnya mode
busana muslimah itu tidaklah statis. Boleh-boleh saja ia mengalami renovasi
atau pembaharuan mode yang mengacu kepada modernisasi, sebagaimana yang kini
telah banyak ditampilkan oleh para perancang mode, asalkan semua itu tidak
terlepas dari kaidah-kaidah yang ada dalam Al-Qur’an dan tidak bertentangan
dengan nilai-nilai akhlakul karimah.
Kenyataan ini patut
kita banggakan, lebih-lebih dalam rangka membentengi kaum wanita dari
persaingan mode-mode pakaian Barat yang semakin norak dan tidak berakhlaq.
Kenyataan ini bisa terjadi karena sesungguhnya hukum Islam membolehkan orang
Islam mengenakan pakaian dengan bentuk dan model apa saja sesuai dengan zaman
dan budaya bangsanya, asalkan dapat berfungsi untuk menutup aurat dan tidak
menjurus kepada pemborosan atau kesombongan atau bermegah-megahan. Sebab,
Rasulullah saw telah memperingatkan : “Allah tidak akan melihat dengan
rahmat pada hari kiamat kepada orang yang memakai kainnya (pakaian) karena
sombong.” (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw
bersabda : “Barang siapa meninggalkan pakaian yang mewah-mewah karena
tawadhu kepada Allah, padahal ia mampu membelinya, maka Allah akan memanggilnya
pada hari kiamat di muka sekalian manusia untuk disuruh memilih sendiri pakaian
iman yang mana yang ia sukai untuk dipakainya.”
Ditulis oleh Dewan Asatidz
|
-------
Tanya
-------
Pak ustadz/Ustadzah
Bagaimana pandangan Islam mengenai acara peragaan busana, atau 'fashion
show'. Bolehkah muhajabah mengikuti fashion show, sekiranya dia mengenakan
busana Muslim -- didefinisikan di sini sebagai pakaian wanita yang menutupi
semua aurat? Di dalam Islam, apakah boleh mengadakan acara peragaan busana
Muslim? Bagaimana implikasi pertanyaan di atas ke acara seperti 'Miss
Universe': apakah acara Miss Universe itu dilarang oleh Islam karena
memamerkan aurat melalui pakaian bikini; atau karena memamerkan wanita dari
secara keseluruhan (ketrampilan, kecerdasan beropini, dll)? Bagaimana
pandangan Islam mengenai acara peragaan busana Pria. Apakah acara tersebut
hanya boleh di hadiri oleh pria saja -- dengan catatan kriteria yang lain,
seperti memperagakan pakaian yang islami, terpenuhi?
Atau, apakah wanita juga boleh menghadiri? Hanya sekedar konfirmasi --
Bagaimana dengan acara 'Talent Show', seperti muhajabah berdiri bebas di atas
panggung untuk mengikuti lomba pidato (atau ketrampilan lain yang di
perbolehkan agama)-- di mana tetap di perlukan gerakan-gerakan badan walaupun
cuman sedikit. Acara tersebut tentunya tidak memamerkan aurat. Bolehkah itu
di adakan bila di hadiri juga oleh kaum pria? Tolong penjelasannya dan Terima
Kasih banyak.
Sandy USA
-----------
Jawab
-----------
Assalamualikum Wr. Wb
Saudara Sandy yang baik , Menanggapi pertanyaan saudara tentang hukum
peragaan busana atau Fashion Show dalam Islam ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan . Pertama, pakaian yang diperbolehkan perempuan adalah yang
menutup aurat dengan batasan warna yang tidak mencolok dan tidak membentuk
lekuk tubuh, tidak transparan dan tidak menyerupai pakaian laki-laki dan
pakaian non muslim. Hal ini sejalan dengan ayat 59 surat al Ahzab yang
artinya"Hai nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak permpuanmu
dan istri-istri oran gmu'min, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka tidak diganggu. Dan
Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" .
Dari sini,
pelaksanaan peragaan busana dan mengikuti tren mode tentu diperbolehkan
dengan catatan peragaan tersebut dilakukan untuk dakwah Islam dan syiar
busana Islami. Lebih lanjut adalah, bahwa acara tersebut hanya dihadiri oleh
kaum perempuan saja tidak lebih. Sehingga tidak ada acara dimana perempuan
berlenggak-lenggok di depan pria meski ia memamerkan busana muslimah yang
muhajabah. Kedua, seperti jawaban di atas bahwa acara peragaan busana tentu
diperbolehkan dalam Islam dengan syarat acara itu bukan bersifat pemborosan,
memeragakan pakaian Islami atau yang sopan dan acara tersebut hanya
dikhususkan bagi perempuan.
Dengan demikian
jika peragaan busana tersebut bukan memperagakan busana yang sesuai dengna
ketentuan busana dalam Islam dan di hadiri oleh kaum laki-laki maka Islam mengharamkan
hal ini. Ketiga, sebagai implikasi dari jawaban di atas pula bahwa acara
kontes keputrian dan ratu sejagat atau "Miss Universe " dengan
memamerkan aurat dan berpakaian bikini meski yang diujikan di sana adalah
ketrampilan, kecerdasan, kepiawaian perempuan dalam berbagai bidang, namun
asal hukum untuk bisa diperbolehkan tetap tidak terpenuhi yaitu membuka aurat
di depan publik dan berpakaian yang jelas tidak sesuai dengan Islam hal ini
tentu diharamkan Islam dengan tidak ada pertentangan di dalamnya meski far'u
(cabang ) dari acara tersebut mengasah kemampuan perempuan. Keempat, setiap
sesuatu tindakan di muka bumi ini ada dua ekses yang akan dihasilkan, apakah
hal itu membawa manfaat atau mudlarat (bahaya ).
Begitu pula dengan
peragaan busana pria, jika kegiatan tersebut membawa manfaat yang lebih besar
dari pada sisi negatif yang akan dihasilkan maka diperbolehkan, dengan
catatan pula misalnya peragaan tersebut untuk menawarkan bentuk pakaian yang
disyariatkan Islam atau untuk kegiatan syi’ar agama Islam, menggalang dana
dan lain sebagainya. Akan halnya kegiatan tersebut dihadiri oleh wanita,
selama tidak terjadi atau tidak mengacu terjadinya hal-hal yang dilarang
agama diperbolehkan.
Namun tentu dalam
hal yang demikian ada kehati-hatian, karena kegiatan yang bersifat
"fun" banyak terjadi kerancuan hukum tanpa disengaja. Maka kembali
seperti hal di atas, bila aktifitas tersebut membawa mudlorat yang tidak
sedikit pada wanita tentu hal itu tidak diperbolehkan agama. Kelima,
sedangkan "Talent Show" seperti lomba berpidato, tilawatil
qur’an, atau kompetisi yang bersifat positif dan dalam keadaan mutahajibah
bagi wanita terdapat dua pendapat:
Pertama, para ulama
yang tidak memperbolehkan kegiatan tersebut dihadiri secara umum oleh pria
dan wanita dengna alasan bahwa gerak gerik perempuan sangat berpotensi
membawa syahwat bagi pria, dan suara perempuan adalah aurat, dan
memungkinakan timbulnya fitnah.
Kedua, pendapat
ulama yang memperbolehkan perempuan untuk tampil di depan publik dengan
catatan untuk kegiatan yang bersifat da’wah, syiar Islam, mengasah
kemmapuan tanpa berusaha untuk menarik perhatian lawan jenis dengan berbagai
gerakan atau pakaian yang tidak diperbolehkan agama. Tentu hal ini bisa
berlaku pada beberapa jenis kompetisi yang biasa digelar.
Dengan ketentuan
tersebut pria bisa saja hadir dalam majlis tersebut. Demikianlah dua jawaban
pertanyaaan yang saudara ajukan dengan menimbang kembali bahwa hal-hal yang
tidak diatur secara detail dalam Alqur’an dan hadist terdapat hukum-hukum
fiqhiah yang menyentuh pada permasalahan tersebut. Seperti kemaslahatan dari
berbagai aktifitas yang dilakukan apakah akan menimbulkan manfaat atau justru
memacu munculnya madlarat atau ekses negatif dari hal tersebut. Selain hal
itu, apakah kegiatan tersebut perlu dihindari atau dilaksanakan atau lebih
mengedepankan prenventation, pencegahan pada hal-hal yang berbahaya sehingga
bisa terhindar dari hal negatif yang akan dihasilkan. Akhirnya, semoga kita
semua selalu dikarunia Yang Maha Kuasa kemampuan untuk terus menjaga seluruh
aktifitas kita dari hal-hal yang tidak diperbolehkan agama, amiin .
|
Bagaimanakah
aturan islam tentang berpakaian, baik bagi laki-laki ataupun perempuan ?
Salah satu perbedaan
sistem Islam dengan sistem Kapitalis adalah bahwa sistem Kapitalis memandang
persoalan sosial dan rumah tangga dianggap sebagai masalah ekonomi, sedangkan
sistem Islam masalah-masalah di atas dibahas tersendiri dalam hukum-hukum
seputar interaksi pria-wanita (nizhâm al-ijtima’iyyah). Misalnya dalam sistem
kapitalisme tidak ada istilah zina jika laki-laki dan perempuan melakukan
hubungan suami isteri tanpa ikatan pernikahan asal dilakukan suka-sama suka
atau saling menguntungkan sebaliknya disebut pelecehan seksual dan pelakunya
dapat diajukan ke pengadilan jika seorang suami memaksa dilayani oleh seorang
isteri sementara isterinya menolak.
Karena itu dalam persoalan pakaian antara penganut sistem kapitalis dan sistem
Islam jelas perbeda. Dalam sistem kapitalis pakaian dianggap sebagai salah satu
ungkapan kepribadian, sebagai unsur penarik lawan jenis dan karena itu memiliki
nilai ekonomis. Bentuk tubuh seseorang –apalagi wanita– sangat berpengaruh
terhadap makna kebahagiaan dan masa depan.
Adapun Islam menganggap bahwa pakaian digunakan memiliki karakteristik yang
sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan
penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam:
1. Pakaian dikenakan oleh seorang muslim maupun muslimah sebagai ungkapan
ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu berpakaian bagi seorang muslim
memiliki nilai ibadah. Karena itu dalam berpakaian iapun mengikuti aturan yang
ditetapkan Allah.
2. Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya (bagaimana dia
menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya) dan nafsiyahnya (dengan
tolok ukur apa dan seberapa banyak dia berbuat dalam memenuhi kebutuhan hidup
dan melampiaskan nalurinya).
3. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan adalah
takwanya.
Melalui cara berpakaian yang Islami, sesungguhnya Allah juga berkehendak
memuliakan manusia sebagai makhluk yang memang telah Allah ciptakan sebagai
makhluk yang mulia. Sebaliknya dengan tidak mengikuti cara berpakaian sesuai
yang dikehendaki Allah, menyebabkan kedudukan manusia jatuh.
Walhasil seorang muslim dan muslimah wajib mengetahui aturan berpakaian agar
dalam berpakaian dan berpenampilan ia akan mendapatkan ridha Allah, bukan
sebaliknya mendapatkan murka Allah.
B. Pakaian Bagi Seorang Muslim
Pakaian yang dikenakan oleh seorang muslim haruslah memenuhi syarat tertentu,
yakni:
1. Menutup aurat;
2. Tidak terbuat dari emas atau sutera;
3. Tidak menyerupai pakaian wanita;
4. Tidak menyerupai orang-orang kafir.
C. Aurat Laki-Laki
Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, berdasarkan riwayat ‘Aisyah:
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari kakeknya, beliau menuturkan bahwa
Rasulullah Saw bersabda: “Jika ada di antara kalian yang menikahkan pembantu,
baik seorang budak ataupun pegawainya, hendaklah ia tidak melihat bagian tubuh
antara pusat dan di atas lututnya.” [HR. Abu Dawud, no. 418 dan 3587].
Rasulullah Saw bersabda:
Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut. [HR. ad-Daruquthni dan
al-Baihaqi, lihat Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid].
Dari Muhammad bin Jahsyi, ia berkata: Rasulullah Saw melewati Ma’mar, sedang
kedua pahanya dalam keadaan terbuka. Lalu Nabi bersabda:
“Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu itu, karena sesungguhnya kedua paha itu
aurat.” [HR. Ahmad dan Bukhari, lihat Ahkamush Sholat, Ali Raghib].
Jahad al-Aslami (salah seorang ashabus shuffah) berkata: pernah Rasulullah Saw
duduk di dekat kami sedang pahaku terbuka, lalu beliau bersabda:
“Tidakkah engkau tahu bahwa paha itu aurat?” [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan
Malik, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].
Juga Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ali ra: “Janganlah engkau menampakkan
pahamu dan janganlah engkau melihat paha orang yang masih hidup atau yang sudah
mati.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali
ash-Shabuni].
Larangan Memakai Emas Dan Sutera Bagi Laki-Laki
Larangan ini berdasarkan hadits:
Diriwayatkan dari al-Bara’ bin Azib r.a katanya: “Rasulullah Saw memerintahkan
kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara. Baginda
memerintahkan kami menziarahi orang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang
bersin, menunaikan sumpah dengan benar, menolong orang yang dizalimi, memenuhi
undangan dan memberi salam. Baginda melarang kami memakai cincin atau bercincin
emas, minum dengan bekas minuman dari perak, hamparan sutera, pakaian buatan
Qasiy yaitu dari sutera, serta mengenakan pakaian sutera, sutera tebal dan
sutera halus.” [HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan
Ahmad, CD Al-Bayan 1212].
Larangan Menyerupai Wanita
Seorang laki-laki dilarang bertingkah laku, termasuk berpakaian menyerupai
wanita dan sebaliknya seorang wanita bertingkah laku termasuk berpakaian
seperti laki-laki.
Larangan Menyerupai Orang Kafir
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) dilarang bagi muslim maupun
muslimah. Tasyabbuh dapat dilakukan melalui pakaian, sikap, gaya hidup maupun
pandangan hidup.
Bagi seorang laki-laki pakaian yang harus dikenakan sama, apakah dia di dalam
rumah, di luar rumah, di hadapan mahram atau bukan, kecuali di hadapan isteri.
D. Pakaian Bagi Seorang Muslimah
Adapun pakaian yang dikenakan oleh seorang muslimah haruslah memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur,
mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Rincian masing-masing persyaratan di atas berbeda-beda berdasarkan:
1. Keberadaan wanita di tempat umum atau di tempat khusus.
2. Keberadaan wanita di hadapan mahram atau bukan atau di hadapan suami atau
bukan.
Penampilan wanita dibedakan antara tempat khusus dan tempat umum. Misalnya di
dalam rumah sendiri seorang wanita boleh membuka jilbabnya dan hanya memakai
mihnahnya, kecuali jika ada tamu laki-laki non muhrim. Adapun di tempat umum
penampilan wanita dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Kewajiban menutup aurat, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
b. Kewajiban menggunakan pakaian khusus di kehidupan umum, yaitu kerudung
(khimar) dan jilbab (pakaian luar yang luas (seperti jubah) yang menutup
pakaian harian yang biasa dipakai wanita di dalam rumah (mihnah), yang terulur
langsung dari atas sampai ujung kaki.
c. Larangan tabarruj (menonjolkan keindahan bentuk tubuh, kecantikan dan
perhiasan di depan laki-laki non muhrim atau dalam kehidupan umum).
d. Larangan tasyabbuh terhadap laki-laki.
Khusus untuk wanita menopause diperbolehkan Allah untuk melepaskan jilbabnya
hanya saja tetap diperintahkan untuk tidak tabarruj, sehingga diperbolehkan baginya
menggunakan baju panjang selapis/tidak rangkap (bukan jilbab) model apa saja
selama tidak menampakkan keindahan tubuhnya seperti baju panjang atas bawah,
kulot panjang dan lain-lain, Qs. an-Nûr [24]: 60).
Pakaian wanita di dalam rumahnya cukup menggunakan mihnah (kecuali ada tamu
bukan mahrom, maka wajib menutup aurat yang harus ditutup di hadapan bukan
mahrom). Di hadapan mahrom maka cukup menggunakan mihnah (kecuali di tempat
umum maka harus memenuhi pakaian wanita di tempat umum), di hadapan suami tidak
ada keharusan menutup bagian tubuhnya (walaupun dianjurkan tidak telanjang).
E. Aurat Wanita
Pembahasan aurat wanita dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu:
1. Di hadapan suami mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian
tubuhnya (berdasarkan hadits riwayat Bahz bin Hakim).
2. Di hadapan muhrimnya dan orang-orang yang disebut dalam Qs. an-Nûr [24]: 31
dan Qs. an-Nisâ’ [4]: 23 maka baginya boleh menampilkan bagian tertentu dari
anggota tubuhnya yang biasa disebut mahaluzzinah yaitu anggota badan yang
biasanya dijadikan tempat perhiasan, seperti: kepala seluruhnya, tempat kalung
(leher), tempat gelang tangan (pergelangan tangan) sampai pangkal lengan dan
tempat gelang kaki (pergelangan kaki) sampai lutut. Mahaluzzinah ini biasa
tampak ketika wanita memakai baju dalam rumah (mihnah). Selain itu anggota
tubuh lain boleh tampak termasuk apabila ada hajat seperti perut, payudara,
kecuali aurat yang ada di antara pusar dan lutut.
Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT:
“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada
mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali…” (Qs. an-Nûr [24]:
31).
Kata zinah yang secara bahasa berarti perhiasan, tetapi bukanlah perhiasan yang
biasa dipakai orang tetapi makna zinah di sini adalah anggota badan yang
merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena illa mâ zhahara minha yang
dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat itu (saat ayat ini turun) yaitu
muka dan telapak tangan, jadi menyangkut anggota badan.
1. Adapun di hadapan laki-laki selain suami dan muhrimnya maka aurat wanita
adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Dasar dari penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan
telapak tangan, yaitu:
“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Sedangkan yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya adalah wajah dan
telapak tangan. Karena dua bagian ini yang biasa nampak dari wanita muslimah di
hadapan Rasul Muhammad Saw (baik dalam sholat, haji maupun dalam kehidupan
sehari-hari di luar sholat dan haji) dan Rasul mendiamkannya sementara
ayat-ayat al-Qu’ran masih turun. Tafsir mengenai hal ini, Ibnu Abbas menyatakan
yang dimaksud dengan illa mâ zhahara minha adalah muka dan tangan, juga dari
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan “Pendapat yang paling kuat dalam masalah
ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka
dan telapak tangan.” (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 18, hal. 94).
Hal tersebut diperkuat dengan sabda Rasul Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari
tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk pada wajah dan telapak
tangannya.” [HR. Abu Dawud, No. 3580].
Qs. an-Nûr [24]: 31 turun sebelum ayat tentang jilbab sehingga ayat ini hanya
menyampaikan batasan aurat dan perintah memakai kerudung. Sedangkan kewajiban
berjilbab akan dibahas menyusul.
Adapun berkaitan dengan apa aurat itu ditutup, maka sesungguhnya syara’ tidak
menentukan pakaian tertentu untuk menutup aurat, tetapi hanya memberikan
beberapa syarat yaitu:
1. Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).
2. Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna kulit dari
wanita yang memakainya, yaitu apakah kulitnya putih, merah, kuning, hitam dan
lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut tidak dapat diianggap sebagai
penutup aurat. Jika pakaian itu tipis misal brokat, kerudung tipis, kaos kaki
tipis, rukuh tipis dan lain-lain, sehingga kelihatan warna kulit (rambut) si
pemakai pakaian itu, maka wanita yang memakai pakaian tersebut dianggap
auratnya tampak atau tidak menutupi auratnya. Dalil bahwa syariat Islam telah
mewajibkan menutup kulit sehingga tidak tampak warna kulitnya adalah hadits
yang diriwayatkan dari A’isyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’ binti
Abu Bakar datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yang tipis maka
Rasulullah memalingkan wajahnya dari Asma’ dan bersabda:
“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat
dari tubuhnya kecuali ini dan ini…” [HR. Abu Dawud, no. 3580].
Rasulullah dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup aurat
dan menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau memalingkan wajah dari Asma’
dan memerintahkan Asma’ untuk menutup aurat. Dalil lain yang memperkuat dalam
masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah:
“Perintahkan isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di bawah
baju tipis tersebut. Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”
Rasulullah Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian tipis itu pada
isterinya, beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian tipis lagi di
bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada masalah itu
dengan sabdanya:
“Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”
Artinya wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh menggunakan
pakaian yang tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya.
Dengan demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika memilih
jenis dan bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di depan mahrom
dan wanita lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan lain-lain.
Hanya saja apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah atau
tempat-tempat umum (masjid, pasar, jalanan dan lain-lain) maka selain batasan
aurat dan larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu diperhatikan
yaitu adanya kewajiban menggunakan pakaian khusus yang telah diperintahkan
Allah berupa khimar (kerudung) dan jilbab (jubah langsungan dari atas sampai
ujung kaki), bukan pakaian lain seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang
dan lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat tetapi bukan termasuk
jilbab, oleh karena itu jenis pakaian tersebut hanya bisa dipakai oleh wanita
yang sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan seksual (Qs. an-Nûr [24]:
60). Untuk wanita menopause ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam
berpenampilan yaitu tidak diperbolehkan tabarruj. Oleh karena itu celana
panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak boleh digunakan sebagai
penutup aurat wanita menopause karena termasuk tabarruj (menonjolkan kecantikan
dan perhiasan/bentuk tubuh). Untuk lebih detailnya tentang pakaian khusus di
kehidupan umum maka dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya.
Pakaian Wanita di dalam Kehidupan Umum
Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat wanita berada di luar rumahnya/di hadapan
laki-laki non mahrom, maka seorang wanita harus menggunakan pakaian secara
sempurna, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur,
mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Dalil-dalil mengenai masalah ini lihat lagi pembahasan di atas. Adapaun dalil
lainnya adalah sebagai berikut:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkankhumur
(kain kerudung) ke juyub (dada)-nya, dan janganlah menampakkan perhiasanyaa,
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki
atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung’.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Kewajiban menggunakan khumur muncul dari perintah dan hendaklah mereka
menutupkan khumur/kain kerudung ke juyub (dada)-nya.
Khumur adalah jama’ dari khimar yaitu kerudung yang menutupi kepala, dan juyub
adalah jama’ dari kata jaibun yaitu ujung pakaian (kancing pembuka) yang ada di
sekitar leher dan di atas dada. Dengan kata lain khimar adalah kain yang
menutupi kepala tanpa menutupi wajah, terulur sampai sampai menutupi ujung
pakaian bawah (jilbab) yakni kancing baju di atas dada. Dengan demikian untuk
bagian atas badan wanita diwajibkan mengenakan kerudung yang diulurkan sampai
ujung pakaian (kancing pembuka)/di atas dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan
menggunakan jilbab/jubah. Dalil kewajibannya adalah sebagai berikut: (1)
ungkapan Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka
sebagaimana disebutkan dalamfirman Allah SWT:
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).
(2) Kebolehan menanggalkan pakaian luar (jilbab) bagi wanita menopouse dengan
ungkapan tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka
sebagaimana dalam firman Allah SWT:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung)
yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian
(luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan
berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Qs. an-Nûr [24]: 60).
(3) Ungkapan salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab, Rasulullah
bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” Sebagimana dalam hadits
dari Ummu ‘Athiyah ra. Berkata:
Rasulullah memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, wanita yang sedang haid,
wanita pingitan untuk keluar pada hari raya Fitri dan Adha. Maka bagi wanita
yang sedang haid janganlah sholat dan hendaklah menyaksikan kebaikan dan dakwah
kaum muslimin. Saya berkata: “Ya Rasulullah salah seorang di antara kami tidak
mempunyai jilbab”, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.”
(HR. Muslim, no 1475].
Pada Qs. al-Ahzab [33]: 59 dan hadist dari Ummu ‘Athiyah, Allah dan Rasul-Nya
memerintahkan muslimah menggunakan sejenis pakaian yang disebut jilbab.
Memahami Pengertian Jilbab
Kata jilbab digunakan di dalam al-Qur’an dan Hadits, namun maksud kata itu
harus dikembalikan pada maksud yang dipahami oleh masyarakat ketika kata itu
diturunkan/diungkapkan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata jilbab (pada
nash tersebut): baju luar yang berfungsi menutupi tubuh dari atas sampai bawah
(tanah). Dalam kamus arab Al-Muhith, jilbab bermakna: Pakaian yang lebar bagi
wanita, yang menutupi tsiyab/mihnah (pakaian harian yang biasa dipakai ketika
berada di dalam rumah), bentuknya seperti malhafah (kain penutup dari atas
kepala sampai ke bawah). Demikian pula yang disebutkan oleh al-Jauhari dalam
kitab Ash Shihah. Definisi jilbab ini juga tersirat dalam Qs. an-Nûr [24]: 60
walaupun pada ayat tersebut Allah menggunakan istilah tsiyab untuk menyebut
makna jilbab.
Dari Qs. an-Nûr [24]: 60 dapat diambil pemahaman bahwa wanita menopause yang
sudah tidak mempunyai keinginan seksual diperbolehkan melepaskan tsiyabnya
(pakaian luarnya/jilbab), berarti tersisa mihnah, hanya saja selanjutnya
diperintahkan untuk tidak menampakkan kecantikan, bentuk tubuh, perhiasan
(tidak tabarruj) yaitu diperbolehkan menggunakan baju apa saja sejenis mihnah
yang tidak menampakkan kecantikan/bentuk tubuh seperti baju atas bawah panjang,
daster, kulot panjang dan lain-lain, tidak seperti celana ketat panjang karena
hal itu termasuk tabarruj. Tsiyab disini dipahami pakaian luar/jilbab bukan
baju biasa karena tidak mungkin Allah memerintahkan wanita menopause telanjang.
Berarti dapat dipahami pula bagi wanita yang belum menopause diwajibkan untuk
menggunakan tiga lapis/jenis pakaian ketika di hadapan laki-laki non mahrom
yaitu kerudung, mihnah dan jilbab.
Adapun Hadist dari Ummu ‘Athiyah menerangkan dengan jelas ketika wanita keluar
rumah/dihadapan laki-laki non mahrom diwajibkan menggunakan pakaian yang
dipakai di atas pakaian dalam rumah (mihnah), sebagaimana Ummu ‘Athiyah berkata
kepada Rasulullah Saw: “Salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab”, maka
Rasulullah menjawab: “Hendaklah saudara perempuannya meminjamkan jilbabnya.”
Artinya jika seseorang tidak mempunyai jilbab dan saudaranya tidak meminjami
maka wanita itu tidak boleh keluar. Inilah indikasi (qarinah) bahwa perintah
hadits tersebut adalah wajib. Dan jilbab yang dimaksudkan pada hadist ini bukan
sekedar penutup aurat tetapi sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas
bahwa jilbab: baju luar yang berfungsi menutupi tubuh langsung dari atas sampai
bawah.
Pengertian ini dapat ditemukan juga dalam Tafsir Jalalain (lihat Tafsir
Jalalain, jld. III, hal. 1803) yang diartikan sebagai kain yang dipakai seorang
wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Jilbab selain harus luas dipersyaratkan harus diulurkan langsung ke bawah
sampai menutupi dua telapak kaki. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Ibnu abbas dan juga dapat dipahami dari nash-nash yudnîna ‘alaihinna min
jalabibihinna di sini bukan menunjuk sebagian tetapi untuk menjelaskan,
sedangkan makna yudnîna adalah yurkhîna ila asfal (mengulurkan sampai ke
bawah/kedua kaki). Jadi kesimpulannya jilbab harus diulurkan langsung ke bawah
(tidak potong-potong/atas bawah) sampai menutup dua telapak kaki (bukan mata
kaki). Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ibnu
Umar berkata: Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang menyeret pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan
melihatnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana yang harus
diperbuat para wanita terhadap ujung baju (jilbab) mereka?” Rasulullah
menjawab: “Hendaklah mereka mengulurkan sejengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi:
“Kalau demikian terlihat kaki mereka.” Rasulullah menjawab: “Hendaklah
mengulurkan bajunya sehasta dan jangan lebih dari itu.”
Dari sini jelas bahwa jilbab tidak boleh diulurkan bagian per bagian misalnya
baju potongan, tetapi diulurkannya langsung dari atas ke bawah. Selain itu
mengulurkannya harus sampai telapak kaki (bukan mata kaki), tidak boleh kurang
dari itu, oleh karena itu apabila jilbabnya terulur sampai mata kaki dan
sisanya (telapak kaki) ditutup dengan kaos kaki/sepatu, maka hal ini tidak
cukup menggantikan keharusan irkha’ (terulurnya baju sampai ke bawah). Dalam
hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya irkha’, yaitu jilbab harus
diulurkan sampai menutupi kedua telapak kaki sehingga dapat diketahui dengan
jelas bahwa baju itu adalah baju di kehidupan umum. Apabila jilbabnya sudah terulur
sampai ujung kaki tetapi jika berjalan kakinya masih terlihat sedikit seperti
ketika menerima tamu, berjalan di sekitar rumah, maka hal ini tidak apa-apa
walaupun tetap dianjurkan untuk ‘iffah (berhati-hati/menjaga diri). Hanya saja
apabila aktivitas wanita tersebut membuat kakinya banyak terlihat semisal
mengendarai sepeda, motor dan lain-lain maka diwajibkan untuk menggunakan
penutup kaki apa saja seperti kaos kaki, sepatu dan lain-lain.
Memahami Pengertian Tabarruj
Tabarruj telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang menyeluruh dalam
segala kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah
SWT:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung)
yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian
(luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan
adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Qs. an-Nûr (24): 60).
Pemahaman dari ayat ini adalah larangan bertabarruj secara mutlak. Allah
membolehkan mereka (wanita yang berhenti haid dan tidak ingin menikah)
menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj.
Sedangkan pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk
bentuk tubuh dan sarana-sarana lain dalam berpenampilan agar menarik perhatian
lawan jenis. Sarana lain yang biasa digunakan misalnya wangi-wangian, warna
baju yang mencolok atau penampilan tertentu yang “nyentrik” atau perhiasan yang
berbunyi jika dibawa jalan.
Orang tua (menopouse) boleh tetap mengenakan jilbab dan boleh juga mengenakan
baju apa saja selain jilbab selama tidak menonjolkan perhiasan, kecantikan,
bentuk tubuh ketika di kehidupan umum seperti di jalan-jalan,pasar, mall, dll.
Jika wanita tua saja dilarang untuk bertabarruj, maka mafhum muwafaqahnya yaitu
wanita yang belum berhenti haid lebih dilarang untuk bertabarruj.
Ayat lain yang melarang tabarruj adalah firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan.” (Qs. an-Nûr [24]; 31).
Allah dalam ayat ini melarang salah satu bentuk tabarruj, yaitu menggerakkan
kaki sampai terdengar bunyi gelang kakinya sehingga orang lain menjadi tahu
perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tersebut, yang berarti wanita tersebut
telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini juga menjelaskan akan larangan
tabarruj, yaitu menonjolkan perhiasan.
Tabarruj berbeda dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna syara’ tertentu
terhadap kata tabarruj, sehingga penafsiran kata tabarruj diambil dari makna
lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa berarti menonjolkan perhiasan,
kecantikan termasuk keindahan tubuh pada laki-laki non muhrim. Dalil lain yang
menerangkan bahwa tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, keindahan tubuh pada
laki-laki asing adalah seperti yang diriwayatkan dari Abi Musa Asy Sya’rawi:
“Wanita yang memakai parfum, kemudian melewati suatu kaum (sekelompok orang)
supaya/sampai mereka mencium aromanya maka berarti dia pezina.”
Diriwayatkan pula dengan sabda Rasulullah Saw:
“Dua golongan penghuni neraka, saya belum melihat sebelumnya adalah: wanita
yang berpakaian seperti telanjang dan wanita yang berjalan lenggak-lenggok di
atas kepala mereka seperti punuk unta, maka mereka tidak akan masuk surga dan
tidak mendapatkan baunya.”
Kata telanjang, berlenggak-lenggok dan seperti punuk unta menunjukkan arti agar
tampak perhiasan dan kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa
tabarruj tidak sama dengan sekedar perhiasan atau berhias, namun bermakna
menonjolkan perhiasan.
Adapun mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah untuk dikenakan
selama belum ada dalil yang mengharamkanya, hal ini sesuai dengan kaidah
syara’, Hukum asal suatu benda (asy yâ’) adalah mubah.
Perhiasan adalah asy yâ’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya adalah mubah
selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagian perhiasan memang
diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap dari riwayat Ibnu Umar:
“Sesungguhnya Nabi melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut
orang lain, wanita yang rambutnya minta disambungkan, wanita yang mentato, dan
wanita yang minta ditato.”
Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi bisa
menjadi haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang haram dan apabila
berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu menonjolkan perhiasan
dan kecantikan di hadapan laki-laki asing (non mahrom).
Asslmkm Wr Wb……
Wahai
perempuan muslimah, melalui tulisan ini saya mencoba untuk saling mengingatkan.
Dan bukan berarti saya menggurui, saya hanya ingin menyampaikan cara berpakaian
muslimah
baju muslim yang benar menurut Al-Quran dan
Al-Hadist. Dalam bukunya ”
Jilbab Al-Mar’ah Al-
Muslimah fil Kitabi was
Sunati.”, Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menjelaskan menurut Al-Quran
dan Al-Hadist, bahwa jilbab itu harus memenuhi 8 syarat :
- Menutup seluruh badan selain yang
dikecualikan.( QS.An-Nur : 31, Al-Ahzab : 59 ).
- Bukan berfungsi sebagai
perhiasan.( QS. An-Nur : 31, Al-Ahzab : 33 )
- Kainnya harus tebal, tidak tipis.
( HR. Abu Dawud )
- Harus longgar, tidak ketat,
sehingga tidak menggambarkan sesuatu dari tubuhnya. ( HR. Al-Baihaqi, Abu
Dawud, dan Ad-Dhiya )
- Tidak diberi wewangian atau
parfum.( HR. An-Nasa’i, HR. Muslim )
- Tidak menyerupai laki-laki. ( HR.
Abu Dawud, HR. Ahmad, HR. Nasa’i, Hakim, Baihaqi dan Ahmad )
- Tidak menyerupai pakaian wanita
kafir. ( HR. Ahmad, HR. Muslim, HR. At-Tabrani )
- Bukan libas syuhrah ( pakaian
popularitas ). ( HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah )
Itulah 8 syarat pakaian wanita muslimah
berpaikaian
baju muslim. Pertanyaannya sekarang, apakah ukhti
sudah memenuhi itu semua ? Atau bahkan ukhti belum berjilbab/masih menampakkan
auratnya ?( Astaghfirullah, Na’udzubillah ). Ingat berjilbab itu kewajiban
bukan sunnah atau lainnya, jadi tidak benar jika berjilbab itu menunggu
kesiapan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah
melimpahkan rahmad, hidayah serta ridhlo Nya pada kita semua. Amin……
Jazzakumullah Khairan
Katsira……………Wasslmkm Wr Wb……………..
sumber :
http://catatancalondoktermuslim.blogspot.com
Posted on May 27, 2008 by yahyaayyash
A.
ADAB BERPAKAIAN
Do’a Berpakaian dan Membuka Pakaian
Allahumma innii asaluka min khoirihi wa khoiri maa huwa lahu, wa a’uudzubika
min syarrohi wa syarro maa huwa lahu
”wahai Allah, aku memohon kepada-Mu kebajikan pakaian ini dan kebajikan yang
disediakan baginya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan
kejahatan sesuatu yang dibuat untuknya.” (HR. Ibnu Sunni)
B.
PAKAIAN DAN AURAT BAGI MUSLIM
“Aku tidak
meninggalkan fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki selain wanita.” (HR.
Bukhari Muslim)
Adalah sebuah kenyataan, bahwa bagi setiap laki-laki, daya tarik seorang wanita
ibarat tipu daya yang tidak bisa dianggap enteng. Dalam surat Yusuf ayat 28,
Zulaikha disebutkan memiliki tipu daya yang besar (inna kaida kunna ‘adzhim).
Bandingkan dengan sebutan yang Allah SWT berikan untuk tipu daya syaithan, “…
sesungguhnya tipu daya syaithan itu adalah lemah.” (QS. An-Nisaa’ : 76) Coba
bayangkan !!!
Seorang wanita dapat menjelma menjadi sosok-sosok yang mulia, cerdas, dan
terhormat. Dan tentu untuk menjadi sosok yang demikian, tentu Sang Kholiq-lah
yang paling tahu bagaimana caranya. Dan jilbab adalah sebuah resep sederhana
yang dapat mengangkat derajat wanita.
“ … hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Qhzab : 59)
Jilbab bukanlah
seperangkat asesoris, atau sekedar mode busana yang aturan pakainya dapat
diatur sesuai selera si pemakai. Jilbab adalah sebuah simbol penghambaan diri
seorang Muslimah terhadap ketentuan Rabb-Nya, sebuah pengakuan bahwa Allah azza
wa jalla berhak sepenuhnya mengatur kehidupannya. Memiliki niat baik memang tak
berarti luput dari godaan syaithan. Karena syaithan begitu lihai melihat celah
yang bisa ia susupi untuk menipu manusia. Dengan tipu dayanya, seorang manusia
dapat memandang baik sebuah perbuatan yang sebenarnya buruk dimata allah SWT.
“Dan ketika syaithan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka …” (QS.
Al-Anfal : 48)
Kriteria yang wajib dipenuhi oleh busana Muslimah dalam kitab Fiqh Wanita,
karangan Ibrahim Muhammad Al-Jamal adalah :
1. Menutupi seluruh badan selain wajah dan kedua telapak
tangan
“Hai Asma, sesungguhnya perempuan itu apabila telah sampai umur/dewasa, maka
tidak patut menampakkan sesuatu dari dirinya melainkan ini dan ini. Rasulullah
berkata sambil menunjukkan kepada muka dan telapak tangan hingga
peregelangannya sendiri.” (HR. Abu Dawud dan Aisyah)
2. Tidak ketat sehingga masih menampakkan bentuk tubuh yang
ditutupinya.
3. Tidak tipis temaram sehingga warna kulit masih bisa
dilihat.
4. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
“Nabi SAW melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang
memakai pakaian laki-laki.” (HR. Abu dawud dan Nasa’I)
5. Tidak berwarna mencolok sehingga menarik perhatian orang
6. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
7. Dipakai bukan dengan maksud memamerkannya.
“ Siapa saja yang meniru-niru perbuatan suatu kaum, berarti dia telah menjadi
pengikutnya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Selain kriteria di atas, perlu diingat bahwa pemakaian kerudung harus sampai
menutup dada. Hal ini disebutkan secara gamblang dalam surat An-Nuur : 31,
“… dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya.”
Maroji’ :
1. Kepada Ukhti Muslimah, Kelompok Studi Islam Al-Ummah,
Jakarta
2. Majalah al-Izzah, Kolom Nisaa’, April 2001
3. Haya binti Mubarok Al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah,
Darul Falah
Pakaian
Hukum
(Ketetapan/Peraturan)
Pemahaman dan Tafsir Al-Quran
|
|
» Seputar ayat Al-Nur dan
Al-Ahzab (Jilbab)
» Pendapat beberapa ulama
kontemporer tentang jilbab
» Referensi
Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu
libas,
tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab
ditemukan sebanyak delapan kali, sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali
dalam dua ayat.
Libas pada mulanya berarti penutup (apa pun yang ditutup). Fungsi pakaian
sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu dicatat bahwa ini tidak harus berarti
"menutup aurat", karena cincin yang menutup sebagian jari juga
disebut libas, dan pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.
Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14 menyatakan
bahwa,
Dan kamu mengeluarkan dan laut itu
perhiasan (antara lain mutiara) yang kamu pakai.
Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian lahir maupun
batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir.
Kata ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya
sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan
ide pertamanya.
Ungkapan yang menyatakan, bahwa "awalnya adalah ide dan akhirnya adalah
kenyataan", mungkin dapat membantu memahami pengertian kebahasaan
tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan harus dikembalikan kepada ide asal,
karena kenyataan adalah cerminan dari ide asal.
IDE DASAR tentang PAKAIAN
Ar-Raghib Al-Isfahani (seorang pakar
bahasa Al-Quran) menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide
dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut
setelah dipintal kemudian menjadi pakaian, maka pada hakikatnya ia telah
kembali pada ide dasar keberadaannya. Menurut Quraish Shihab, ide dasar juga
dapat dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia pertama tentang
dirinya.
Al-Quran surat Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika Adam dan Hawa
berada di surga:
Setan membisikkan pikiran jahat kepada
keduanya untuk menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu
auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon
ini, supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang
yang kekal (di surga)."
Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:
...setelah mereka merasakan (buah)
pohon (terlarang) itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah
keduanya menutupinya dengan daun-daun surga...
Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri manusia adalah "tertutupnya
aurat", namun karena godaan setan, aurat manusia terbuka. Dengan demikian,
aurat yang ditutup dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah
jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti "sesuatu yang mengembalikan
aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.
Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah ide
setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran setan adalah "keterbukaan
aurat".
Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:
Wahai putra-putra Adam, janganlah
sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu orang
tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari
surga. Ia menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya
aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]: 27).
Kata ketiga yang digunakan Al-Quran
untuk menjelaskan perihal pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa
mengartikan kata ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya. Hanya dua ayat
yang menggunakan kata tersebut. Satu di antaranya diartikan sebagai pakaian
yang berfungsi menangkal sengatan panas, dingin, dan bahaya dalam peperangan
(QS Al-Nahl [16]: 81). Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang siksa
yang akan dialami oleh orang-orang berdosa kelak di hari kemudian: pakaian
mereka dari pelangkin. Dari sini terpahami bahwa pakaian ada yang menjadi alat
penyiksa. Tentu saja siksaan tersebut karena yang bersangkutan tidak
menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah SWT
PAKAIAN DAN FITRAH
Dari ayat yang menguraikan peristiwa
terbukanya aurat Adam, dan ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan bahwa
pada hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia jrang diaktualkan pada saat
ia memiliki kesadaran.
Seperti dikemukakan ketika menjelaskan
arti tsaub, manusia pada mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal
ini menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya 'anhuma min sauatihima
(untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu
auratnya) (QS Al-A'raf [7]: 20).
Penggalan ayat itu bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak semula Adam dan Hawa
tidak dapat saling melihat aurat mereka, melainkan juga berarti bahwa aurat
masing-masing tertutup sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya.
Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan akibatnya adalah
aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka, dan mereka menyadari
keterbukaannya, sehingga mereka berusaha menutupinya dengan daun-daun surga.
Usaha tersebut menunjukkan adanya naluri pada diri manusia sejak awal
kejadiannya bahwa aurat harus ditutup dengan cara berpakaian.
Perlu diperhatikan pula kalimat yang dipergunakan Al-Quran untuk menyatakan
usaha kedua orang tua kita, "Wa thafiqa yakhshifan 'alaihima min waraq
al-jannah."
Kata yakhshifan terambil dari kata khashf yang berarti menempelkan sesuatu pada
sesuatu yang lain agar menjadi lebih kokoh. Contoh yang dikemukakan oleh
pakar-pakar bahasa adalah menempelkan lapisan baru pada lapisan yang ada dari
alas kaki, agar lebih kuat dan kokoh.
Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar daun untuk menutup auratnya
(karena jika demikian pakaiannya adalah mini), melainkan sekian banyak lembar
agar melebar, dengan cara menempelkan selembar daun di atas lembar lain,
sebagai tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga tidak
transparan atau tembus pandang.
Hal lain yang mengisyaratkan bahwa berpakaian atau menutup aurat merupakan
fitrah manusia adalah penggunaan istilah "Ya Bani Adam" (Wahai
putra-putri Adam) dalam ayat-ayat yang berbicara tentang berpakaian.
Panggilan semacam ini hanya terulang empat kali dalam Al-Quran. Kesan dan makna
yang disampaikannya berbeda dengan panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang
hanya khusus kepada orang-orang mukmin, atau ya ayyuhan nas yang boleh jadi
hanya ditujukan kepada seluruh manusia sejak masa Nabi saw hingga akhir zaman.
Panggilan ya Bani Adam jelas tertuju kepada seluruh manusia. Bukankah Adam
adalah ayah seluruh manusia?
Hanya empat kali panggilan ya Bani Adam dalam Al-Quran, dan semuanya
terdapat dalam surat Al-'Araf, yaitu:
1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang dianugerahkan Allah.
2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan yang menyebabkan
terbukanya aurat orang tua manusia (Adam dan Hawa).
3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada saat memasuki masjid.
4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah yang disampaikan oleh
para rasul-Nya (tentu termasuk tuntunan berpakaian).
Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah SWT telah mengilhami manusia sehingga
timbul dalam dirinya dorongan untuk berpakaian, bahkan kebutuhan untuk
berpakaian, sebagaimana diisyaratkan oleh surat Thaha (20): 117-118, yang
mengingatkan Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan, tentu ia akan
bersusah payah di dunia untuk mencari sandang, pangan, dan papan. Dorongan
tersebut diciptakan Allah dalam naluri manusia yang memiliki kesadaran
kemanusiaan. Itu sebabnya terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi
apa yang dinilainya sebagai aurat.
Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan isyarat bahwa
untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak membutuhkan upaya dan tenaga
yang berat. Hal ini diisyaratkan oleh bentuk pasif yang dipilih Al-Quran untuk
menyebut tertutupnya aurat Adam dan Hawa, yakni ayat 22 surat Al-A'raf yang
dikutip pada awal uraian ini: "yang tertutup dan mereka yaitu aurat
mereka."
Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan apa pun yang
tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan dapat menutupinya).
FUNGSI PAKAIAN
Dari sekian banyak ayat Al-Quran yang
berbicara tentang pakaian, dapat ditemukan paling tidak ada empat fungsi
pakaian.
Al-Quran surat Al-A'raf (7): 26 menjelaskan dua fungsi pakaian:
Wahai putra putri Adam, sesungguhnya
Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan juga
(pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan pakaian takwa itulah yang paling
baik.
Ayat ini setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu penutup aurat dan
perhiasan.
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas berbicara tentang fungsi
ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti pakaian dapat menghindarkan
seseorang terjerumus ke dalam bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi
maupun ukhrawi.
Syeikh Muhammad Thahir bin 'Asyur menjelaskan jalan pikiran ulama yang
berpendapat demikian. Ia menulis dalam tafsirnya tentang ayat tersebut:
Libasut taqwa dibaca oleh Imam Nafi' ibnu Amir, Al-Kisa'i, dan Abu Ja'far
dengan nashab (dibaca libasa sehingga kedudukannya sebagai objek penderita).
Ini berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang diciptakan, dan tentunya
pakaian ini tidak berbentuk abstrak, melainkan nyata. Takwa yang dimaksud di
sini adalah pemeliharaan, sehingga yang dimaksud dengannya adalah pakaian
berupa perisai yang digunakan dalam peperangan untuk memelihara dan
menghindarkan pemakainya dari luka dan bencana lain.
Ada juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata tersebut tidak
berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu, salah satu makna yang
dikandungnya adalah adanya pakaian batin yang dapat menghindarkan seseorang
dari bencana duniawi dan ukhrawi.
Betapapun, ditemukan ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga pakaian, yakni
fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan dari sengatan panas dan dingin,
Dia (Allah) menjadikan untuk kamu
pakaian yang memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta pakaian
(baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan... (QS Al-Nahl [16]: 81).
Fungsi pakaian selanjutnya disyaratkan oleh Al-Quran surat Al-Ahzab (33): ayat
59 pada jaman peperangan antara orang-orang munafik dan orang-orang mukmin,
yang menugaskan Nabi saw agar menyampaikan kepada istri-istrinya, anak-anak
perempuannya, serta wanita-wanita mukmin agar mereka mengulurkan (memanjangkan)
jilbab mereka sebagai penunjuk identitas pembeda antara seseorang dengan yang
lain:
Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan perempuan-perempuan mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka
tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Terlihat
fungsi pakaian sebagai penunjuk identitas pembeda antara seseorang
dengan yang lain.
Fungsi Pakaian sebagai Penutup Sau-at
(Aurat)
Sau-at terambil dari kata sa-a -yasu-u
yang berarti buruk, tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan 'aurat,
yang terambil dari kata 'ar yang berarti onar, aib, tercela. Keburukan yang
dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya buruk, tetapi bisa
juga karena adanya faktor lain yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari
bagian tubuh yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat (termasuk aurat).
Tentu saja banyak hal yang sifatnya buruk, masing-masing orang dapat menilai.
Agama pun memberi petunjuk tentang apa yang dianggapnya 'aurat atau sau-at.
Dalam fungsinya sebagai penutup, tentunya pakaian dapat menutupi segala yang
enggan diperlihatkan oleh pemakai, sekalipun seluruh badannya. Tetapi dalam
konteks pembicaraan tuntunan atau hukum agama, aurat dipahami sebagai anggota
badan tertentu yang tidak boleh dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu.
Bahkan bukan hanya kepada orang tertentu selain pemiliknya, Islam tidak
"senang" bila aurat (khususnya aurat besar (kemaluan)) dilihat oleh
siapa pun. Bukankah seperti yang dikemukakan terdahulu, bahwa ide dasar aurat
adalah "tertutup atau tidak dilihat walau oleh yang bersangkutan
sendiri?"
Beberapa hadis menerangkan hal tersebut secara rinci:
Hindarilah telanjang, karena ada (malaikat) yang selalu bersama kamu, yang
tidak pernah berpisah denganmu kecuali ketika ke kamar belakang (wc) dan ketika
seseorang berhubungan seks dengan istrinya. Maka malulah kepada mereka dan
hormatilah mereka (HR At-Tirmidzi).
Dari segi hukum, tidak terlarang bagi seseorang --bila sendirian atau bersama
istrinya-- untuk tidak berpakaian. Tetapi, ia berkewajiban menutup auratnya,
baik aurat besar (kemaluan) maupun aurat kecil, selama diduga akan ada
seseorang --selain pasangannya-- yang mungkin melihat. Ulama bersepakat
menyangkut kewajiban berpakaian sehingga aurat tertutup, hanya saja mereka
berbeda pendapat tentang batas aurat itu. Bagian mana dari tubuh manusia yang
harus selalu ditutup.
Imam Malik, Syafi'i, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa lelaki wajib menutup
seluruh badannya dari pusar hingga lututnya, meskipun ada juga yang berpendapat
bahwa yang wajib ditutup dari anggota tubuh lelaki hanya yang terdapat antara
pusat dan lutut yaitu alat kelamin dan pantat.
Wanita, menurut sebagian besar ulama berkewajiban menutup seluruh angggota
tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya, sedangkan Abu Hanifah sedikit
lebih longgar, karena menambahkan bahwa selain muka dan telapak tangan, kaki
wanita juga boleh terbuka. Tetapi Abu Bakar bin Abdurrahman dan Imam Ahmad
berpendapat bahwa seluruh anggota badan perempuan harus ditutup.
Salah satu sebab perbedaan ini adalah perbedaan penafsiran mereka tentang
maksud firman Allah dalam surat Al-Nur (24): 31:
Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali yang tampak darinya.
Fungsi Pakaian sebagai Perhiasan
Di bagian terdahulu telah dikemukakan
ayat Al-Quran yang memerintahkan umat Islam agar memakai perhiasannya
(lebih-lebih ketika berkunjung ke masjid) (QS Al-A'raf [7]: 31).
Perhiasan adalah sesuatu yang dipakai untuk memperelok. Tentunya pemakainya
sendiri harus lebih dahulu menganggap bahwa perhiasan tersebut indah, kendati
orang lain tidak menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah.
Al-Quran tidak menjelaskan (apalagi merinci) apa yang disebut perhiasan,
atau sesuatu yang "elok". Sebagian pakar menjelaskan bahwa sesuatu
yang elok adalah yang menghasilkan kebebasan dan keserasian.
Bentuk tubuh yang elok adalah yang ramping, karena kegemukan membatasi
kebebasan bergerak. Sentuhan yang indah adalah sentuhan yang memberi kebebasan
memegang sehingga tidak ada duri atau kekasaran yang mengganggu tangan. Suara
yang elok adalah suara yang keluar dari tenggorokan tanpa paksaan atau dihadang
oleh serak dan semacamnya. Ide yang indah adalah ide yang tidak dipaksa atau
dihambat oleh ketidaktahuan, takhayul, dan semacamnya. Sedangkan pakaian
yang elok adalah yang memberi kebebasan kepada pemakainya untuk bergerak.
Demikian kurang lebih yang ditulis Abbas Al-Aqqad dalam bukunya Muthal'at fi
Al-Kutub wa Al-Hayat.
Harus diingat pula bahwa kebebasan mesti disertai tanggung jawab, karenanya
keindahan harus menghasilkan kebebasan yang bertanggung jawab.
Tentu saja kita dapat menerima atau menolak pendapat tersebut, sekalipun
sepakat bahwa keindahan adalah dambaan manusia. Namun harus disepakati pula
bahwa keindahan sangat relatif; tergantung dari sudut pandang masing-masing
penilai. Hakikat ini merupakan salah satu sebab mengapa Al-Quran tidak
menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok.
Wahyu kedua (atau ketiga) yang dinilai
oleh ulama sebagai ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi
Muhammad saw sebagai Rasul antara lain menuntun beliau agar menjaga dan
terus-menerus meningkatkan kebersihan pakaiannya (QS Al-Muddatstsir [74]: 4).
Memang salah satu unsur mutlak keindahan adalah kebersihan. <=""
b="">
Katakanlah! "Siapakah yang
mengharamkan perhiasan yang telah Allah keluarkan untuk
hamba-hamba-Nya...?" (QS Al-A'raf [7]: 32)
Berhias adalah naluri manusia. Seorang sahabat Nabi pernah bertanya kepada Nabi
saw,
Seseorang yang senang pakaiannya indah dan alas kakinya indah (Apakah termasuk
keangkuhan?) Nabi menjawab, "Sesungguhnya Allah indah, senang kepada
keindahan, sedangkan keangkuhan adalah menolak kebenaran dan menghina orang
lain."
Terdapat sekian banyak riwayat yang menginformasikan bahwa Rasullah saw
menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara, dan diperindah. Istri Nabi,
Aisyah, meriwayatkan bahwa:
Seorang wanita menyodorkan (dengan tangannya) sepucuk surat kepada Nabi dari
belakang tirai, Nabi berhenti sejenak sebelum menerimanya, dan bersabda,
"Saya tidak tahu, apakah yang (menyodorkan surat) ini tangan lelaki atau
perempuan." Aisyah berkata, "Tangan perempuan," Nabi kemudian
berkata kepada wanita itu, "Seandainya Anda wanita, niscaya Anda
memelihara kuku Anda (mewarnainya dengan pacar)."
Demikian Nabi saw menganjurkan agar wanita berhias. Al-Quran memang tidak
merinci jenis-jenis perhiasan, apalagi bahan pakaian yang baik digunakan.
Meskipun ada sekian ayat yang berbicara tentang penghuni surga dan pakaian
mereka. misalnya:
Bagi mereka surga 'Adn, mereka masuk ke
dalamnya, di sana mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan
mutiara, dan pakaian mereka di sana adalah sutera (QS Fathir [35]: 33).
...Dalam surga mereka dihiasi dengan
gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dan sutera halus dan sutera tebal,
dalam keadaan mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah...
(QS Al-Kahf [18]: 31).
Perlu dicatat, bahwa yang disebutkan di atas tidak dapat dianalogikan dengan
nama bahan yang sama di dunia ini. Ketika penghuni surga diberi rezeki berupa
buah-buahan, orang menduga bahwa suguhan tersebut sama dengan yang pernah
mereka peroleh di dunia. Dugaan ini dibantah oleh Al-Quran surat Al-Baqarah
(2): 25 dengan menyatakan, "Mereka diberi yang serupa (tetapi tak
sama)." Demikian juga halnya dengan jenis-jenis perhiasan yang telah
disebutkan.
Berbicara tentang perhiasan, salah satu yang diperselisihkan para ulama
adalah emas dan sutera sebagai pakaian atau perhiasan lelaki.
Dalam Al-Quran, persoalan ini tidak disinggung. Namun beberapa hadis
menyebutnya haram
Muhammad bin 'Asyur, seorang ulama besar kontemporer serta Mufti Tunisia yang
telah diakui otoritasnya oleh dunia Islam, menulis dalam bukunya Maqashid
Asy-Syari'ah Al-Islamiyyah, bahwa ucapan dan sikap Rasulullah saw (yang
ditulis dalam hadis) tidak selalu harus dipahami sebagai ketetapan hukum. Ada
dua belas macam tujuan ucapan dan sikap beliau. Ada larangan yang sifatnya
wajib, ada yang tidak wajib, ada yang hanya untuk seseorang. Pemahaman ini
diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib
yang menyatakan bahwa,
Rasul saw melarang memakai aqsiyah, bercincin emas, membaca ayat Al-Quran
ketika sedang rukuk dan sujud dalam shalat. (Ali berkata), "Aku tidak
berkata bahwa kamu sekalian dilarang." Maksudnya bahwa sebagian larangan
itu tidak ditujukan kepada seluruh umat, tetapi hanya kepada Ali bin Abi
Thalib. Demikian Muhammad Thahir bin 'Asyur, dalam Magashid Asy-Syariah
Al-Islamiyyah' hlm. 36.
Salah satu dari kedua belas tujuan tersebut adalah al-hadyu wa al-irsyad
(tuntunan dan petunjuk). Ini berbeda dengan ketetapan hukum, karena --tulisnya:
Boleh jadi Nabi saw memerintah atau melarang, tetapi tujuannya bukan harus
melaksanakan itu, melainkan tujuannya adalah tuntunan ke jalan-jalan yang baik
(hlm. 32). Dalam rinciannya, ulama besar itu menulis bahwa sebagian tuntunan
tersebut berupa nasihat-nasihat.
Sebelum mengakhiri uraian tentang fungsi pakaian sebagai perhiasan, perlu
digarisbawahi bahwa salah satu yang harus dihindari dalam berhias adalah
timbulnya rangsangan berahi dari yang melihatnya (kecuali suami atau istri) dan
atau sikap tidak sopan dari siapa pun. Hal-hal tersebut dapat muncul dari cara
berpakaian, berhias, berjalan, berucap, dan sebagainya.
Berhias tidak dilarang dalam ajaran
Islam, karena ia adalah naluri manusiawi. Yang dilarang adalah tabarruj
al-jahiliyah, satu istilah yang digunakan Al-Quran (QS Al-Ahzab [33]: 33)
mencakup segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada
selain suami istri. Namun memang relatif sulit membuat ukuran/batasan dari
"dapat menimbulkan rangsangan berahi" tersebut. Karena ukuran/batasan
tersebut untuk masing-masing orang memang berbeda, tergantung pola berpikir
orang tersebut, lingkungan dan latar belakangnya. Ada yang hanya melihat telapak
tangan saja sudah menimbulkan berahi, ada yang melihat seseorang berjalan
dengan tegap justru menimbulkan berahi, ada yang melihat "aurat
besar" (kelamin) tidak terpengaruh sama sekali, dsb. Sehingga terpulang
kepada masing-masing orang, kemampuannya mengendalikan diri, serta ketakwaannya
kepada Allah SWT.
Fungsi Pakaian sebagai PERLINDUNGAN
(TAKWA)
Di atas telah dikemukakan bahwa salah
satu fungsi pakaian adalah "perlindungan". Bahwa pakaian tebal dapat
melindungi seseorang dari sengatan dingin, dan pakaian yang tipis dari sengatan
panas, bukanlah hal yang perlu dibuktikan. Yang demikian ini adalah
perlindungan secara fisik.
Di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis bagi pemakainya. Itu sebabnya
sekian banyak negara mengubah pakaian militernya, setelah mengalami kekalahan
militer. Bahkan Kemal Ataturk di Turki, melarang pemakaian tarbusy (sejenis
tutup kepala bagi pria), dan memerintahkan untuk menggantinya dengan topi ala
Barat, karena tarbusy dianggapnya mempengaruhi sikap bangsanya serta merupakan
lambang keterbelakangan.
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat merasakan pengaruh psikologis dari
pakaian jika kita ke pesta. Apabila mengenakan pakaian buruk, atau tidak sesuai
dengan situasi, maka pemakainya akan merasa rikuh, atau bahkan kehilangan kepercayaan
diri, sebaliknya pun demikian.
Kaum sufi, sengaja memakai shuf (kain wol) yang kasar agar dapat menghasilkan
pengaruh positif dalam jiwa mereka.
Memang, harus diakui bahwa pakaian tidak menciptakan santri, tetapi dia dapat
mendorong pemakainya untuk berperilaku seperti santri atau sebaliknya
berperilaku seperti setan, tergantung dari cara dan model pakaiannya. Pakaian
terhormat, mengundang seseorang untuk berperilaku serta mendatangi tempat
terhormat, sekaligus mencegahnya ke tempat-tempat yang tidak senonoh. Namun
harus
juga diakui, banyak orang yang sesungguhnya berperilaku seperti setan, dan dia
menutupinya dengan pakaian agar nampak seolah-olah seperti santri. Dan
memang semua bergantung dari niat dan ketakwaan masing-masing orang ketika berpakaian.
Bila seseorang berpakaian tertentu dengan niat takwa kepada Allah SWT atau
minimal dengan niat agar berpengaruh positif pada dirinya, maka pakaian
tersebut merupakan bagian dari ibadahnya untuk bertakwa kepada Allah SWT, dan
akan berpengaruh positif kepada perilakunya.
Demikian juga sebaliknya, bila seseorang berpakaian tertentu dengan niat agar
"nampak" terlihat seolah-olah santri, bukan dengan niat takwa kepada
Allah SWT, maka pakaian tersebut justru akan memberikan dampak negatif
terhadapnya, dan hatinya cenderung akan semakin tertutup karena semakin
terbiasa membohongi Allah SWT tanpa rasa takut.
Fungsi perlindungan bagi pakaian dapat juga diangkat untuk pakaian ruhani,
libas at-tagwa. Benang atau serat-seratnya adalah tobat, sabar, syukur,
qana'ah, ridha, dan sebagainya.
Iman itu telanjang, pakaiannya adalah takwa. Demikian sabda Nabi
Muhammad saw.
SEPUTAR AYAT AL-NUR DAN AL-AHZAB
Wanita-wanita Muslim, pada awal Islam
di Madinah, memakai pakaian yang sama bentuknya dengan pakaian-pakaian yang
dipakai oleh wanita-wanita disana pada umumnya. Mereka secara umum memakai
pakaian yang dinamakan jilbab (baju kurung yang dilengkapi dengan kerudung
penutup kepala) tetapi leher dan dada mereka mudah terlihat, bahkan kadang
punggung mereka juga terlihat, atau perut mereka terlihat. Keadaan semacam itu
digunakan oleh orang-orang munafik untuk menggoda dan mengganggu wanita-wanita
termasuk wanita Mukminah. Ini tentu disebabkan karena ketika itu identitas
mereka sebagai wanita Muslimah tidak terlihat dengan jelas. Nah, dalam situasi
yang demikian turunlah petunjuk Allah kepada Nabi yang menyatakan:
Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuan dan perempuan-perempuan mukmin agar
mengulurkan atas diri mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian itu menjadikan
mereka lebih mudah untuk dikenal (sebagai wanita Muslimah) sehingga mereka
tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Ahzab [33]:
59).
Penjelasan serupa tentang pakaian ditemukan pada surat Al-Nur (24): 31,
Katakanlah, kepada wanita yang beriman,
hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kehormatan mereka, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang tampak darinya.
Hendaklah mereka mengulurkan/menutupkan kain kudung kedadanya dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
mertua mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan
terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman, supaya kamu beruntung.
Surat Al-Nur (24): 31 di atas, kalimat-kalimatnya cukup jelas. Tetapi yang
paling banyak menyita perhatian ulama tafsir adalah larangan menampakkan zinah
(hiasan) yang dikecualikan oleh ayat di atas dengan menggunakan redaksi illa ma
zhahara minha [kecuali (tetapi) apa yang tampak darinya].
Mereka sepakat menyatakan bahwa zinah berarti hiasan (bukan zina yang artinya
hubungan seks yang tidak sah); sedangkan hiasan adalah segala sesuatu yang
digunakan untuk memperelok, baik pakaian penutup badan, emas dan semacamnya
maupun bahan-bahan make up.
Tetapi apa yang dimaksud dengan pengecualian itu? Inilah yang mereka bahas
secara panjang lebar sekaligus merupakan salah satu kunci pemahaman ayat
tersebut.
Ada yang berpendapat bahwa kata illa adalah istisna' muttashil (satu istilah --
dalam ilmu bahasa Arab yang berarti "yang dikecualikan merupakan
bagian/jenis dari apa yang disebut sebelumnya"), dan dalam penggalan ayat
ini adalah zinah atau hiasan.
Ini berarti ayat tersebut berpesan: "Hendaknya janganlah wanita-wanita
menampakkan hiasan (anggota tubuh) mereka kecuali apa yang tampak."
Redaksi ini, jelas tidak lurus, karena apa yang tampak tentu sudah
kelihatan. Jadi, apalagi gunanya dilarang? Karena itu, lahir paling tidak tiga
pendapat lain guna lurusnya pemahamam redaksi tersebut.
Pertama, memahami illa dalam arti tetapi atau dalam istilah ilmu bahasa
Arab istisna' munqathi' dalam arti yang dikecualikan bukan bagian/jenis yang
disebut sebelumnya. Ini bermakna: "Janganlah mereka menampakkan hiasan
mereka sama sekali; tetapi apa yang tampak (secara terpaksa/bukan sengaja
seperti ditiup angin dan lain-lain), maka itu dapat dimaafkan.
Kedua, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat itu. Kalimat dimaksud
menjadikan penggalan ayat itu mengandung pesan lebih kurang: "Janganlah
mereka (wanita-wanita) menampakkan hiasan (badan mereka). Mereka berdosa jika
demikian. Tetapi jika tampak tanpa disengaja, maka mereka tidak berdosa."
Penggalan ayat --jika dipahami dengan kedua pendapat di atas-- tidak menentukan
batas bagi hiasan yang boleh ditampakkan, sehingga berarti seluruh anggota
badan tidak boleh tampak kecuali dalam keadaan terpaksa.
Tentu saja pemahaman ini, mereka kuatkan pula dengan sekian banyak hadis,
seperti sabda Nabi saw kepada Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Abu
Daud dan At-Tirmidzi melalui Buraidah: Wahai Ali, jangan ikutkan pandangan
pertama dengan pandangan kedua. Yang pertama Anda ditolerir, dan yang kedua
anda berdosa.
Pemuda, Al-Fadhl bin Abbas, ketika haji Wada' menunggang unta bersama Nabi saw,
dan ketika itu ada seorang wanita cantik, yang ditatap terus-menerus oleh
Al-Fadhl. Maka Nabi saw memegang dagu Al-Fadhl dan mengalihkan wajahnya agar ia
tidak melihat wanita tersebut secara terus-menerus. Demikian diriwayatkan oleh
Bukhari dari saudara Al-Fadhl sendiri, yaitu Ibnu Abbas.
Bahkan penganut pendapat ini merujuk kepada ayat Al-Quran,
Dan apabila kamu meminta sesuatu dan
mereka, maka mintalah dari belakang tabir (QS Al-Ahzab 133]: 53).
Ayat ini walaupun berkaitan dengan permintaan sesuatu dari istri Nabi, namun
dijadikan oleh ulama penganut kedua pendapat di atas, sebagai dalil pendapat mereka.
Ketiga, memahami "kecuali apa yang tampak" dalam arti yang
yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus tampak."
Kebutuhan disini dalam arti menimbulkan kesulitan bila bagian badan tersebut
ditutup. Mayoritas ulama memahami penggalan ayat tersebut dalam arti ketiga
ini. Cukup banyak hadis yang mendukung pendapat ini.
Pakar tafsir Al-Qurthubi, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ulama besar Said
bin Jubair, Atha dan Al-Auzaiy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah
wanita, kedua telapak tangan dan busana yang dipakainya. Sedang sahabat Nabi
Ibnu Abbas, Qatadah, dan Miswar bin Makhzamah, berpendapat bahwa yang boleh
termasuk juga celak mata, gelang, setengah dari tangan yang dalam kebiasaan
wanita Arab dihiasi/diwarnai dengan pacar (yaitu semacam zat klorofil yang
terdapat pada tumbuhan yang hijau), anting, cincin, dan semacamnya. Al-Qurthubi
juga mengemukakan hadis yang menguraikan kewajiban menutup setengah tangan.
Syaikh Muhammad Ali As-Sais, Guru Besar Universitas Al-Azhar Mesir,
mengemukakan dalam tafsirnya-yang menjadi buku wajib pada Fakultas Syariah
Al-Azhar bahwa Abu Hanifah berpendapat kedua kaki, juga bukan aurat. Abu
Hanifah mengajukan alasan bahwa ini lebih menyulitkan dibanding dengan tangan,
khususnya bagi wanita-wanita miskin di pedesaan yang (ketika itu) seringkali
berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pakar hukum Abu
Yusuf bahkan berpendapat bahwa kedua tangan wanita bukan aurat, karena dia
menilai bahwa mewajibkan untuk menutupnya menyulitkan wanita.
Dalam ajaran Al-Quran memang kesulitan
merupakan faktor yang menghasilkan kemudahan. Secara tegas Al-Quran menyatakan
bahwa Allah tidak berkehendak menjadikan bagi kamu sedikit kesulitan pun (QS
Al-Ma-idah [5]: 6) dan bahwa Allah menghendaki buat kamu kemudahan bukan
kesulitan (QS Al-Baqarah [2): 185).
Pakar tafsir Ibnu Athiyah sebagaimana dikutip oleh Al-Qurthubi berpendapat:
"Menurut hemat saya, berdasarkan redaksi ayat, wanita diperintahkan untuk
tidak menampakkan dan berusaha menutup segala sesuatu yang berupa hiasan.
Pengecualian, menurut hemat saya, berdasarkan keharusan gerak menyangkut
(hal-hal) yang mesti, atau untuk perbaikan sesuatu dan semacamnya."
Kalau rumusan Ibnu Athiyah diterima, maka tentunya yang dikecualikan itu dapat
berkembang sesuai dengan kebutuhan mendesak yang dialami seseorang.
Dalam Al-Quran dari Terjemah-nya susunan Tim Departemen Agama, pengecualian itu
diterjemahkan sebagai kecuali yang (biasa) tampak darinya.
PENDAPAT BEBERAPA ULAMA KONTEMPORER
TENTANG JILBAB
Di atas --semoga telah tergambar--
tafsir serta pandangan ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan
jilbab dan batas aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut
didukung oleh sebagian ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang
sebagian ulama (termasuk Quraish Shihab) untuk mengemukakan pendapat yang
berbeda --dan yang boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini.
Muhammad Thahir bin Asyur seorang ulama besar dari Tunis, yang diakui juga
otoritasnya dalam bidang ilmu agama, menulis dalam Maqashid Al-Syari'ah sebagal
berikut: "Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh (dalam
kedudukannya sebagai adat) untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama,
bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33): 59, yang
memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan jilbabnya. Tulisnya: "Di
dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan wanita-wanita Mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal
sehingga tidak diganggu.
Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat
orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab,
tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini."
Dalam kitab tafsirnya ia menulis bahwa: Cara memakai jilbab berbeda-beda
sesuai dengan perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi tujuan perintah
ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni "agar mereka dapat dikenal
(sebagai wanita Muslim yang baik) sehingga tidak digangu" (Tafsir
At-Tahrir, jilid XXII, hlm. lO).
Tetapi bagaimana dengan ayat-ayat ini, yang menggunakan redaksi perintah?
Jawabannya --yang sering terdengar dalam diskusi-- adalah: Bukankah tidak semua
perintah yang tercantum dalam Al-Quran merupakan perintah wajib? Pernyataan
itu, memang benar. Perintah menulis hutang-piutang (QS Al-Baqarah [2]: 282)
adalah salah satu contohnya.
Tetapi bagaimana dengan hadis-hadis yang demikian banyak? Jawabannya pun
sama. Bukankah seperti yang dikemukakan oleh Bin Asyur di atas bahwa ada
hadis-hadis Nabi yang merupakan perintah, tetapi perintah dalam arti
"sebaiknya" bukan seharusnya.
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah
dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin
berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap
mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa
mereka telah melanggar petunjuk agama.
Bukankah Al-Quran tidak menyebut
batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.
Namun demikian, kehati-hatian amat dibutuhkan, karena pakaian lahir dapat
menyiksa pemakainya sendiri apabila ia tidak sesuai dengan bentuk badan si
pemakai. Demikian pun pakaian batin. Apabila tidak sesuai dengan jati diri
manusia, sebagai hamba Allah, yang paling mengetahui ukuran dan patron terbaik
buat manusia.
Sebagai akhir dari uraian tentang wawasan Islam menyangkut pakaian, ada baiknya
digarisbawahi dua hal.
Pertama: Al-Quran dan Sunnah secara pasti melarang segala aktivitas --pasif
atau aktif-- yang dilakukan seseorang bila diduga dapat menimbulkan rangsangan
berahi kepada lawan jenisnya. Di sini tidak ada tawar-menawar.
Kedua, Tuntunan Al-Quran menyangkut berpakaian --sebagaimana terlihat dalam
surat Al-Ahzab dan Al-Nur-- yang dikutip di atas, ditutup dengan ajakan
bertobat (QS Al-Nur [24]: 31) dan pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang pada surat Al-Ahzab (33): 59.
Ajakan bertobat agaknya merupakan isyarat bahwa pelanggaran kecil atau besar
terhadap tuntunan memelihara pandangan kepada lawan jenis, tidak mudah
dihindari oleh seseorang. Maka setiap orang dituntut untuk berusaha
sebaik-baiknya dan sesuai kemampuannya. Sedangkan kekurangannya, hendaknya dia
mohonkan ampun dari Allah, karena Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang --semoga-- mengandung
arti bahwa Allah mengampuni kesalahan mereka yang lalu dalam hal berpakaian.
Karena Dia Maha Penyayang dan mengampuni pula mereka yang tidak sepenuhnya
melaksanakan tuntunan-Nya dan tuntunan Nabi-Nya, selama mereka sadar akan
kesalahan dan kekurangannya serta berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
petunjuk-petunjuk-Nya.
Wa Allahu A'lam.
Referensi
- Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan
Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit
Mizan, Bandung, 1997.
- Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas
Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an
secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira
Jakarta, 2008.
- Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr.
Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab,
Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
- Sami bin Abdullah bin Ahmad
al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai
Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira
Jakarta, 2008.
- Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri
Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah
Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
- Departemen Agama RI, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah
Per-Kata, Syaamil International, 2007.
- alquran.bahagia.us,
al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland
Ganesha, 2008.
- Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara
Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
- Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd
Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab
Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
- M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan
Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta,
2008.
- Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim,
Jabal, Bandung, 2008.
- Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan
dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh,
dan Gema Insani, Jakarta, 1999.
Alloh subhanahu wa ta'ala sangat sayang dan
memperhatikan kepentingan hamba-hamba-Nya. Bukti hal ini dapat diketahui
seorang muslim yang bersyukur dalam banyak hal dan kenikmatan yang
dianugerahkan-Nya, yang besar maupun yang kecil, yang terlihat maupun tidak,
yang disadari maupun yang tidak disadari. Dan semua nikmat tersebut tidak
akan dapat dihitung. Namun sebagai salah satu bukti penguat yang dapat
dirasakan dan diperhatikan adalah dalam masalah pakaian.
Sebagian orang, bahkan kaum muslimin banyak yang tidak
memperhatikan masalah ini sehingga terkadang pakaian yang dikenakannya
dijadikan ajang pelampiasan nafsu, yang akhirnya menyalahi garis fitroh
berpakaian. Secara tegas dalam ayat-ayat Al-Qur'an yang mulia, Alloh subhanahu
wa ta'ala menjadikan pakaian sebagai minnah (anugerah)dan nikmat-Nya.
Bahkan Alloh pun telah mewajibkan dan memerintahkan secara khusus pada
kondisi-kondisi tertentu dan untuk tujuan-tujuan tertentu pula, yang pada
intinya adalah untuk kebaikan dan maslahat hamba-Nya itu sendiri.
Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan
kepada kalian Pakaian untuk menutup aurat kalian dan Pakaian indah untuk
perhiasan. dan Pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu
adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Alloh, Mudah-mudahan mereka
selalu ingat". (QS. Al A'raaf [7]: 26)
Tafsir ayat diatas:
"Alloh subhanahu wa ta'ala memberikan
kegembiraan kepada bani Adam dengan mengnugerahkan pakaian sebagai kebutuhan
sandang yang fital maupun pakaian keindahan seperti masalah makanan, minuman
dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Dan Alloh pun menjelaskan penganugerahan
nikmat-Nya tersebut bukan sebagai sarana pelengkap semata-mata, bahkan ada
tujuan lain yang lebih besar yaitu sebagai media untuk menunjang ibadah dan
keta'atan. Oleh karena itu, pakaian yang paling baik adalah pakaian taqwa
yang berupa kebaikan hati dan jiwa". (lihat Taisir Karimir Rohman:
248)
Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Hai anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di
setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". (QS. Al A'raaf
[7]: 31)
Tafsir ayat diatas:
"Setelah Alloh subhanahu wa ta'ala
menganugerahkan pakaian untuk menutup aurat dan pakaian indah untuk
perhiasan, maka Alloh pun memerintahkan bani Adam untuk menutup aurat mereka
disaat sholat, baik sholat wajib maupun sholat sunnah. Menutup aurat dengan
pakaian berarti menghiasi badan tersebut sebagaimana jika aurat terbuka
(bahkan dipajang) yang merupakan tindak pelecehan dan keburukan. Dari ayat
diatas dapat diambil hukum lainya seperti:
1) Perintah menutup
aurat di saat sholat.
2) Perintah
memperbagus pakaian sholat (bersih dan rapi).
3) Perintah menjaga
kebersihan pakaian dari kotoran dan Najis. (lihat Taisir Karimir Rohman:
249)
"Dan dia jadikan bagi kalian Pakaian yang memelihara
kalian dari panas dan Pakaian (baju besi) yang memelihara kalian dalam
peperangan. Demikianlah Alloh menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian, agar
kalian berserah diri (kepada-Nya)". (QS. An Nahl [16]:
81)
Tafsir ayat diatas:
"(Ayat ini dan 3 ayat sebelumnya) menjelaskan
nikmat-nikmat Alloh subhanahu wa ta'ala yang banyak dan sebagai
kesempurnaannya adalah dengan menambahkan nikmat-nikmat tersebut hingga batasan
yang tidak dapat ditakar maupun dihitung". (lihat Taisir Karimir
Rohman: 249)
Disamping itu Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam
juga telah memberikan tuntunan mengenai pakaian dan penggunaannya dalam
sabdanya:
"كُلُوْا
وَاشْرَبُوْا وَ تَصَدَّقُوْا وَالْبَسُوْا مِنْ غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا
مَخِيْلَةٍ"
"Makan, minum, berpakaian dan bersedekahlah kalian
namun jangan berlebih-lebihan dan sombong". (lihat Shohih
Sunan An-Nasai: 2399)
Dari dalil-dalil diatas, karena berpakaian bukan hanya
sekedar alat pembungkus tubuh bahkan erat kaitannya dengan perintah ibadah,
maka hendaknya seorang muslim senantiasa memperhatikan adab-adabnya,
sebagaimana Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam telah menjelaskan
jenis-jenis pakaian yang di perbolehkan, di larang, di sunnahkan maupun yang
dibenci. Diantara adab-adab berpakaian adalah:
A. Adab Sebelum Berpakaian.
1) Bagi laki-laki di
larang memakai sutra dan emas secara mutlak, namun kedua hal tersebut
dihalalkan bagi perempuan.
"لَا تَلْبَسُوْا الحَرِيْرَ، فَإِنَّهُ مَنْ لَبِسَهُ فِيْ
الدُّنْيَا لَمْ يَلْبَسْهُ فِيْ الآخِرَةِ"
"Janganlah
memakai sutra, karena siapa saja yang memakainya didunia, maka diakhirat dia
tidak akan memakai-nya lagi". (HR. Bukhori: 5834 dan Muslim: 2069)
2) Lebih utama memakai
pakaian yang berwarna putih, meskipun warna yang lainnya diperbolehkan.
Rosululloh sholallohu
alaihi wa sallam bersabda:
"إِلْبَسُوْا البَيَاضَ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَ أَطْيَبُ،
وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ"
"Pakailah
pakaian putih, karena dia lebih suci dan lebih bagus. Dan kafanilah mayit
kalian dengan kain putih tersebut". (HR. Ahmad: 20239 dan Tirmidzi: 2819, ia berkata: ini
hadits hasan shohih)
3) Tidak meniru
pakaian orang-orang musyrik, kafir dan golongan yang terlarang untuk
diikutinya.
Rosululloh sholallohu
alaihi wa sallam bersabda:
"مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ"
"Barangsiapa
yang meniru-niru (perbuatan) suatu kaum, maka dia termasuk golongan
mereka". (lihat Shohih Abi Daud: 3401)
Masalah berpakaian
termasuk dalam cakupan hadits diatas.
4) Tidak boleh memakai
pakaian lawan jenis seperti laki-laki memakai pakaian wanita atau sebaliknya.
Rosululloh sholallohu
alaihi wa sallam bersabda:
"لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لُبْسَةَ
المَرْأَةِ وَ المَرْأَةَ تَلْبَسُ لُبْسَةَ الرَّجُلِ"
"Alloh
melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai
pakaian laki-laki". (HR. Adu Duad: 4/157, An-Nasa'i: 371)
5) Memulai memakai
pakaian dari kanan.
Aisyah rodhiallohu
anha berkata:
"كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُحِبُُّ التَّيَمُّنَ فِيْ شَأْنِهِ
كُلِّهِ فِيْ نَعْلَيْهِ وَ تَرَجُّلِهِ وَ طَهُوْرِهِ"
"Rosululloh
sholallohu alaihi wa sallam menyenangi memakai sesuatu dari bagian kanan
dalam setiap perbuatan, baik dalam bersandal, berjalan maupun bersuci". (HR. Muslim: 67 atau
268)
6) Tidak memanjangkan
pakaian, baju, mantel dan lainnya melebihi mata kaki, walaupun tidak berniat
sombong.
Rosululloh sholallohu
alaihi wa sallam bersabda:
"مَا أَسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِيْ
النَّارِ"
"(Kain) yang
melebihi mata kaki tempatnya dineraka". (HR. Bukhori:
5787)
"لَا
يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ القِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا"
"Alloh tidak
akan melihat orang yang memanjangkan bagian (melebihi mata kaki) karena
sombong".
(HR. Bukhori: 5788 dan Muslim: 48, 2087)
Sedangkan bagi
wanita muslimah diperintahkan untuk memanjangkan pakaian hingga menutup kedua
kakinya dan mengulurkan jilbab (kerudungnya) hingga menutupi kepala, tengkuk,
leher, dan dadanya.
Alloh subhanahu
wa ta'ala berfirman:
"Hai nabi,
Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang".
(QS. Al Ahzab [33]: 59)
"Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka". (QS. An Nuur
[24]: 31)
Dalam riwayat
aisyah dan Ummu Salamah, dijelaskan bahwa kaum muslimah ketika turun perintah
hijab, maka mereka merobek selendang tebalnya seperti kerudung dan senantiasa
memakainya ketika keluar rumah. (HR. Bukhori: 4758)
7) Berdo'a disaat
berpakaian:
"الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ كَسَانِيْ هَذَا (الثَّوْبَ)
وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلَا قُوَّةٍ"
"Segala puji
bagi Alloh yang menganugerahkan pakaian ini kepadaku sebagai rizeki-Nya,
tanpa daya dan kekuatan dariku". (lihat Irwaul Gholil: 7/47)
1.
Adab Di Saat Berpakaian.
1) Mendo'akan teman
(muslim) yang mengenakan pakaian baru dengan do'a:
"إِلْبَسْ جَدِيْدًا وَ عِشْ حَمِيْدًا وَ مِتْ
شَهِيْدًا"
"Berpakaianlah
yang baru, hiduplah dengan terpuji dan matilah sebagai syahid". (lihat Shohih
Ibnu Majah: 2/275)
2) Senantiasa menjaga
kerapian dan kebersihan pakaian terutama dari najis dan kotoran-kotoran
lainnya.
1.
Adab Setelah Berpakaian.
Meletakkan pakaian
pada tempatnya dengan rapi sambil membaca do'a:
"بِسْمِ اللهِ"
"Dengan nama
Alloh (aku meletakkan pakaian)". (HR. Tirmidzi: 2/ 505, lihat di Shohihul Jami': 3/203)
|