- Pengertian Supervisi
Konsep supervisi modern dirumuskan oleh Kimball Wiles (1967)
sebagai berikut : “Supervision is assistance in the devolepment of a better
teaching learning situation”. Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan
situasi pembelajaran yang lebih baik. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa
layanan supervisi meliputi keseluruhan situasi belajar mengajar (goal,
material, technique, method, teacher, student, an envirovment). Situasi belajar
inilah yang seharusnya diperbaiki dan ditingkatkan melalui layanan kegiatan supervisi.
Dengan demikian layanan supervisi tersebut mencakup seluruh aspek dari
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran.
Konsep supervisi tidak bisa disamakan dengan inspeksi,
inspeksi lebih menekankan kepada kekuasaan dan bersifat otoriter, sedangkan supervisi
lebih menekankan kepada persahabatan yang dilandasi oleh pemberian pelayanan
dan kerjasama yang lebih baik diantara guru-guru, karena bersifat demokratis.
Istilah supervisi pendidikan dapat dijelaskan baik menurut asal usul
(etimologi), bentuk perkataannya (morfologi), maupun isi yang terkandung dalam
perkataan itu ( semantik).
1) Etimologi
Istilah supervisi diambil dalam perkataan bahasa Inggris “
Supervision” artinya pengawasan di bidang pendidikan. Orang yang melakukan
supervisi disebut supervisor.
2) Morfologis
Supervisi dapat dijelaskan menurut bentuk perkataannya.
Supervisi terdiri dari dua kata.Super berarti atas, lebih. Visi
berarti lihat, tilik, awasi. Seorang supervisor memang mempunyai posisi diatas
atau mempunyai kedudukan yang lebih dari orang yang disupervisinya.
3) Semantik
Pada hakekatnya isi yang
terandung dalam definisi yang rumusanya tentang sesuatu tergantung dari orang
yang mendefinisikan. Wiles secara singkat telah merumuskan bahwa supervisi
sebagai bantuan pengembangan situasi mengajar belajar agar lebih baik. Adam dan
Dickey merumuskan supervisi sebagai pelayanan khususnya menyangkut perbaikan
proses belajar mengajar. Sedangkan Depdiknas (1994) merumuskan supervisi
sebagai berikut : “ Pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar
mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar
mengajar yang lebih baik “. Dengan demikian, supervisi ditujukan kepada
penciptaan atau pengembangan situasi belajar mengajar yang lebih baik. Untuk itu
ada dua hal (aspek) yang perlu diperhatikan :
a. Pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar
b. Hal-hal yang menunjang
kegiatan belajar mengajar
Karena aspek utama adalah guru, maka layanan dan aktivitas
kesupervisian harus lebih diarahkan kepada upaya memperbaiki dan meningkatkan
kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar. Untuk itu guru harus
memiliki yakni : 1) kemampuan personal, 2) kemampuan profesional 3) kemampuan
sosial (Depdiknas, 1982).
Atas dasar uraian diatas, maka pengertian supervisi dapat
dirumuskan sebagai berikut “ serangkaian usaha pemberian bantuan kepada guru
dalam bentuk layanan profesional yang diberikan oleh supervisor ( Pengawas
sekolah, kepala sekolah, dan pembina lainnya) guna meningkatkan mutu proses dan
hasil belajar mengajar. Karena supervisi atau pembinaan guru tersebut lebih
menekankan pada pembinaan guru tersebut pula “Pembinaan profesional guru“ yakni
pembinaan yang lebih diarahkan pada upaya memperbaiki dan meningkatkan
kemampuan profesional guru.
Supervisi dapat kita artikan sebagai pembinaan. Sedangkan
sasaran pembinaan tersebut bisa untuk kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha.
Namun yang menjadi sasaran supervisi diartikan pula pembinaan guru.[1]
- Pentingnya Pengembangan Sumber Daya Guru dengan Supervisi
Di abad sekarang ini, yaitu era globalisasi dimana
semuanya serba digital, akses informasi sangat cepat dan persaingan hidup
semakin ketat, semua bangsa berusaha untuk meningkatkan sumber daya manusia.
Hanya manusia yang mempunyai sumber daya unggul dapat bersaing dan
mempertahankan diri dari dampak persaingan global yang ketat. Termasuk sumber
daya pendidikan. Yang termasuk dalam sumber daya pendidikan yaitu ketenagaan,
dana dan sarana dan prasarana.[2]
Guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui
kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya
meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga
kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun
kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional.
Ada dua metafora untuk menggambarkan pentingnya pengembangan
sumber daya guru. Pertama, jabatan guru diumpamakan dengan sumber air.
Sumber air itu harus terus menerus bertambah, agar sungai itu dapat mengalirkan
air terus-menerus. Bila tidak, maka sumber air itu akan kering. Demikianlah
bila seorang guru tidak pernah membaca informasi yang baru, tidak menambah ilmu
pengetahuan tentang apa yang diajarkan, maka ia tidak mungkin memberi ilmu dan
pengetahuan dengan cara yang lebih menyegarkan kepada peserta didik.
Kedua, jabatan guru diumpamakan dengan sebatang pohon
buah-buahan. Pohon itu tidak akan berbuah lebat, bila akar induk pohon tidak
menyerap zat-zat makanan yang berguna bagi pertumbuhan pohon itu. Begitu juga
dengan jabatan guru yang perlu bertumbuh dan berkembang. Baik itu pertumbuhan
pribadi guru maupun pertumbuhan profesi guru. Setiap guru perlu menyadari bahwa
pertumbuhan dan pengembangan profesi merupakan suatu keharusan untuk
menghasilkan output pendidikan berkualitas. Itulah sebabnya guru perlu belajar
terus menerus, membaca informasi terbaru dan mengembangkan ide-ide kreatif
dalam pembelajaran agar suasana belajar mengajar menggairahkan dan menyenangkan
baik bagi guru apalagi bagi peserta didik.
Peningkatan sumber daya guru bisa dilaksanakan dengan
bantuan supervisor, yaitu orang ataupun instansi yang melaksanakan kegiatan
supervisi terhadap guru. Perlunya bantuan supervisi terhadap guru berakar
mendalam dalam kehidupan masyarakat. Swearingen mengungkapkan latar belakang
perlunya supervisi berakar mendalam dalam kebutuhan masyarakat dengan latar
belakang sebagai berikut :
1. Latar Belakang Kultural
Pendidikan berakar dari budaya arif lokal setempat. Sejak
dini pengalaman belajar dan kegiatan belajar-mengajar harus daingkat dari isi
kebudayaan yang hidup di masyarakat itu. Sekolah bertugas untuk mengkoordinasi
semua usaha dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
2. Latar Belakang Filosofis
Suatu system pendidikan yang berhasil guna dan berdaya guna
bila ia berakar mendalam pada nilai-nilai filosofis pandangan hidup suatu
bangsa.
3. Latar Belakang Psikologis
Secara psikologis supervisi itu berakar mendalam pada
pengalaman manusia. Tugas supervisi ialah menciptakan suasana sekolah yang
penuh kehangatan sehingga setiap orang dapat menjadi dirinya sendiri.
4. Latar Belakang Sosial
Seorang supervisor dalam melakukan tanggung jawabnya harus
mampu mengembangkan potensi kreativitas dari orang yang dibina melalui cara
mengikutsertakan orang lain untuk berpartisipasi bersama. Supervisi harus
bersumber pada kondisi masyarakat.
5. Latar Belakang Sosiologis
Secara sosiologis perubahan masyarakat punya dampak terhadap
tata nilai. Supervisor bertugas menukar ide dan pengalaman tentang mensikapi
perubahan tata nilai dalam masyarakat secara arif dan bijaksana.
6. Latar Belakang Pertumbuhan
Jabatan
Supervisi bertugas memelihara, merawat dan menstimulasi
pertumbuhan jabatan guru. Diharapkan guru menjadi semakin professional dalam
mengemban amanat jabatannya dan dapat meningkatkan posisi tawar guru di
masyarakat dan pemerintah, bahwa guru punya peranan utama dalam pembentukan
harkat dan martabat manusia.
Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan
supervisi di lingkungan pendidikan dasar adalah bagaimana cara mengubah pola
pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan
kreatif, yaitu sikap yang menciptakan situasi dan relasi di mana guru-guru
merasa aman dan diterima sebagai subjek yang dapat berkembang sendiri. Untuk
itu, supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data, fakta yang objektif
(Sahertian, 2000:20).
Supandi (1986:252), menyatakan bahwa ada dua hal yang
mendasari pentingnya supervisi dalam proses pendidikan.
1. Perkembangan kurikulum
merupakan gejala kemajuan pendidikan. Perkembangan tersebut sering menimbulkan
perubahan struktur maupun fungsi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum tersebut
memerlukan penyesuaian yang terus-menerus dengan keadaan nyata di lapangan. Hal
ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus berusaha mengembangkan
kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan kurikulum dapat
terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak selamanya berjalan
mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya informasi yang
diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum,
masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode yang masih
harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum terkuasai. Dengan
demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan pendidikan di
tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus dalam memenuhi
tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum.
2. Pengembangan personel,
pegawai atau karyawan senantiasa merupakan upaya yang terus-menerus dalam suatu
organisasi. Pengembangan personal dapat dilaksanakan secara formal dan
informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan
melalui penataran, tugas belajar, loka karya dan sejenisnya. Sedangkan
pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan dilaksanakan
secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui berbagai kegiatan
seperti kegiatan ilmiah, percobaan suatu metode mengajar, dan lain sebagainya.
Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib
dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi
dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan
pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang
dilaksakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan
guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu
proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan
timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan
tertentu. Oleh karena kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki
kinerja guru dalam proses pembelajaran.
Secara umum ada 2 (dua) kegiatan yang termasuk dalam
kategori supevisi pengajaran, yakni:
1. Supervsi yang dilakukan
oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru.
Secara rutin dan terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan
kegiatan supervisi kepada guru-guru dengan harapan agar guru mampu memperbaiki
proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala sekolah memantau
secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain kegiatan
pembelajaran dalam bentuk rencana pembelajaran kemudian kepala sekolah
mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru. Saat kegiatan supervisi
berlangsung, kepala sekolah menggunakan leembar observasi yang sudah dibakukan,
yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri atas APKG 1 (untuk
menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2 (untuk menilai
pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru.
2. Supervisi yang dilakukan
oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan
kinerja.
Kegiatan supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah yang
bertugas di suatu Gugus Sekolah. Gugus Sekolah adalah gabungan dari beberapa
sekolah terdekat, biasanya terdiri atas 5-8 Sekolah Dasar. Hal-hal yang diamati
pengawas sekolah ketika melakukan kegiatan supervisi untuk memantau kinerja
kepala sekolah, di antaranya administrasi sekolah, meliputi:
a. Bidang Akademik,
mencakup kegiatan:
1) menyusun program tahunan
dan semester,
2) mengatur jadwal pelajaran,
3) mengatur pelaksanaan
penyusunan model satuan pembelajaran,
4) menentukan norma kenaikan
kelas,
5) menentukan norma penilaian,
6) mengatur pelaksanaan
evaluasi belajar,
7) meningkatkan perbaikan mengajar,
mengatur kegiatan kelas apabila guru tidak hadir, dan
9) mengatur disiplin dan tata
tertib kelas.
b. Bidang Kesiswaan, mencakup
kegiatan:
1) mengatur pelaksanaan
penerimaan siswa baru berdasarkan peraturan penerimaan siswa baru,
2) mengelola layanan bimbingan
dan konseling,
3) mencatat kehadiran dan
ketidakhadiran siswa, dan
4) mengatur dan mengelola
kegiatan ekstrakurikuler.
c. Bidang Personalia,
mencakup kegiatan:
1) mengatur pembagian tugas
guru,
2) mengajukan kenaikan
pangkat, gaji, dan mutasi guru,
3) mengatur program
kesejahteraan guru,
4) mencatat kehadiran dan
ketidakhadiran guru, dan
5) mencatat masalah atau
keluhan-keluhan guru.
d. Bidang Keuangan, mencakup
kegiatan:
1) menyiapkan rencana anggaran
dan belanja sekolah,
2) mencari sumber dana untuk
kegiatan sekolah,
3) mengalokasikan dana untuk
kegiatan sekolah, dan
4) mempertanggungjawabkan
keuangan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
e. Bidang Sarana dan
Prasarana, mencakup kegiatan:
1) penyediaan dan seleksi buku
pegangan guru,
2) layanan perpustakaan dan
laboratorium,
3) penggunaan alat peraga,
4) kebersihan dan keindahan
lingkungan sekolah,
5) keindahan dan kebersihan
kelas, dan
6) perbaikan kelengkapan
kelas.
f. Bidang Hubungan
Masyarakat, mencakup kegiatan:
1) kerjasama sekolah dengan
orangtua siswa,
2) kerjasama sekolah dengan
Komite Sekolah,
3) kerjasama sekolah dengan
lembaga-lembaga terkait, dan
4) kerjasama sekolah dengan
masyarakat sekitar (Depdiknas 1997).
Sedangkan ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau
pengawas juga terkait dengan administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan
guru, diantaranya :
a. Penggunaan program
semester
b. Penggunaan rencana
pembelajaran
c. Penyusunan rencana
harian
d. Program dan pelaksanaan
evaluasi
e. Kumpulan soal
f. Buku pekerjaan
siswa
g. Buku daftar nilai
h. Buku analisis hasil
evaluasi
i. Buku
program perbaikan dan pengayaan
j. Buku program
Bimbingan dan Konseling
k. Buku pelaksanaan kegiatan
ekstrakurikuler
- Profesionalisme Guru
Profesionalisme menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan.
Apalagi profesi guru yang sehari-hari menangani benda hidup yang berupa
anak-anak atau siswa dengan berbagai karakteristik yang masing-masing tidak
sama. Pekerjaaan sebagai guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut
peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan dirinya mengalami
stagnasi.
Guru yang
profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai
kapasitasnya sebagai pendidik. Studi yang dilakukan oleh Ace Suryani
menunjukkan bahwa Guru yang bermutu dapat diukur dengan lima indikator, yaitu:
pertama, kemampuan profesional (professional capacity), sebagaimana terukur
dari ijazah, jenjang pendidikan, jabatan dan golongan, serta pelatihan. Kedua,
upaya profesional (professional efforts), sebagaimana terukur dari kegiatan
mengajar, pengabdian dan penelitian. Ketiga, waktu yang dicurahkan untuk
kegiatan profesional (teacher’s time), sebagaimana terukur dari masa jabatan,
pengalaman mengajar serta lainnya. Keempat, kesesuaian antara keahlian dan
pekerjaannya (link and match), sebagaimana terukur dari mata pelajaran yang
diampu, apakah telah sesuai dengan spesialisasinya atau tidak, serta kelima,
tingkat kesejahteraan (prosperiousity) sebagaimana terukur dari upah, honor
atau penghasilan rutinnya. Tingkat kesejahteraan yang rendah bisa mendorong
seorang pendidik untuk melakukan kerja sambilan, dan bilamana kerja sambilan
ini sukses, bisa jadi profesi mengajarnya berubah menjadi sambilan.
Guru yang profesional amat berarti bagi pembentukan sekolah
unggulan. Guru profesional memiliki pengalaman mengajar, kapasitas intelektual,
moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab, wawasan kependidikan yang
luas, kemampuan manajerial, trampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional
dalam memahami potensi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik,
mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki
kemampuan meneliti dan mengembangkan
kurikulum.[3]
Dewasa ini banyak
guru, dengan berbagai alasan dan latar belakangnya menjadi sangat sibuk
sehingga tidak jarang yang mengingat terhadap tujuan pendidikan yang menjadi
kewajiban dan tugas pokok mereka. Seringkali kesejahteraan yang kurang
atau gaji yang rendah menjadi alasan bagi sebagian guru untuk menyepelekan
tugas utama yaitu mengajar sekaligus mendidik siswa. Guru hanya sebagai
penyampai materi yang berupa fakta-fakta kering yang tidak bermakna karena guru
menang belajar lebih dulu semalam daripada siswanya. Terjadi ketidaksiapan
dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar ketika guru tidak memahami tujuan umum
pendidikan. Bahkan ada yang mempunyai kebiasaan mengajar yang kurang baik yaitu
tiga perempat jam pelajaran untuk basa-basi bukan apersepsi dan seperempat jam
untuk mengajar. Suatu proporsi yang sangat tidak relevan dengan keadaan dan
kebutuhan siswa. Guru menganggap siswa hanya sebagai pendengar setia yang tidak
diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya.
Banyak kegiatan belajar mengajar yang tidak sesuai dengan
tujuan umum pendidikan yang menyangkut kebutuhan siswa dalam belajar, keperluan
masyarakat terhadap sekolah dan mata pelajaran yang dipelajari. Guru memasuki
kelas tidak mengetahui tujuan yang pasti, yang penting demi menggugurkan
kewajiban. Idealisme menjadi luntur ketika yang dihadapi ternyata masih
anak-anak dan kalah dalam pengalaman. Banyak guru enggan meningkatkan kualitas
pribadinya dengan kebiasaan membaca untuk memperluas wawasan. Jarang pula yang
secara rutin pergi ke perpustakaan untuk melihat perkembangan ilmu pengetahuan.
Kebiasaan membeli buku menjadi suatu kebiasaan yang mustahil dilakukan karena
guru sudah merasa puas mengajar dengan menggunakan LKS ( Lembar Kegiatan Siswa
) yang berupa soal serta sedikit ringkasan materi.
Dapat dilihat daftar pengunjung di perpustakaan sekolah
maupun di perpustakaan umum, jarang sekali guru memberi contoh untuk mengunjungi
perpustakaan secara rutin. Lebih banyak pengunjung yang berseragam sekolah
daripada berseragam PSH. Kita masih harus “Khusnudhon” bahwa dirumah mereka
berlangganan koran harian yang siap disantap setiap pagi. Tetapi ada juga
kekhawatiran bahwa yang lebih banyak dibaca adalah berita-berita kriminal yang
menempati peringkat pertama pemberitaan di koran maupun televisi. Sedangkan
berita-berita mengenai pendidikan, penemuan-penemuan baru tidak menarik untuk
dibaca dan tidak menarik perhatian. Kebiasaan membaca saja sulit dilakukan
apalagi kebiasaan menulis menjadi lebih mustahil dilakukan. Ini adalah realita
dilapangan yang patut disesalkan.
Sarana dan prasarana penunjang pelajaran yang kurang
memadai, terutama di daerah terpencil. Tetapi hal ini tidak bisa dijadikan
alasan bahwa dengan sarana yang minimpun dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin
agar mendaptkan hasil yang bagus. Terkadang kita juga harus memakai prisip
ekonomi yang ternyata dapat membawa kemajuan. Yang sering dijumpai adalah sudah
ada sarana tetapi tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Peta dunia hanya dipajang di depan kelas, globe atau bola
dunia dibiarkan berkarat tidak pernah tersentuh, buku-buku pelajaran
diperpustakaan dimakan rayap, alat-alat praktek di laboratorium hanya tersimpan
rapi di almari tidak pernah dipergunakan. Media pengajaran yang sudah ada
jangan dibiarkan rusak atau berkarat gara-gara disimpan. Lebih baik rusak
karena digunakan untuk praktek siswa. Guru dituntut lebih kreatif dan inovatif
dalam pemakaian sarana dan media yang ada demi peningkatan mutu pendidikan.
Sekolah juga tidak harus bergantung pada bantuan dari pemerintah mengingat
kebutuhan masing-masing sekolah tidaklah sama.
Tingkat kesejahteraan guru yang kurang mengakibatkan banyak
guru yang malas untuk berprestasi karena disibukkan mencari tambahan kebutuhan
hidup yang semakin berat. Anggaran pendidikan minimal 20 % harus dilaksanakan
dan diperjuangkan unutk ditambah karena pendidikan menyangkut kelangsungan
hidup suatu bangsa. Apabila tingkat kesejahteraan diperhatikan, konsentrasi
guru dalam mengajar akan lebih banyak tercurah untuk siswa.
Penataran dan pelatihan mutlak diperlukan demi meningkatkan
pengetahuan, wawasan dan kompetensi guru. Kegiatan ini membutuhkan biaya yang
tidak sedikit, tetapi hasilnya juga akan seimbang jika dilaksanakan secara
baik. Jika kegiatan penataran, pelatihan dan pembekalan tidak dilakukan, guru
tidak akan mampu mengembangkan diri, tidak kreatif dan cenderung apa adanya.
Kecenderungan ini ditambah dengan tidak adanya rangsangan dari pemerintah atau
pejabat terkait terhadap profesi guru. Rangsangan itu dapat berupa penghargaan
terhadap guru-guru yang berprestasi atau guru yang inovatif dalam proses
belajar mengajar.
Guru harus diberi keleluasaan dalam menetapkan dengan tepat
apa yang digagas, dipikirkan, dipertimbangkan, direncanakan dan dilaksanakan
dalam pengajaran sehari-hari, karena di tangan gurulah keberhasilan belajar
siswa ditentukan, tidak oleh Bupati, Gubernur, Walikota, Pengawas, Kepala
Sekolah bahkan Presiden sekalipun.
Mutlak dilakukan ketika awal menjadi guru adalah memahami
tujuan umum pendidikan, mamahami karakter siswa dengan berbagai perbedaan yang
melatar belakanginya. Sangatlah penting untuk memahami bahwa siswa balajar
dalam berbagai cara yang berbeda, beberapa siswa merespon pelajaran dalam
bentuk logis, beberapa lagi belajar dengan melalui pemecahan masalah (problem
solving), beberapa senang belajar sendiri daripada berkelompok.
Cara belajar siswa yang berbeda-beda, memerlukan cara
pendekatan pembelajaran yang berbeda. Guru harus mempergunakan berbagai
pendekatan agar anak tidak cepat bosan. Kemampuan guru untuk melakukan berbagai
pendekatan dalam belajar perlu diasah dan ditingkatkan. Jangan cepat merasa
puas setelah mengajar, tetapi lihat hasil yang didapat setelah mengajar.
Sudahkah sesuai dengan tujuan umum pendidikan. Perlu juga dipelajari penjabaran
dari kurikulum ang dipergunakan agar yang diajarkan ketika di kelas tidak
melencenga dari GBBP/kurikulum yang sudah ditentukan.
Guru juga perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang
psikologi pendidikan dalam menghadapai siswa yang berneka ragam. Karena tugas
guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang akan
membentuk jiwa dan kepribadian siswa. Maju dan mundur sebuah bangsa tergantung
pada keberhasilan guru dalam mendidik siswanya.
Pemerintah juga harus senantiasa memperhatikan tingkat
kesejahteraan guru, karena mutlak diperlukan kondisi yang sejahtera agar dapat
bekerja secara baik dan meningkatkan profesionalisme. Makin kuatnya tuntutan
akan profesionalisme guru bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di
negara-negara maju. Seperti Amerika Serikat, isu tentang profesionalisme guru
ramai dibicarakan pada pertengahan tyahun 1980-an. Jurnal terkemuka manajemen
pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1933 menurunkan laporan mengenai
tuntutan guru professional.
Menurut Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang
guru dituntut memiliki lima hal, yakni:
1) Guru mempunyai komitmen
pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru
adalah kepada kepentingan siswanya.
2) Guru menguasai secara
mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada
siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
3) Guru bertanggung jawab
memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara
pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
4) Guru mampu berpikir
sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya.
Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi
terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia
harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada
proses belajar siswa.
5) Guru seyogianya merupakan
bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya PGRI dan
organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98).
Dalam konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru
dapat diwujudkan dalam penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi:
1) Menguasai bahan, meliputi:
a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b) menguasai bahan
pengayaan/penunjang bidang studi.
2) Mengelola program
belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b) mengenal dan
menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan program
belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.
3) Mengelola kelas, meliputi:
a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan iklim
belajar-mengajar yang serasi.
4) Penggunaan media atau
sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b) membuat alat
bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses
belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan
lapangan.
5) Menguasai landasan-landasan
pendidikan.
6) Mengelola
interaksi-interaksi belajar-mengajar.
7) Menilai prestasi siswa
untuk kepentingan pelajaran.
Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a)
mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling, b)
menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling.
9) Mengenal dan
menyelenggarakan administrasi sekolah.
10) Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil
penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran (Suryasubrata 1997:4-5).
- Konsep Mutu Pendidikan
Proses pendidikan yang bermutu ditentukan oleh berbagai
unsur dinamis yang akan ada di dalam sekolah itu dan lingkungannya sebagai
suatu kesatuan sistem. Menurut Townsend dan Butterworth (1992:35) dalam bukunya
Your Child’s Scholl, ada sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pendidikan
yang bermutu, yakni:
1) keefektifan kepemimpinan
kepala sekolah
2) partisipasi dan rasa
tanggung jawab guru dan staf,
3) proses belajar-mengajar
yang efektif,
4) pengembangan staf yang
terpogram,
5) kurikulum yang relevan,
6) memiliki visi dan misi yang
jelas,
7) iklim sekolah yang
kondusif,
penilaian diri terhadap kekuatan dan kelemahan,
9) komunikasi efektif baik
internal maupun eksternal, dan
10) keterlibatan orang tua dan masyarakat secara
instrinsik.
Dalam konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai
makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan yang
ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria tertentu (Surya, 2002:12).
Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input,
proses, dan output pendidikan (Depdiknas, 2001:5). Input pendidikan adalah
segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya
proses. Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang
lain dengan mengintegrasikan input sekolah sehingga mampu menciptakan situasi
pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi
dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Output
pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah yang dapat diukur dari kualitasnya,
efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, dan moral kerjanya.
Berdasarkan konsep mutu pendidikan maka dpaat dipahami bahwa
pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input
pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses
pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas –
batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan
mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to
improve student achievement).
Selama tahun 2002 dunia pendidikan ditandai dengan berbagai
perubahan yang datang bertubi-tubi, serempak, dan dengan frekuensi yang sangat
tinggi. Belum tuntas sosialisasi perubahan yang satu, datang perubahan yang
lain. Beberapa inovasi yang mendominasi panggung pendidikan selama tahun 2002
antara lain adalah Pendidikan Berbasis Luas (PBL/BBE) dengan life skills-nya,
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/CBC), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS/SBM),
Ujian Akhir Nasional (UAN) pengganti EBTANAS, pembentukan dewan sekolah dan
dewan pendidikan kabupaten/kota. Setiap pembaruan tersebut memiliki kisah dan
problematiknya sendiri.
Fenomena yang menarik adalah perubahan itu umumnya memiliki
sifat yang sama, yakni menggunakan kata berbasis (based). Bila diamati lebih
jauh, perubahan yang “berbasis” itu umumnya dari atas ke bawah: dari pusat ke
daerah, dari pengelolaan di tingkat atas menuju sekolah, dari pemerintah ke
masyarakat, dari sesuatu yang sifatnya nasional menuju yang lokal.
Istilah-istilah lain yang populer dan memiliki nuansa yang sama dengan
“berbasis” adalah pemberdayaan (empowerment), akar rumput (grass-root), dari
bawah ke atas (bottom up), dan sejenisnya. Apa itu artinya?
Simak saja label-label perubahan yang dewasa ini
berseliweran dalam dunia pendidikan nasional (kadang-kadang dipahami secara
beragam): manajemen berbasis sekolah (school based management), peningkatan
mutu berbasis sekolah (school based quality improvement), kurikulum berbasis
kompetensi (competence based curriculum), pengajaran/pelatihan berbasis
kompetensi (competence based teaching/training), pendidikan berbasis luas
(broad based education), pendidikan berbasis masyarakat (community based
education), evaluasi berbasis kelas (classroom based evaluation), evaluasi
berbasis siswa (student based evaluation) dikenal juga dengan evaluasi
portofolio, manajemen pendidikan berbasis lokal (local based educational
management), pembiayaan pendidikan berbasis masyarakat (community based
educational financing), belajar berbasis internet (internet based learning),
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan entah apa lagi.
Fullan & Stiegerbauer (1991: 33) dalam “The New Meaning
of Educational Change” mencatat bahwa setiap tahun guru berurusan dengan
sekitar 200.000 jenis urusan dengan karakteristik yang berbeda dan itu
merupakan sumber stres bagi mereka. Mungkin tak aneh bila dilaporkan banyak
guru mengalami stres dan jenuh.
Supriadi (2002:17) mengatakan: “orang yang mendalami teori
difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam
bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang
dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan”. Sejak awal,
berbagai kondisi perlu diperhitungkan, mulai substansi inovasi itu sendiri
sampai kondisi-kondisi lokal tempat inovasi itu akan diimplementasikan.
Intinya, suatu perubahan yang mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan
skala yang luas akan selalu memerlukan waktu. Suatu inovasi mestinya jelas
kriterianya, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya
oleh pihak yang melaksanakannya.
Langkah percepatan dapat saja dilakukan, tetapi dengan
risiko kegagalan yang besar akibat inovasi itu kurang dihayati secara penuh
oleh pelaksananya. Kami menilai bahwa banyak inovasi pendidikan yang
diluncurkan di Indonesia dewasa ini yang melanggar prinsip-prinsip tersebut, di
samping secara konseptual “cacat sejak lahir”, serba tergesa-gesa, serba
instan, targetnya tidak realistik, didasari asumsi yang linier seakan-akan
suatu inovasi akan bergulir mulus begitu diluncurkan, dan secara implisit
dimuati obsesi demi menanamkan “aset politik” di masa depan.
No comments:
Post a Comment