PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA BERBASIS QUANTUM LEARNING DI SEKOLAH DASAR
Penulis : Dr. Andayani, M.Pd
Kata kunci : model, pembelajaran, apresiasi sastra, quantum learning, sekolah dasar
Penulis : Dr. Andayani, M.Pd
Kata kunci : model, pembelajaran, apresiasi sastra, quantum learning, sekolah dasar
Pembelajaran apresiasi sastra dapat mengantarkan anak didik ke dalam kemampuan berbahasa sampai pada tataran apresiasi, ekspresi, dan kreasi. Kekuatan karya sastra terletak pada pesan yang terkandung di dalamnya. Pesan yang disampaikan melalui karya sastra kuat dan lebih bersifat abadi jika dibandingkan dengan pesan secara harfiah. Terlebih lagi pada masa kini fenomena hilangnya tradisi bercerita (mendongeng), yang pada masa lalu dilakukan oleh kaum ibu sambil meninabobokkan anaknya di tempat tidur, saat ini anak-anak diperkenalkan dengan karya sastra hingga ke alam mimpi. Dengan fenomena hilangnya tradisi tersebut, maka pada masa kini, wahana perkenalan anak-anak dengan karya sastra diharapkan dapat terwujud melalui pembelajaran apresiasi sastra. Penelitian ini bermaksud menyajikan sebuah model untuk perbaikan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dasar yang selama ini menjadi sebuah pembelajaran tentang ilmu sastra dengan ditandai dengan fenomena penyajian pengetahuan tentang sastra dalam porsi yang besar kepada murid sekolah dasar. Fenomena tersebut menyebabkan apresiasi sastra menjadi pembelajaran yang sukar dan tidak diminati murid. Hasil penelitian ini diharapkan akan mewujudkan pembelajaran apresiasi sastra sesuai dengan hakikatnya. Hakikatnya dalam pembelajaran apresiasi sastra murid berhak mendapatkan kepuasan dan kekaguman. Namun, selama ini hal itu tidak pernah diperoleh murid. Gejala ini muncul karena kurangnya guru akan model pembelajaran. Pemilihan quantum learning dalam pembelajaran apresiasi sastra ini diharapkan dapat menjawab persoalan tersebut. Penelitian ini secara metodologis dekat dengan penelitian pengembangan yang berbentuk riset operasional. Penelitian ini berorientasi pada pengembangan produk berbentuk model pembelajaran. Secara prosedural, penelitian ini melalui tahapan: (1) studi pendahuluan; (2) tahap pengembangan; (3) tahap pengujian model; dan (4) dimensi hasil akhir berupa penerbitan buku pedoman bagi guru untuk pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dasar berbasis quantum learning. Hasil yang ditemukan dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, dari studi pendahuluan ditemukan permasalahan dan kebutuhan guru dan murid yang berkaitan dengan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dasar. Kebutuhan yang harus segera dipenuhi dalam pembelajaran apresiasi sastra adalah silabus pembelajaran apresiasi sastra RPP, dan alat evaluasi. Kebutuhan murid adalah pembelajaran apresiasi sastra yang mudah dipelajari dan menyenangkan. Kedua, tahap pengembangan yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah upaya untuk menciptakan pembelajaran apresiasi sastra berbasis quantum learning di sekolah dasar dengan cara menggunakan variasi pembelajaran, media, dan memberi pengertian kepada guru tentang model pembelajaran apresiasi sastra yang dapat membangkitkan rasa senang bagi murid yaitu dengan pembelajaran apresiasi sastra berbasis quantum learning. Prototype model berupa perangkat pembelajaran yang berbentuk silabus pembelajaran apresiasi sastra RPP, dan perangkat evaluasi. Pengembangan Prototype model menjadi model ini berbentuk model prosedural. Model prosedural yang dikembangkan mengutamakan bentuk prosedur pembelajaran apresiasi sastra yang mengacu pada hakikat quantum learning. Pengembangan dilakukan dengan expert judgement, uji coba terbatas, dan uji coba yang lebih luas di lapangan. Hasil pengembangan Prototype model menjadi model berdasarkan expert judgement menyatakan bahwa model silabus yang dirancang mengacu pada pedoman penyusunan silabus yang berlaku dan relevan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), RPP dan evaluasi sesuai dengan hakikat quantum learning. Di dalam RPP, skenario pembelajaran mengikuti prosedur TANDUR (tumbuhan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi, dan rayakan). Evaluasi pembelajaran disusun dalam bentuk yang menyenangkan, dengan permainan, dan format tanggapan guru dan orang tua murid. Ketiga, tahap pengujian model berdasarkan uji coba tersebut di lapangan yang dilakukan di dua SD di Surakarta menghasilkan model untuk pembelajaran puisi, cerita, maupun drama yang layak untuk diterapkan sebagai model. Dikatakan layak karena memenuhi kriteria interaksi edukatif berdasarkan Classrom Guidance Schedule. Pengembangan model berdasarkan uji coba yang lebih luas di lapangan, dilaksanakan di enam SD dengan jumlah sampel 120, dan mendapatkan hasil bahwa model ini dapat meningkatkan kompetensi bersastra murid SD secara signifikan. Signifikan yang dimaksud adalah berdasarkan perbandingan hasil skor pretes dan postes. Uji keefektifan model dilakukan dengan eksperimen terhadap 240 murid dari enam SD. Dari hasil uji keefektifan ini disimpulkan bahwa kompetensi bersastra murid yang mengikuti pembelajaran apresiasi sastra dengan model quantum learning lebih baik daripada murid yang mengikuti pembelajaran model sastra secara konvensional. Perbedaan ini signifikan, sehingga menandakan penerapan model quantum learning dalam pembelajaran apresiasi sastra lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran apresiasi sastra secara konvensional di sekolah dasar. Keempat, tahap diseminasi dilakukan dengan menerbitkan artikel hasil penelitian di jurnal ilmiah nasional, mempresentasikan hasil penelitian dalam seminar nasional, dan menerbitkan buku pedoman pembelajaran apresiasi sastra berbasis quantum learning setelah dilakukan uji keberterimaan model melalui focus group discussion. Keberterimaan model berdasarkan tanggapan stakeholders meliputi tanggapan pengambilan kebijakan, guru, murid, dan orang tua murid. Tanggapan pengambil kebijakan pendidikan, guru, murid, dan orang tua murid semuanya positif. Tanggapan positif ini akan dapat mendatangkan manfaat yang besar bagi keberlangsungan penerapan pembelajaran apresiasi sastra berbasis quantum learning di sekolah dasar pada masa mendatang. Editor : -
Menyoroti maraknya kehidupan di berbagai bidang pendidikan dan media yang terus-menerus saling bersaing, saling tindih-menindih, saling apit-mengapit dan apapun itu juga namanya, kita tidak hanya bisa diam terlongo pada tingkah laku berbagai komunitas itu, sehingga dengan aktif turut andil tentunya kita bisa melahirkan karya yang berdaya guna, intinya mari kita memperbaiki karya yang usang, dan yang berkadaluarsa.
Sekedar untuk menyimak arus karya-karya yang sudah terlahir dari dunia pendidakan dan yang ada di berbagai media, khususnya tentang perkembangan sastra, maka kembali sebisa mungkin kita merunut ke landasan awal, yaitu seberapa besar dunia pendidikan sudah memberikan konstribusi dan apresiasinya terhadap karya sastra.
Dari sekian banyak hal ikhwal kerancuan dan pergolakan dalam dunia sastra, media pembelajaran sastra merupakan sesuatu yang perlu dikaji dan ditilik keberadaannya. Karena bukan tidak mungkin dari permasalahan ini akan berimplikasi kepada hasil karya lainnya. Keterkucilan bidang sastra, sekaratnya pasar dan lesunya penjualan buku sastra, dan keengganan para siswa membaca buku-buku sastra, minimnya kuantitas dan kualitas koreksi terhadap hasil karya sastra, juga diperlengkap dengan sedikitnya media sastra, sebagai contoh, adalah gambaran di mana kurang suksesnya dan optimalnya pembelajaran pada bidang sastra, entah, mungkin di sekolah menengah (SMP atau SMU) atau mungkin justru di jurusan sastra (pendidikan maupun non pendidikan) di perguruan tinggi. Sebab jika pembelajaran sastra berhasil, maka kita boleh berharap banyak problematika-problematika itu akan larut, surut, sehingga akhirnya terkikis habis.
Dalam hal ini sebenarnya saya tidak bermaksud langsung mendikte dunia pendidikan atau menafsirkan suatu diagnosa, kemudian menghamparkan berbagai tips dan terapi perbaikan dalam menggarap sebuah pembelajaran sastra. Akan tetapi saya hanya akan mencoba memfokuskan pada permasalahannya saja guna menyoroti kondisi riil yang sedang berlangsung di sekolah atau di kampus yang menyelenggarakan program studi—pendidikan—bahasa dan sastra yang berada di berbagai kota besar Indonesia ini. Kita bisa dan perlu berasumsi bahwa berbagai perguruan tinggi yang mengadakan jurusan bahasa dan sastra Indonesia, merupakan lembaga yang sebagian besar adalah penghasil guru sastra Indonesia di kebanyakan di sekolah menengah (SMP atau SMU) baik yang berembel-embel negeri maupun milik “pengusaha”.
Dengan memandang konsep kehidupan sastra secara lebih luas, kita dapat menggelontorkan komentar sejauh mana peranan perguruan tinggi—dalam hal ini khusunya kampus yang menyediakan jurusan bahasa dan sastra—berapresiasi mengembangkan serta memasyarakatkan gaya sastra Indonesia kepada khalayak umum. Dari sini kita tentunya mampu menimbang lebih khusus lagi pertumbuhan karya sastra, minat, kajian juga kritik sastra terhadap hasil karya sastra itu sendiri.
Apabila kita tidak bisa mengimplementasikan gagasan sastra tersebutdengan tepat, untuk kemudian didiskusikan di forum yang paling kecil terlebih dahulu, mungkin salah satunya ialah sekolah, jadilah permasalahan sastra ini layaknya benang kusut, begitu benang yang satu teruraikan, benang yang lain menyelinap membelit lagi, dan sepertinya akan terus-menerus begitu, kecuali kita berkonsisten melakukan perbaikan secara menyeluruh yang melibatkan berbagia pihak. Tampaknya dunia pendidikan dewasa ini membutuhkan banyak keterlibatan para sastrawan yang sudah lebur ke dalam dunia kesusastraan Indonesia dan media-media—majalah—sastra.
Saya yakin kita akan bersepakat, ataupun kalau ada yang berselisih pendapat itu adalah suatu keniscayaan yang tetap harus dihargai keberadaannya, pemanfaatan sastra Indonesia bisa kita mulai dari dunia pendidikan, dengan menanamkan minat baca yang tinggi dan menciptakan kesan positif terhadap apresiasi sastra.
Salah satu yang lain yaitu memaksimalkan tatap muka pelajaran di sekolah atau mata kuliah sastra dalam perkuliahan, karena untuk menambah jam pertemuan mata pelajaran sastra di sekolah menengah dengan sistem kurikulum berbasis kompetisi (KBK) yang digulirkan diknas sekarang ini cukup sulit. Kenapa?…karena agaknya dalam kurikulum yang baru ini (KBK) sebagai pengganti suplemen GBPP 1994, porsi materi sastra belum beranjak jauh dari angka 19%, ekstremnya kurikulum di sekolah dan kampus menganaktirikan sastra.
Merujuk ke perguruan tinggi yang menyelenggarakan jurusan—pendidikan—bahasa dan sastra Indonesia, memang ada perubahan kurikulum. Mata kuliah sastra sekarang mencapai 22 sks, bahasa 41 sks, namun kurangnya guru dan dosen yang berwibawa di sekolah menengah dan di kampus yang memiliki jurusan bahasa dan sastra semakin nyata dengan minimnya tulisan-tulisan seperti kritik apresiasi, kritik jurnalistik, dan kritik yudisial yang ditulis sendiri oleh para lulusan sarjana sastra dan dimuat di Koran-koran, majalah-majalah sastra, jurnal-jurnal seni budaya dan media umum lainnya.
Hanya saja kita boleh menggumamkan secuil kebanggaan bagi dunia pendidikan sastra Indonesia, karena terapat dosen semisal Sapardi Djoko Damono dan Budi Darma, juga Moh. Wan Anwar yang pernah memimpin jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia pada Universitas Sultan Agung Tirtayasa (Untirta) Banten—sekedar menyebutkan beberpa nama diantaranya.
Indonesia pasti akan kebanjiran karya-karya sastra yang berkualitas, dan ini bisa jadi daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya guna membangun dunia sastra yang berkompeten, melalui Koran-koran, majalah-majalah dan media lainnya yang mengedepankan karya sastra sebagai topik pembahasan utamanya. Tentu jika saja sekolah menengah dan perguruan tinggi yang memiliki jurusan bahasa dan sastra Indonesia, berkenan merekrut guru dan dosen bahasa dan sastra dari kalangan sastrawan yang sudah cebur-lebur di jalan raya—media atau dunia—sastra kita.
Jadi persoalannya kini mengerucut pada pertanyaan ; sekolah menengah umum—SMP atau SMU—dan perguruan tinggi yang menyelenggarakan jurusan—pendidikan—bahasa dan sastra Indonesia mana yang hendak menarik dan merekrut sastrawan sebagai guru atau dosen?…dan media apa yang mau berkibar dengan topik bahasan utama sastra?…ENTAH…
*) Kelahiran 30 Juni/5 Sya’ban 1399 di Kaplongan Lor, Karangampel, Indramayu. Pernah berkuliah di Sospol UNDIP Semarang dan kuliah Bisnis di UNTAG Cirebon. Pernah bergabung dalam partai PPP & PAN. Pernah memimpin beberapa Ormas (Islam & Umum). Pernah aktif menulis Sastra untuk Majalah Muslimah, Mitra Dialog Cirebon-Pikiran Rakyat Group, dan Cirebon FM (2001-2004). Pernah bekerja sebagai Waiter, Pramuniaga, dan menjadi seorang Manager di sebuah Perusahaan Retail Swasta Nasional. Sekarang sedang membangun sebuah usaha dalam bidang Olahraga (Vino Sportainment Store) sebagai seorang Entrepren…
1.HAKIKAT SASTRA ANAK
A.PENGERTIAN, SIFAT,DAN HAKIKAT SASTRA ANAK
Dalam kehidupan sehari-hari,sering kita mendengar orang menyebutkanatau mengucapkan sastra anak, cerita anak atau bacaan anak.Kata sastra anak merupakan dua patah kata yang dirangkaikan menjadisatu kata sebut, yaitu kata sastra dan kata anak.Kata sastra berarti ‘ karya seniimajinatif dengan unsure estestisnya yang bermediumkan bahasa’(ReneWellek,1988). Karya seni imajinatf yang bermedium bahasa itu dapat dalam bentuk tertulis ataupun lisan. Sementara kata anak di sini diartikan sebagai ‘manusia yang pasti masih kecil’(KBBI,1988:31) atau ‘bocah’(KBBI,1988:123).Tentu pengertian anak yang dimaksud di sini bukan anak balita dan bukan pula anak remaja, melainkan anak yang masih berumur antara 6-13 tahun, usia anak sekolah dasar.Jadi, secara sederhana istilah sastraanak dapat diartikan sebagai ‘karya seni yang imajinatif dengan unsureestetisnya dominant yang bermediumkan bahasa, baik lisan ataupun tertulis,yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang duniayang akrab dengan anak-anak.Sifat dan hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alamkehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa.Sifat sastra anak lebih menonjolkan unsure fantasi.Sifat fantasi ini terwujuddalam eksplorasi dari yang serba mungkin dalam satra anak.Anak-anak menganggap segala sesuatu, baik benda hidup maupun benda mati, itu berjiwadan bernyawa, seperti diri mereka sendiri.Segala sesuatu itu masing-masing dianggap mempunyai imbauan dan nilai tertentu.Di situlah letak kekhasanhakikat sastra anak, yaitu bertumpu dan bermula pada penyajian nilai danimbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam alamkehidupan mereka(Sarumpaet,1976:29)
B.CIRI-CIRI SATRA ANAK
Riris K.Toha-Sarumpaet (1976:29-32) mengemukakan bahwa ada 3 ciriyang menandai sastra anak itu berbeda dengan sastra orang dewasa.Tiga cirri pembeda itu berupa
(1) unsure pantangan, (2) penyajian dengan gayasecaralangsung, (3) fungsi terapan.
C.JENIS SASTRA ANAK
Jenis sastra anak dapat juga terdapat bentuk prosa, puisi, dan drama.
D.FUNGSI SASTRA ANAK
Ditinjau dari segi pragmatiknya, sastra anak berfungsi sebagai pendidikandan hiburan.Fungsi pendidikan pada sastra anak memberi banyak informasitentang sesuatu hal, memberi banyak pengetahuan, memberi kreativitas atauketerampilan anak, dan juga memberi pendidikan moral pada anak.
2.APRESIASI SASTRA ANAK
A.PENGERTIAN APRESIASIArti pertama kata apresiasi itu bertalian dengan kesadaran (orang ataumasyarakat) terhadap nilai-nilai seni dan budaya.Arti kedua kata apresiasi bertalian dengan penilaian atau pengahargaanterhadap sesuatu hal atau masalah
Arti ketiga kata apresiasi bertalian dengan dunia ekonomi.B.PENGERTIAN APRESIASI SASTRA ANAK Panuti sudjiman (1990:9) dalam buku Kamus istilah Sastra memberi batasan apresiasi sastra adalah penghargaan (terhadap karya sastra) yangdidasarkan pada pemahaman.Sementara itu, Abdul Rozak Zaidan et.al.(1994:35) dalam buku Kamus istilah sastra mendefinisikan apresiasi sastraadalah
penghargaan atas karya sastra sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, pengahayatan, dan peneikmatan yang didukung olehkepekaan batin terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam sastra itu
C.KEGIATAN APRESIASI SASTRA ANAK
Apresiasi sastra anak itu kita dapat melakukan beberapa kegiatan, antaralain :1.kegiatan apresiasi langsung2.kegiatan apresiasi tidak langsung3.pendokumentasian4.kegiatan kreatif
D.TINGKAT-TINGKAT APRESIASI SASTRA ANAK
Yus Rusyana (1979:2) menyatakan ada tiga tingkatan dalam apresiasisastra , yaitu (1) seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam karyasastra, ia terlibat secara emosional, intelektual, dan imajinatif; (2) setelahmengalami hal seperti itu, kemudian daya intelektual seseorang itu bekerjalebih giat menjelajahi medan makna karya sastra yang diapresiasikannya; (3)seseorang itu menyadari hubungan sastra dengan dunia di luarnya sehingga pemahaman dan penikmatannya dapat dilakukan lebih luas dan mendalam
E.MANFAAT APRESIASI SASTRA ANAK
Manfaat apresiasi sastra anak setidaknya ada lima yaitu:1.estetis;2.pendidikan;3.kepekaan batin atau sosial;4.menambah wawasan;5.pengembangan kejiwaan atau kepribadian.
3.PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA ANAK
A.Pembelajaran sastra anak meliputi 3 tahapan yang harus dilalui guru, yaitu1.persiapan pembelajaran2.pelaksanaan pembelajaran3.evaluasi pembelajaranB.Tahap persiapan pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar bagiseorang guru dapat menyangkut dengan dirinya, yaitua) persiapan fisik, dan b) persiapan mentalSementara itu teknis yang perlu disiapkan adalaha)memilih bahan ajar, b)menentukan metode pembelajaran, danc)menuliskan persiapan mengajar harian.C. Evaluasi pembelajaran sastra hendaknya mengandung 3 komponen dasar evaluasi, yaitu
a) kognisi b) afeksic) keterampilansementara itu, dikenal dua bentuk penilaian, yaitua)penilaian prosedur, yang meliputi penilaian proses belajar dan penilaian hasil belajar, dan b)instrument atau alat penilaian, yang meliputi Tanya-jawab, penugasan, esai tesdan pilihan ganda
Sastra dalam Desain Sistem Pendidikan Nasional
”Pendidikan itu tidak cuma untuk menciptakan anak pandai, tetapi juga harus membentuk warga yang berkarakter” (Nasution, 2010)
Beberapa hari lagi, pada tanggal 2 Mei nanti kita akan kembali memperingati Hari Pendidikan Nasional. Pada tahun- tahun lalu biasanya hari ini diwarnai dengan selebrasi meriah berupa lomba- lomba di bidang pendidikan seperti lomba siswa teladan, lomba guru teladan dan lain sebagainya. Bertolak dari kegiatan tahunan tersebut, ada baiknya kita menilik sejarah dari Hari Pendidikan Nasional itu sendiri di masa lalu. Bahwa tanggal 2 Mei 1889 adalah tanggal lahir tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro. Beliau merupakan cikal bakal lahirnya sekolah taman siswa yang memiliki basis asah, asih, asuh dan motto ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani serta menjalankan pendidikan dengan sistem among. Lalu, adakah sistem pendidikan nasional kita masih menjunjung tinggi prinsip- prinsip kearifan tersebut? Ataukah tut wuri handayani pada masa sekarang hanya menjadi slogan?
Sistem pendidikan nasional Indonesia telah mengindikasikan peluang terciptanya kesenjangan sosial yang semakin melebar. Acuan sistem pendidikan nasional adalah Negara- Negara maju, terutama yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development ( OECD). Acuan ini menyebabkan berbagai macam komersialisasi pendidikan yang Nampak jelas kita amati kini. Biaya pendidikan yang semakin mahal serta status sekolah mulai dari sekolah dengan pelayanan minimal hingga sekolah berstandard nasional semakin membuat jalan kesenjangan melebar. Pasalnya, masyarakat ekonomi atas akan berbuat apa saja agar anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik. Namun, perspektif pendidikan seperti apakah yang dimaksud? Padahal,tujuan pendidikan nasional yang termaktub dalam Undang- Undang telah jelas, yakni membentuk masyarakat yang cerdas, berkeadilan, serta berkarakter keindonesiaan.
Pendidikan yang hanya bermain pada ranah kognitif memforsir otak sebagai mesin tunggal yang harus dipekerjakan namun melupakan prinsip- prinsip paling dasar pada moral value. Akibatnya banyak kita lihat dalam berita harian televise tentang pelajar atau mahasiswa yang di usia dini telah melakukan berbagai aksi kriminalitas, seks bebas, narkotika dan perkara lain yang melanggar hukum.
Banyak pendapat yang berhembus, terutama dari para penggiat sastra dalam negeri sendiri, bahwa hal itu disebabkan pendidikan sekarang yang mengabaikan pembelajaran sastra. Menurut telaah penulis, hal ini dapat dibenarkan. Sastra ikut mempengaruhi pembentukan karakter siswa lewat karakter- karakter keindonesiaan yang ditanamkan dalam proses yang natural. Pada zaman penjajahan Belanda, setiap siswa harus membaca 25 buku sastra setiap tahun. Tetapi pada zaman sekarang, belum tentu siswa membaca satu buku sastra dalam setahun.
Karya sastra Indonesia adalah segenap cipta sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia, disertai adanya nafas dan ruh keindonesiaan, serta mengandung aspirasi dan kultur Indonesia ( Mujiyanto, 2010 : 1). Dengan membaca karya sastra Indonesia dari berbagai periodesasinya, secara tidak langsung siswa mempelajari bab nasionalisme melalui deskripsi kisah dan latar tempat yang disajikan para sastrawan dengan indah. Bukan mempelajari nasionalisme secara teoritis, menghafal secara sistematis tentag definisi dan jenis pada saat ulangan saja.
Dari makna kebahasaan, sastra juga erat kaitannya dengan dunia pendidikan. Sastra berasal dari bahasa sansekerta “castra” yang artinya belajar, pembelajaran. Sastra bersifat memanusiakan manusia karena meninjau suatu kajian terhadap sesuatu secara menyeluruh, wujud sastra dalam karya sastra adalah dulce et utile yang artinya berguna dan menyenangkan. Melalui makna ini, jelas bahwa sastra berbicara lebih dari sekedar teori. Pun, setiap proses penciptaan karya sastra itu sendiri tidak lepas dari unsur intrinsik berupa amanat yang menyatu dalam karya.
Problematikanya adalah mengapa sastra dalam kurikulum yang harusnya menjadi bahan penyegaran otak siswa, ibarat kerupuk yang bersifat renyah tetapi terasa kurang jika tidak kita temui keberadaannya dalam makanan, justru menjadi momok bagi siswa. Jawabannya adalah tentu saja terjadi kesalahpahaman pada pendidik dalam hal pembinaan apresiasi sastra. Penyair, sastrawan sekaligus Dosen pada FKIP UNS program studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Yant Mujiyanto mengungkapkan dalam bukunya Sejarah Sastra Indonesia bahwa pembinaan apresiasi sastra bukanlah sesuatu yang bersifat kognitif, informatif dan ilmiah, melainkan bersifat intuitif, afektif, estetis dan kreatif. Lebih lanjut, Yant menjelaskan bahwa mengajarkan sastra bukan berarti mengajarkan novel/ sanjak ini dikarang oleh sastrawan A, menganut aliran X dari angkatan sekian, tetapi lebih dari itu anak diharapkan mampu memahami kedalaman makna serta merasakan keindahannya.
Oleh karena begitu kompleks fakta yang memojokkan kehidupan sastra di lapangan, maka kita harus kembali merestrukturisasi keberadaan sastra di tengah- tengah dunia pendidikan. Mendalami arti puisi misalnya, sama sekali tidak pernah sayadapati di sekolah formal. Bahwa jika banyak guru sastra di sekolah yang alih- alih membuat siswa pandai bersyair tetapi ujungnya malah membuat siswa alergi terhadap syair itu sendiri, maka sekali lagi sastra harus melalui pendekatan yang berbeda. Sastra harus di dekati dengan santai, jenaka tapi intens. Guru harus mengajarkan betapa karya sastra begitu bermakna dalam setiap penulisannya.
Mengarang, menulis puisi, seharusnya dihadapi seperti berbicara (Aspahani, 2007:1). Ya, menulis puisi bisa dianggap sama dengan berbicara karena sama- sama memberdayakan fungsi bahasa. Ketika anak- anak belajar berbicara, mereka tidak pernah diharapkan pada teori atau seperangkat aturan yang memaksa. Anak- anak hanya belajar berbicara dan mengeja makna dalam lingkungan kecil yang akrab dan mudah memahami dia. Jika di analogikan dalam dunia penulisan misalnya, sastrawan pemula tidak perlu takut terhadap seperangkat aturan misalnya, ia hanya butuh menulis apa saja yang ada dalam imajinya. Hanya saja bedanya, ketika menulis kita bukan lagi berada di lingkungan kecil yang akrab. Kita berada pada lingkungan pembaca yang lebih luas, yang memiliki hak prerogative terhadap jutifikasinya sehingga pelan- pelan sastrawan harus mempelajari strategi dan tangkisan- tangkisan kecil yang diperlukan.
Menyikapi hal ini, penulis tidak bermaksud merendahkan teori- teori atau kutipan- kutipan ilniah namun justru berusaha memberikan pendekatan baru dalam edukasi sastrawi. Jika 25 tahun lalu Arswendo Atmowiloto sudah menerapkan jurus yang sama melalui buku Mengarang itu Gampang (Gramedia : Jakarta, 1982). Maka karya sastra lain seperti puisi pun sah- sah saja jika didekati dengan jalan yang sama.
Guru masa kini rasanya tidak perlu lagi berkamuflase sebagai ahli sastra jika ia tidak menguasai. Ia tidak penting lagi untuk menyuguhkan pembacaan puisi yang membuat siswa menjadi kaku karena metode pembelajaran modern telah memfasilitasi berbagai media seperti LCD, layar, dan laptop. Maka yang perlu dilakukan hanya mencari video tentang pembacaan puisi Rendra, video- video pembelajaran sastra dan biarkan biarkan siswa mengenal lebih dekat tentang Indonesia bersama para pujangganya, menyelam ke masa lalu, masa dimana sastra berada pada tingkat kejayaannya. Selanjutnya, biarkan mereka menjadi generasi sastra masa kini yang mengejawantah menjadi pejuang degradasi moral bangsa.
Sastra adalah keindahan, dan segala sesuatu yang indah selalu bersumber dari hati. Salam Pendidikan Nasional, Jayalah sastra Indonesia!
PENDEKATAN APRESIASI SASTRA
Pendekatan apresiasi sastra merupakan kerangka berpikir dalam melakukan kegiatan apresiasi. Kegiatan berpikir itu bisa berupa menikmati sastra, menilai sastra bahkan mengindetifikasi sastra. Ini sejalan dengan pendapat Prof. A. Teew (dalam Atar Sani, 1985:41) bahwa identifikasi sastra berbeda menurut pendekatan, misalnya:
a. struktur karya sastra
b. makna atau pesan karya sastra
c. ekspresi pengarang
d. himbauan, inpresi, resepsi pembaca
Sementara itu kegiatan berpikir yang mengacu kepada bagaimana menikmati dan menilai karya sastra tentunya berkaitan dengan kegiatan apresiasi. Untuk melakukan kegiatan tersebut ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan.
A. Pendekatan yang Berdasarkan Tujuan Mengapresiasi
Pendekatan yang berdasarkan tujuan mengapresiasi mencakup beberapa pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan Parafrase
Pendekatan parafrase merupakan salah satu pendekatan yang dipakai apresiator dalam mengapresiasi karya sastra denga cara melakukan pembedahan pada karya sastra tersebut melalui penambahan kata, kelompok kata dan kalimat. Bahkan pada metode ini bisa mengubah bentuk karya sastra, dan yang utama substansi dari karya tersebut tidak berubah. Menurut Abd Khalik Sani (2006:6) bahwa pendekatan parafrase adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yagn disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari penggunaan pendekatan ini adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk menyederhanakan kata-kata (khususnya puisi) yang padat bahasa sehingga mudah dipahami. Berikut contoh puisi dan parafrasenya.
KARANGAN BUNGA KARANGAN BUNGA
Tiga anak kecil parafrase Ada tiga anak yang masih kecil
Dalam langkah malu-malu Dalam langkah yang malu-malu
Datang ke Salemba Datang ke pekuburan Salemba
Sore itu Sore itu
Aplikasi pendekatan parafrase pada puisi di atas dapat juga dilakukan sehingga memudahkan pengungkapan isi puisi tersebut. Prinsip dasar dari aplikasi pendekatan paraforse pada hakikatnya beranjak dari pemikiran bahwa:
1. Gagasan yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda;
2. Simbol-simbol yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan lambang atau bentuk lain yang tidak mengandung keterpaksaan makna;
3. Kalimat-kalimat atau basis dalam suatu cipta sastra yang mengalami pelepasan dapat dikembalikan lagi kepada bentuk dasarnya;
4. Pengubahan suatu cipta sastra baik dalam hal kata maupun kalimat yang semula simbolik dan eliptis menjadi suatu bentuk kebahasan yang tidak lagi konotatif akan mempermudah upaya seseorang untuk memahami kandungan makna dalam suatu bacaan; dan
5. Pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca.
2. Pendekatan Emotif
Pendekatan emotif adalah pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengacu kepada emosi atau perasaan pembaca. Emosi atau perasaan dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun isi, sehingga hal yang paling dasar dari pendekatan ini bahwa anggapan tentang cipta sastra yang merupakan bagian dan karya seni yang hadir di tengah pembaca.
Bagaimana cara pembaca menemukan keindahan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penikmatan estetika karya sastra dapat dilakukan dengan analisis dari struktur bunyi, bahasa atau diksi, serta struktur gaya bahasanya maupun gaya penyajiannya.
Sebenarnya hal yang melatarbelakangi munculnya pendekatan emotif adalah berdasarkan pandangan bahwa karya sastra adalah bagian dari karya seni, di mana karya seni tersebut akan mampu memberi hiburan dan kesenangan. Karena itu pendekatan emotif sedapat mungkin mampu menemukan unsure estetika dalam karya sastra. Penikmatan keindahan dalam karya sastra bisa diramu pengarangnya. Lewat penggunaan gaya bahasa yang dipakai pengarangnya di antaranya gaya bahasa hiperbola, misalnya:
Angkatlah pandang matamu
Ke Swarga loka
Ke sejuta lahir alit
Yang gematar ( W. S Rendra )
Keindahan dalam karya sastra bisa diramu pengaranya lewat penggunaan gaya bahasa yang dipakai pengarangya sehingga mampu menghasilkan panorama yang menarik. Tidak ketinggalan pula dalam penyampaian cerita, peristiwa, gagasan harus lucu dan manarik serta mampu pula memberikan kesenangan kepada para pembaca.
Keuntungan yang ada pada pendekatan emotif antara lain pembaca atau apresiator bisa menikmati unsur keindahan pada karya sastra. Melalui pendekatan ini, apresiator menambah wawasan pengetahuannya tentang estetika sastra serta cara penentuannya secara objektif.
3. Pendekatan Analisis
Dalam memahami, menikmati, menilai dan menghargai cipta sastra, apresiator seringkali diperhadapkan pada pengungkapan unsur yang membangun cipta sastra
a. Melakukan kegiatan pembacaan teks secara keseluruhan.
b. Menampilkan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan unsur-unsur intrinsik yang membanguan karya sastra yang dibacanya; misalnya bacalah terlebih dahulu karya sastra itu secara slimming, lalu mengajukan pertanyaan di antaranya bagaimana penokohannya, settingnya, perwatakan setiap tokoh, dan pertanyaan tentang unsur intrinsik lain yang terdapat dalam karya sastra itu.
c. Pembaca kembali membaca ulang sambil berusaha menganalisis setiap unsur yang telah ditetapkanya.
d. Dari hasil analisis setiap unsur itu, pembaca lebih lanjut berusaha memahami bagaimana mekanisme hubungannya.
e. Lewat analisis mekanisme hubungan ini, lebih lanjut pembaca menganalisis bagaimana fungsi setiap elemen dalam langkah mewujudkan cipta sastra.
Dalam pelaksanaanya kegiatan analisis itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu karya sastra. Dalam hal ini pembaca harus membatasi diri, misalnya pada analisis struktur, diksi, gaya bahasa, atau mungkin analisis unsur kebahasaan.
4. Pendekatan Historis
Pendekatan historis adalah suatu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang. Latar belakang peristiwa karya sastra, perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra pada umumnya.
Menurut M.E. Suhendar dan Pien Supinah (1990:42) bahwa yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan ini karena adanya anggapan bahwa karya sastra itu merupakan bagian dari zamannya. Artinya, seringkali pengarang,/penyair ingin melakukan perubahan. Misalnya penyair Chairil Anwar, ia tidak mau dijajah perasaaan dan jiwanya ingin segera merdeka, ia berperang melawan penjajah melalui karya sastranya, seperti pada penggalang puisinya:
Sekali berarti
Sudah itu mati
Maju
Bagimu Negerimu
Berdasarkan pendekatan historis ini juga dipakai penyair seperti Taufiq Ismail, Amir Hamzah, dll. Dalam telaah karya sastra Indonesia, penelaah dapat memanfaatkan buku kritik dan esai H.B. Yassin, sebagai informasi kesejarahan tambahan pembaca untuk mengkaji biografi pengarang.
5. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam mengkaji karya sastra yang berdasarkan konteks sosial atau segi-segi kemasyarakatan. Artinya penikmatan cipta sastra akan memperkaya nuansa kehidupan masyarakat sehingga apresiator dan penikmat sastra bisa mengetahui pola kemasyarakatan.
Pendekatan yang menjelaskan hubungan antara sastra dan masyarakat telah mengalami perkembangan dan telah mengalami perkembangan sedemikian rupa. Yang melatarbelakangi munculnya pendekatan ini adalah:
a. Sastra merupakan cerminan pola hidup masyarakat.
Misalnya cuplikan cerita novel “Ranggung Dukuh Pasuk”
Bila kau ingin bertani, aku mampu membeli satu hektar sawah buat kau kerjakan. Bila kau ingin berdagang, akan kusediakan uang secukupnya.
b. Teks sastra sebagai bahasa penelaahan.
Pendekatan yang digunakan dalam sosiologi sastra adalah analisis teks untuk mengetahui struktur luasnya karena sastra merupakan suatu kontruksi sosial, misalnya:
AKU
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang’ kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedai itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang
. . . . . . . . . . .. . .. . . . ..
Pada puisi Chairil Anwar dalam teks sastra tersebut, terjalin suatu hubungan kemasyarakatan antara aku dan kau.
Langkah penggunaan pendekatan ini adalah:
a. menentukan jenis karya sastra yang akan diapresiasi
b. menentukan unsur kemasyarakatan yang ingin dipahami
c. mengalisis karya sastra dengan mengkaji hubungan kemasyarakatan yang ada pada karya sastra
Hal ini berdasar pada anggapan bahwa cipta sastra merupakan kreasi manusia yang terlibat dalam kehidupan serta mampu menampilkan pola hidup manusia.
6. Pendekatan Deduktif
Adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evakuatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan, tanggapan, maupun sikap itu akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, tolasiti, maupun agamais sehingga mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohani apresitor.
Pendekatan deduktif pada dasarnya merupakan suatu pendekatan yang menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa, serta sikap dari pembaca. Penggunaan pendekatan deduktif pada pelaksanaanya diawali dengan upaya pemahaman suatu pokok pikiran yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Penemuan nilai nilai didaktis dari karya bersifat interpreatif dan ada kalanya nilai itu tampil secara eksplisis sehingga pembaca tak perlu berusaha untuk menafsirkannya. Di samping itu, aplikasi pendekatan ini akan menjadi pembimbing kegiatan berpikir pembaca, sehingga pembaca dapat berangkat dari pola berpikir.
Contoh:
Tuhan pun turun membuka sayapnya
Ke luas jauh benua-benua
Dan laut membias warna biru langit semesta
Dan zaman menderas: menusia tetap setia
Dari hasil pengkajian puisi tersebut dapat ditentukan satuan pokok pikiran yaitu :
a. Waktu itu senantiasa terus berjalan dan berganti;
b. Kehidupan yang indah ini senantiasa membuka diri bagi manusia; dan
c. Zaman berjalan terus dan manusia juga tetap setia mengisi kehidupan;
Contoh penggunaan pendekatan deduktif adalah :
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang.
Biar peluru menembus hatiku
Aku tetap meradang menerjang
Membaca atau menyimak puisi tersebut, ternyata yang pertama sampai kepada simakan kita, yaitu suasana puisi tersebut. Selain kevitalitasan yang dimiliki Chairil Anwar, juga di dalam kehidupannya tergambar kejalangannya. Sebagai binatang jalanglah yang merupakan keseniannya di Indonesia.
B. Pendekatan yang Berdasarkan Proses Apresiasi
1. Pendekatan Kode
Membaca dan menilai sebuah karya sastra bukan sesuatu yang mudah, karena dalam proses membaca, pembaca harus berupaya memberi makna pada teks. Untuk memberi makna pada teks sastra, dibutuhkan suatu proses yang memerlukan pengetahuan sistem kode.
Pendekatan sistem kode adalah suatu pendekatan yang dipakai dalam mengapresiasi karya sastra dengan menentukan kode sastra baik kode bahasa, maupun kode budaya.
Kode sastra adalah kode yang menggambarkan mutu sebuah sastra pada pengkajian teks karya sastra. Kode sastra ini pun merupakan sistem yang cukup ruwet dan sering kali bersifat hirarki dengan variasi.
Contoh:
Umurku tiga belas tahun waktu ayahku meninggal. Rumah biru di pojok jalan yang kutemui sepulang dari sekolah tidak sesepi hari-hari biasa. Aku turun dari sepeda dengan kecurigaan yang memadat. Sampai di pendopo, kakakku laki-laki keluar dari pintu mengarah ke kamar tamu.
Kutipan ini diambil dari roman ”Pada Sebuah Kapal” ini, kode sastra harus kita kembalikan sifat rekaan sehingga mampu untuk kita kaji maknanya.
Menurut Prof Dr. A Teew (1983:17) bahwa ada beberapa ragam kode sastra yaitu:
a. Kode sastra tidak terlepas dari kode bahasa.
Bahasa dengan segala sesuatunya adalah sesuatu yang diberikan yang tidak dapat dihindari dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Konvensi bahasa seringkali ada penyair yang ingin membuangnya karena penyair tersebut kebebasanya merasa terbelenggu di dalam mengungkapkan makna.
b. Kode sastra berprinsip bahwa setiap pengarang sastra setuju bahasa harus dihilangkan kelenturanya.
Dalam bahasa sastra, koden yang tidak bermakna harus diberi makna. Contohnya cukup umum diketahui sejak zaman klasik, misalnya bunyi yang menjadi barang sampah dalam bahasa sehari-hari, begitu bunyi memenuhi fungsinya untuk membeda-bedakan unsur bahasa. Dalam puisi bunyi itu diberi makna, memberi sorotan baru melalui sanjak, atau rima, kalau misalnya Chairil Anwar mulai sajaknya yang terkenal, yang berjudul “Isa” dengan kata :
Itu tubuh
Mengucur darah
Rubuh
Patah
Jelaslah pemakaian bunyi vokal tidak kebetulan, melalui persamaan bunyi u dan a dan persamaan bunyi kata yang mengandung bunyi itu terjadi efek yang kuat sekali yang menjadikan kita tidak mudah lupa akan baris-baris ini, sudah tentu dalam makna sajak ini.
Setiap unsur bahasa dapat, bahkan harus diberi makna yang dalam bahasa sehari-hari tidak dimilikinya. Ada dua prinsip universal utama yang berfungsi dalam kode bahasa sastra, yaitu:
a. prinsip ekuivalensi atau kesepadanan
b. prinsip deviasi atau penyimpanan
Sistem konvensi sudah tentu berbeda-beda menurut bahasanya. Sistem konvensi bersastra yang berkembang selama berabad-abad memiliki dua prinsip umum, yaitu:
1. Ada efek kesastraan yang dihasilkan oleh penyimpangan dari bahasa biasa atau dari yang diharapkan oleh pembaca.
2. Ada efek yang ditimbulkan oleh kesapadanan, gabungan bahan-bahan yang dari segi tertentu merupakan pasangan ekuivalen, juga menimbulkan hasil, efek sastra.
c. Sistem konvensi sastra tidak hanya ditentukan oleh kemungkinan, kelonggaran, dan pembatasan yang diberikan oleh sistem bahasa.
Harapan seorang pembaca ditentukan oleh sinyal yang terimanya, sebelum membaca atau sambil membaca tentang jenis sastra yang disajikan. Dalam teori sastra, masalah sistem konvensi sastra tidak hanya menentukan kemungkinan identifikasi, pengenalan, dan pemberian makna oleh pembaca. Kemampuan pembaca juga melingkupi potensi untuk memahami dan menerapkan sistem sastra baru.
d. Konvensi kode sastra.
Karya sastra merupakan dunia yang otonom, yang tidak terikat pada dunia nyata dan makna unsur bahasa yang dipakai di dalamnya.
Misalnya : umurku tiga belas tahun waktu ayahku meninggal
Ini disajikan beberapa data kepada pembaca roman, yang tidak bermakna apa pun juga di luar roman ini. Konvensi hukum yang biasa muncul adalah hukum alam, hukum probality, atau hukum tata susila serta hukum agama sering berbeda. Bahkan pengarang roman seringkali dengan sengaja atau tidak membiarkan kita mengenal kembali yang kita ketahui dari dunia nyata. Banyak pengarang roman untuk menciptakan dunia rekaan yang terlalu mirip dengan dunia nyata tidak boleh menggoda kita untuk menghilangkan perbedaan kualitif dan fundamental antara dua macam dunia.
Pencampurbauran antara dunia imajinasi dan dunia nyata sering terjadi pada karangan. Misalnya dalam perkara sensur, dengan penerapan ukuran atau norma tata susila atau agama atau politik pada karya sastra, biasanya perkara semacam itu timbul dari salah paham mengenai sifat sejati sebuah karya seni.
e. Adanya relavansi signitif antara dunia rekaan dengan data bahasa karya sastra.
f. Karya sastra merupakan keseluruhan yang mempunyai struktur yang konsisten dan koluren.
2. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dipakai dalam memahami karya sastra dengan cara mengungkapkan gambaran, maksud, gagasan, dan perasaan. Karena itu, pendekatan ini menitiberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra. Kemampuan pengarang menyampaikan pikiran yang agung dan emosi yang kuat menjadi ukuran keberhasilan. Yang menjadi fokus garapan para apresiator adalah kejiwaan pengarang.
Langkah pengunaan pendekatan ekspresif adalah:
a. Langkah Persiapan
Persiapan yang dilakukan apresiator yaitu pengetahuan dan pemahamannya terhadap jiwa pengarang/penyair yang mungkin tergambar pada karangannya. Selanjutnya pengkajian maksud lain baik berupa pelambangan atau bentuk tersirat dari karya tersebut.
b. Langkah Pelaksanaan Apresiasi Sastra
Langkah ini dilakukan apresiator dengan mencoba mendalami dan memahami sastra dengan cara mengungkapkan gagasan, maksud, perasaan pengarang terhadap isi karyanya.
c. Langkah Revisi dan Penikmatan Karya Sastra
Apresiator pada langkah ini akan mencoba merevisi hasil apresiasinya sehingga hasil apresiasi tersebut bisa dinikmati dengan baik.
Contoh HAMPA
Karya : Chairil Anwar
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak
Lurus kaku pepohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba-setan bertempik
Ini sepi terus ada- dan menanti.
Puisi Charil Anwar tersebut seolah-olah mengungkapkan satu gambaran kebosanan, kesepian yang menekan karena harus menanti dan menanti. Karena itu perasaan yang mungkin terungkap bahwa menyuruh orang atau membuat orang harus menunggu merupakan pekerjaan yang membosankan. Sesuatu yang membosankan adalah berat untuk dilakukan. Ia dapat menekan jiwa dan batin kita.
3. Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini menitikberatkan pada pemahaman dan penikmatan karya sastra dengan menghubungkan pengetahuan dan pemahaman konsep karya sastra, serta pengalaman apresiator dengan pengkajian isi karya sastra tersebut. Karena itu seringkali apresiator dalam mengaplikasikan pendekatan ini berusaha menggali isi karya sastra melalui proses kesadaran dan perasaan.
Langkah penggunaan pendekatan kognitif adalah:
a. mempersiapkan pengetahuan konsep tentang karya sastra
b. menentukan pengalaman yang mungkin terjadi pada karya sastra
c. mengungkapkan isi karya sastra berdasarkan pengetahuan, dan pengalaman tersebut
d. menikmati isi karya sastra dengan memberi penilaian pada karya tersebut
Contoh:
Di bawah bulan Marly
Dan pohon musim panas.
Apresiator dalam mengapresiasikan pendekatan ini harus memiliki konsep pengetahuan dan pengalaman. Misalnya kata Marly akronim dari Maret dan July, di mana bulan dianggapkan cocok dengan larik kedua padahal jika apresiator menggunakan pengetahuan dan pengalamannya akan menafsirkan kata Marly sebagai nama tempat, dekat Paris dengan hutan yang cukup terkenal, tempat orang perancis pergi piknik di hari minggu.
4. Pendekatan Semantis
Pendekatan semantik menitikberatkan pada upaya memahami makna dalam suatu teks sastra. Sesuai dengan kompleksitas pemahaman teks sastra, akhirnya telaah makna lewat pendekatan ini bukan hanya berkaitan dengan unsur sastranya tetapi juga unsur bahasa sastra.
Apabila pendekatan semantik semata-mata menekankan pada aspek makna dalam suatu teks sastra juga berkaitan dengan struktur bahasa. Karena itu, apresiator hendaknya dalam memaknai karya sastra harus memiliki bekal sebagai berikut:
a. pengetahuan tentang konsep sastra, baik berkaitan dengan jenis sastra, struktur sastra maupun penciptaan sastra
b. daya imajinasi yang akan mengantarkan pada analisis struktur kebahasan
c. kemampuan mengaplikasikan pendekatan apresiasi sastra
Langkah pelaksanaan pendekatan semantik adalah:
a. memahami jenis sastra yang akan dianalisis
b. mengkaji struktur kebahasan sastra
c. menggunakan pendekatan yang sesuai jenis sastra yang di analisis
5. Pendekatan Akustik
Pendekatan yang menekankan pada bagaimana hubungan teks sastra dengan ruang atau bunyi yang ada pada diksi karya sastra tersebut. Beranjak dari sisi jelas bahwa pendekatan akustik ini akan terus mengkaji karya sastra dengan menganalisis struktur bunyi atau rimanya. Karena itu jenis karya yang sesuai pendekatan ini adalah puisi, apalagi teknik apresiasi yang digunakan melalui menyimak sastra.
Langkah yang digunakan pada pendekatan akustik adalah:
a. memilih jenis karya sastra yang berbentuk puisi
b. menentukan struktur bunyi yang akan diapresiasi
c. menganalisis bentuk bunyi dan rima pada puisi
d. memahami dan menikmati puisi tersebut dengan pengkajian struktur bunyi
Contoh :
Hatiku rindu bukan kepalang
Dendam berahi berulang-ulang
Air mata berencur selang-mengelang
Mengenangkan adik kekasih abang
Diriku lemah anggotaku layu
Rasakan cinta bertalu-talu
Kalau begini datangnya selalu
Tentulah kakanda berpulang dahulu
Kalau puisi diatas dianalisis berdasarkan jenis rimanya, maka puisi rimanya adalah rima rangkai, karena kata-kata yang terdapat pada setiap larik merupakan kata beruntun.
6. Pendekatan Struktural
Pendekatan ini membatasi diri pada penelahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini, apresiator memandang karya sastra sebagai suatu kebulatan makna, akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya.
Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra, yaitu tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa.
Perpaduan yang harmonis antara bentuk dan isi merupakan kemungkinan yang kuat untuk menghasilkan sastra yang bermutu.
Misalnya :
MALAM MAULUD
Karya Djamil Suherman
Beberapa hari kemudian datanglah bulan Maulud. Orang-orang dan kanak-kanak kedungpring menyambut hari itu dengan sukanya. Karena hari itu adalah hari ulang tahun lahir Nabi Besar Muhammad SAW dan pada hari itu tiap orang Islam sama merayakan dengan upacara-upacara.
Cuplikan prosa di atas jika diapresiasi dengan pendekatan struktural, maka unsur intrinsik dari prosa tersebut perlu pengkajian. Karena itu, awal dari prosa sudah menggambarkan adanya seting.
7. Pendekatan Romantik
Pendekatan romantik menitikberatkan pada 2 hal yaitu:
a. Pengkajian dan penikmatan sastra melalui pengungkapan estetika sastra, sehingga dibutuhkan daya imajinasi dari apresiator.
b. Pengkajian dan penikmatan sastra dengan cara latar belakang penciptaan sastra dan tahun penciptaan sastra.
Kedua dasar apresiasi melalui pendekatan ini bisa digunakan salah satunya atau dipadukan keduanya. Untuk menggunakan dasar yang kedua diperlukan pengetahuan tentang latar belakang pencipta dan tahun penciptaan melalui buku sejarah sastra.
Langkah yang ditempuh apresiator dalam mengaplikasikan pendekatan ini adalah:
a. menentukan jenis sastra yang akan dinikmati dengan memperhatikan
1. unsur sejarah, yaitu tahun penciptaan, dan latar belakang penciptanya
2. unsur estetika yaitu keindahan yang terdapat pada cipta sastra
b. memahami unsur sejarah dan estetika sastra
c. menganalisis unsur sejarah dan estetika pada karya sastra
d. menikmati hasil analisis unsur tersebut
Misalnya:
BUAH RINDU
Karya Amir Hamzah
Wah kalau begini naga-naganya
Kayu basah dimakan api;
Aduh kalau begini laku rupanya
Tentulah badan lekaslah tani
Ibu, konon jauh tanah selindung
Tempat gadis duduk berjuntai
Bondu, hajat hati memelu gunung
Apa toh daya tangan ta’sampai
Berdasarkan pengkajian unsur sejarah sastra, maka tampak bahwa Amir Hamzah mengisahkan pertemuan kala malam terang bulan dalam suasana kampung Melayu di mana si gadis berseloka dan di kejauhan terdengar gembala berdendang.
C. Pendekatan Berdasarkan Landasan Teori
1. Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan fenomenologi adalah pendekatan yang dipakai dalam memahami, menikmati, dan menghargai karya sastra dengan mengkaji hakikat sastra dan bagian estetika sastra secara logika. Untuk mengkaji hakikat sastra, tentunya pusat perhatian apresiasi tersebut mengacu pada aspek makna dan nilai yang terkandung dalam karya sastra.
Untuk memahami makna dan nilai sastra, apresiator harus mampu memahami realitas tersurat yang digambarkan pengarang terhadap karyanya. Sedangkan pengkajian bagian estetika dilakukakn apresiator setelah memahami nilai yang terdapat pada karya sastra.
Langkah yang ditempuh dalam mengaplikasikan pendekatan ini adalah apresiator memiliki:
a. pemahaman terhadap konsep sastra
b. pengetahuan tentang nilai sastra
c. daya analisis terhadap makna dan nilai
d. menikmati konsep makna dan nilai dari segi estetika
Contoh
Sehabis angin rebut seekor laba-laba menemujkan dirinya terdampar di tepi kolam. Ia melihat sekelompok udang dan mencoba menggabungkan diri, akan tetapi ia tidak dapat berenang. Dillihatnya pula ketam-ketam kecil yang bentuknya lebih mirip dengan dirinya. Cukupkah cerita tersebut jika diapresiasi nampak bahwa memang seseorang hanya mengenal dirinya atau tidak asing terhadap dirinya. Ini sangat terkait dengan social sehingga nilainya adalah nilai social dengan keindahan / estetikanya pilihan kata yang digunakan.
2. Pendekatan Hermeneutika
Pendekatan hermeneutika adalah pendekatan yang menitikberatkan pada pengkajian hubungan sastra dengan kehidupan sosial-budaya yang melatarbelakangi karya sastra tersebut. Artinya, pendekatan ini hanya bisa dilakukan jika kita mampu memahami latar belakang sosial-budaya dari pencipta karya tersebut.
Langkah penerapan pendekatan hermeneutika adalah:
a. mengetahui latar belakang terciptanya karya sastra
b. memahami isi karya sastra
c. mengkaji hubungan social-budaya karya sastra dengan pencipta karya sastra
Contoh:
Kapan, kapan di tengah abad glamour, di tengah kanker
teknologi, di tengah simpang-siur nilai-nilai
di tengah berjejak-jejaknya kerakusan
dan lupa diri, kapan aku bisa
setia dan menggapai
Nya
Akulturasi puisi tersebut dengan pencipta puisi adalah kehilangan kepercayaan kepada kemutlakan nilai-nilai sosial-budaya di tengah masyarakat.
3. Pendekatan Formalisme
Pendekatan formalisme adalah pendekatan apresiasi sastra yang bertumpu pada pemahaman dan penikmatan karya sastra dari aspek bentuk dan aspek bahasa sebuah karya sastra. Totalitas dari aplikasi pendekatan formalisme ini terletak pada pengkajian batas karya sastra saat bahasa yang digunakan karya sastra tersebut.
Langkah yang digunakan pendekatan formalisme adalah apresiator melalui:
a. pengetahuan konsep tentang bentuk dan bahasa sastra
b. memakai cara penggunaan pendekatan ini
c. daya analisis yang matang terhadap batas dan bahasa sastra
Contoh :
Kunci dibalik
pintu
dan pintunya
terkunci
Puisi ini, jika berdasarkan aspek bahasa mempunyai makna simbolik secara tersirat yang berarti bahwa kebutuhan akan Tuhan atau tata nilai yang konsisten sebagai rumah rohani adalah kebutuhan yang mendesak yang melibatkan seluruh tenaga jiwa penyair di dalam intesitasnya yang tinggi.
Sedangkan jika puisi dianalisis berdasarkan aspek dan bentuk, karya sastra tersebut merupakan bentuk puisi modern, dan tentunya bentuk puisi modern hanya mengangkat persoalan kehidupan setiap manusia itu memiliki kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Kebutuhan rohani salah satunya adalah kebutuhan akan Tuhan.
4. Pendekatan Strukturalisme
Pendekatan strukturaliseme adalah pendekatan yang digunakan dalam mengapresiasi karya sastra dengan menelaah sastra dari segi unsur yang membangun baik unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik. Menurut A. Teew (dalam Abd. Khalik Sani, 2004:1) bahwa asumsi dasar strukturalisme adalah teks sastra merupakan keseluruahan yang bulat dan mempunyai koherensi batiniah. Di dalam keseluruhan itu, setiap bagian dan unsur memainkan peranan yang hakiki. Bagian dan unsur itu lebih lanjut mendapatkan makna sepenuhnya dari makna keseluruhan teks.
Pendekatan strukturalisme banyak dianut oleh penikmat sastra yang ada di dunia. Misalnya pendekatan strukturalisme di Perancis biasa disebut strukturalisme klasik, di mana pendekatan ini lebih banyak menekankan deskripsi bahasa dalam teks sastra.
Sementara itu, strukturalisme Amerika biasa disebut New Criticism, di mana pendekatan ini berorientasi pada struktur dengan totalitasnya dan lebih banyak berorientasi pada isi, khususnya unsur intrinsik.
Mukarousg dan Vodicka yang menganut strukturalisme praha, menekankan pada aspek tanda atau sign sebagai media utama. Bidang kajian lain dari strukturalisme praha adalah unsur eksternal sastra, sehingga jika aliran ini digunakan dalam menikmati karya sastra maka terlepas dari keberadaanya sebagai seni.
Adapun langkah yang digunakan adalah:
1. Langkah Persiapan
Yang diperlukan pada pendekatan ini terkait dengan pemahaman dan pengetahuan apresiator tentang unsur karya sastra (unsur intrinsik dan ekstrinsik).
2. Langkah Pelaksanaan Apresiasi
Untuk langkah pelaksanaan ini, apresiator dengan bekal pengetahuanya melakukan analisis karya sastra dengan mengkaji struktur utama karya sastra yakni unsur intinsik.
Selanjutnya hasil pengkajian itulah, apresiator dapat dengan mudah memahami, menilai, dan menikmati, serta menghargai karya sastra tersebut secara objektif.
3. Langkah Pengoreksian Hasil Apresiasi
Langkah ini perlu dilakukan apresiator tidak lain hasil apresiasi tersebut dapat memberi sumbangsih pemikiran dalam pengkajian karya sastra yang lain dan bisa diterima oleh penikmat sastra.
Contoh:
DUSUN MALAM SELESAI HUJAN
Buat Mujiono PS
Dari semak – semak yang basah
Ada desir meski tak kupahami
Namun kuhayati
“Seakan jejak bulan atak akan basi”
malam dusun yang disejukkan angin dan hujan
serintis resah dari akar pohon siwalan
yang besok akan dikumandangkan awan dan burung
akan selalu menagih nilai
dari bukit ke bukit
. . . . . . . . . . . . . . .
Untuk menggunakan pendekatan strukturalisme pada puisi di atas, maka persiapan yang dilakukan adalah pengetahuan apresiator terhadap struktur puisi, yakni unsur intrinsik (tema, amanat, korespondensi, musikalitas, dan bahasa). Pada puisi yang berjudul ‘Dusun Malam Selesai Hujan” dan kita kaji struktur korespendonsi dalam hal ini hubungan larik dengan larik, maka daya imajinasi kita mengantarkan pada suatu tempat yang tidak mungkin dilupakan seperti tergambar pada larik ”Seakan jejak ulang tak akan basi”, karena itu secara tidak langsung pula melalui pengkajian larik-larik terungkap makna dan analisis puisi. Bahkan deteksinya yang begitu kental dengan kehidupan kita tentang suasana desa atau dusun memberikan nilai estetika tersendiri buat kita sebagai penikmat puisi.
5. Pendekatan Semiotika
Pendekatan semiotika ini pada dasarnya merupakan pengembangan pendekatan strukturalisme, yaitu penelaah sastra dengan mempelajari setiap unsur yang ada didalamnya, tanpa ada yang dianggap tidak penting, serta melihat suatu karya sastra sebagai yang terikat kepada sistem yang dibentuknya sendiri, sehingga sistem yang ada di luarnya tidak berlaku terhadapnya.
Pendekatan semiotika melihat sistem itu jauh lebih luas. Dalam semiotika, segala unsur yang ada dalam suatu karya sastra dilihat sebagai bagian dari suatu sistem. Dengan demikian, setiap unsur dalam suatu karya sastra adalah seperangkat sistem. Sesuatu yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat akan tercermin di dalam sastra, karena sastra itu tidak dapat melepaskan diri dari sistem kemasyarakatan itu sendiri.
Bila suatu masyarakat memperlihatkan pembenturan berbagai nilai maka kekacauan dan pembenturan itu akan tercermin pula dalam karya sastra. Pola bahasa masyarakat yang kacau mungkin saja akan tercermin dalam bahasa yang digunakan oleh pelaku-pelaku cerita sehingga menelaah suatu karya, mau-tidak mau harus menghubungkan dengan kenyataan kehidupan masyarakat. Begitu penting adanya analisis yang memperhatikan atau memandang sesuatu sebagai satu sistem yakni, sistem tanda, sesuai dengan pandangan semiotik bukan hanya dapat menghubungkan sistem dalam karya sastra itu sendiri, tetapi juga dengan sistem yang ada di luarnya dengan sistem kehidupanya. Dalam hubungan ini, tidak mungkin diabaikan kesanggupan kita untuk memahami kehidupan itu sendiri, tentu saja harus didukung oleh ilmu bantu yang lain.
Dengan pendekatan semiotik ini, diharapkan dapat memahami karya sastra dengan baik sehingga memungkinkan kita dapat memberikan penilaian secara lebih positif. Adapun langkah pelaksanaanya sama dengan pendekatan strukturalisme, karena pendekatan semiotik dikembangkan dari pendekatan strukturalisme. Hanya yang perlu diperhatikan pada pendekatan ini bahwa dalam memakai dan menikmati karya sastra, pembaca betul-betul obyektif.
Kriteria utama dalam memberikan penilaian secara objektif menurut Graham dan Wellek Waren adalah pada adanya:
a. relavansi nilai-nilai eksitensi manusia yang terpapar melalui jalan seni
b. adanya rangkap, keluasan, serta daya pukau yang disajikan
6. Pendekatan Resepsi
Pendekatan resepsi merupakan pendekatan dalam mengapresiasi karya sastra, yang menekankan bahwa menikmati, memahami, menilai, dan menghargai karya sastra diserahkan kepada penikmat karya sastra itu sendiri. Hal in sejalan pendapat Jaeques Lacan dan Rolan Bartesh (dalam Abdul Khalik sani, 2004:2) bahwa sebuah karya sastra, setelah hadir di tengah masyarakat pembaca, pembaca sendiri itulah yang akan memberikan makna.
Keragaman yang bisa timbul pada pendekatan ini disebabkan karena pembaca atau penikmat sastra memiliki berbagai panafsiran yang timbul, juga bisa disebabkan adanya perbedaan bekal pengetahuan dan pengalaman pembaca itu sendiri. Bahkan tidak mustahil peralihan pemahaman dari seorang pembaca mengalami perubahan atau cukup mungkin perkembangan segala dengan perkembangan kepekaan, rasa intelektual maupun pengalaman pembaca.
Berbeda pendapat Antar Sani (1985:44) mengatakan pendekatan resepsi adalah pendekatan yang menganut prinsip bahwa pendekatan ini dapat memberi kesenangan dan faedah bagi pembacanya. Karena itu pembaca atau penikmat karya sastra sangat diharapkan adanya upaya maksimal untuk melakukan kegiatan apresiasi agar ada faedah yang bisa dipetik sehingga menimbulkan kesenangan serta kecintaan terhadap karya sastra.
Untuk melakukan kegiatan apresiasi sastra dengan menggunakan pendekatan ini, maka langkah yang harus dilakukan adalah:
a. Langkah Persiapan
Apresiator sebelum melakukan apresiasi mendalami tentang teknik apresiasi sastra dengan mengetahui konsep hakikat kesusastraan.
b. Langkah Pelaksanaan Apresiasi
Pada langkah ini apresiator mengkaji faedah apa yang dapat dipetik dari kegiatan apresiasi tersebut. Apabila apresiator sudah memahami faedahnya maka dengan sendirinya ada motivasi yang timbul pada diri apresiator tersebut.
c. Langkah Penikmatan
Setelah apresiator memperoleh faedah, maka apresiator bisa menikmati karya sastra tersebut. Penikmatan karya sastra itu bisa senang bisa juga tidak senang terhadap karya sastra.
7. Pendekatan Psikoanalisis
Shakespare, dalam bukunya “A Midsummer Night Dream” menyatakan pula bahwa antara orang gila, orang yang jatuh cinta, dan penyair terdapat persamaan. Mereka memiliki otak yang bergolak, khayal yang bersifat membentuk, yang dapat menangkap hal-hal yang berada di luar jangkauan akal sehat.
Pernyataan di atas sudah barang tentu tidak timbul dengan sendirinya melainkan sebagai pengungkapan kepribadian seniman. Bagaimanapun juga, bagi mereka yang tertarik dan mencintai kesenian, kepribadian seniman sudah barang tentu merupakan pokok yang menarik.
Tampaknya upaya analisis secara psikoanalisis lebih banyak diarahkan kepada sastrawan, seniman, dan proses kreatifitas dari pada terhadap pembaca dalam menikmati dan mengapresiasikan sastra.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa pendekatan psikoanalisis adalah pendekatan dalam mengapresiasi sastra yang menekankan pada kehidupan jiwa pengarang atau penyair lewat biografi sehingga menimbulkan daya kreatifitas.
Walaupun demikian, sebenarnya mudah diduga bahwa keterkaitan teori-teori psikoanalisis dalam kegiatan apresiatif sama besarnya dengan keterkaitannya dalam kegiatan kreatif. Dengan demikian, apresiator yang mempergunakan pendekatan ini dapat dibandingkan dengan analisis dokter kepada pasiennya, sastrawan seakan-akan menampilkan penyakitnya pada karyanya.
Selanjutnya psikoanalisis pun dapat dipergunakan untuk menjelaskan watak para tokoh cerita. Berikut langkah pelaksanaan pendekatan psikoanalisis:
a. analisis kehidupan jiwa pengarang melalui biografi
b. analisa isi karya sastra dengan pola kehidupan jiwa pengarang atau penyair
c. analisa tentang keindahan karya sastra
Contoh:
KARANGAN BUNGA
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu – malu
Datang ke Salemba
Sore itu
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul “Karangan Bunga” jika diapresiasi menurut pendekatan psikoanalisis, maka tergambar kehidupan jiwa Taufiq Ismail yang ingin menguraikan kepada kita tentang kedukaan sebagai akibat dari kesewenang-wenangan atau kezaliman.
Hal ini dapat dikaji berdasarkan biografi Taufik menciptakan puisi dari protes penyair terhadap ketidakadilan, ketidakberpihakan pemerintah pada masyarakat kecil. Kepedulian penyair tentang problem kehidupan sosial saat itu melahirkan sejumlah puisi Taufiq Ismail.
Disamping itu, puisi “Karangan Bunga” dibuat ketika protes sosial berangsung, ada salah seorang mahasiswa yang tertembak mati. Namun, kepeduliaan pemerintah saat itu tak satu pun merasa berduka bahkan anak kecil pun letih memahami duka. Analisis kejiwaan baik sastra maupun kehidupan jiwa pengarang/penyair merupakan serangkaian totalitas dalam menikmati karya sastra.
No comments:
Post a Comment