Wednesday, December 14, 2011

PPKN 2


PENDEKATAN LINGKUNGAN DALAM PEMBELAJARAN
Lingkungan dalam Ensikloppedia Indonesia (1983) adalah segala sesuatu yang ada di luar suatu organisme, meliputi: (1) lingkungan mati (abiotik), yaitu lingkungan di luar suatu organisme yang terdiri atas benda atau faktor alam yang tidak hidup, seperti bahan kimia, suhu, cahaya, grafitasi, atmosfer, dan lainnya, (2) lingkungan hidup (biotik) , yaitu lingkungan di luar suatu organisme yang terdiri dari organisme hidup, seperti tumbuhan, hewan, dan manusia. Menurut Zaidin (2000) dalam pengertian yang lain lingkungan itu merupakan kesatuan ruang dengan semua benda dan keadaan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya serta makhluk hidup lainnya.
Pendekatan lingkungan merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berusaha untuk meningkatkan keterlibatan siswa melalui pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar. Pendekatan ini berasumsi bahwa kegiatan pembelajaran akaan menarik siswa, jika apa yang dipelajari diangkat dari lingkungan, sehingga apa yang dipelajari berhubungan dengan kehidupan dan berfaedah bagi lingkungan (Khusnin, 2008). Menurut Yulianto (2002) pendekatan lingkungan berarti mengaitkan lingkungan dalam suatu proses belajar mengajar dimana lingkungan digunakan sebagai sumber belajar. Untuk memahami materi yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari sering digunakan pendekatan lingkungan. Sehingga dapat dikatakan lingkungan yang ada di sekitar merupakan salah satu sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk pencapaian proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Lingkungan dapat memperkaya bahan dan kegiatan belajar.
Lingkungan merupakan salah satu sumber belajar yang amat penting dan memiliki nilai-nilai yang sangat berharga dalam rangka proses pembelajaran siswa. Penggunaaan lingkungan memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih bermakna sebab anak dihadapkan pada kondisi yang sebenarnya. Pelajaran biologi dengan menggunakan bahan-bahan alami lebih menguntungkan bagi siswa dan pengalaman bersahabat dengan alam lebih cenderung menyiapkan perasaan positif bagi siswa terhadap keajaiban alam. Hal senada juga diungkapkan Suniarsih (2006) yaitu berlangsungnya proses pembelajaran tidak terlepas dengan lingkungan sekitar.
Pendidikan lingkungan sebagai suatu dimensi, di dalam pembelajarannya menggunakan pendekatan lingkungan. Di dalam model pengajaran, pendekatan ini diklasifikasikan berdasarkan lingkungan belajarnya. Jadi pendekatan lingkungan tidak memiliki sintaks pembelajaran. Karli dan Margaretha (2002) menjelaskan bahwa pendekatan lingkungan adalah suatu strategi pembelajaran yang memanfaatkan lingkungan sebagai sasaran belajar, sumber belajar, dan sarana belajar. Hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah lingkungan, dan untuk menanamkan sikap cinta lingkungan.
Pembelajaran melalui pendekatan lingkungan kini dipopulerkan dengan istilah outbond yaitu suatu program pembelajaran di alam terbuka yang
berdasarkan pada prinsip experimential learning yaitu belajar melalui pengalaman
langsung. Nasution (1976:197) dalam Habiba (2006) mengatakan pendekatan lingkungan atau karyawisata adalah pendekatan yang berorientasi pada alam bebas dan nyata, tidak harus selalu ke tempat yang jauh tetapi dapat dilakukan di lingkungan alam sekitar kita. Jadi menggunakan pendekatan lingkungan dalam pembelajaran adalah memanfaatkan atau menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk keperluan pengajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Penggunaan pendekatan lingkungan berarti mengaitkan lingkungan dalam suatu proses belajar mengajar dimana lingkungan digunakan sebagai sumber belajar.
Pendekatan lingkungan berarti mengajak siswa belajar langsung ke lapangan tentang konsep pelajaran. Pendekatan lingkungan berpangkal pada adanya hubungan antara perkembangan fisik manusia dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Belajar melalui pendekatan lingkungan bukan berarti mengeksploitasi terhadap alam, akan tetapi hanya menggunakan jasa alam untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan.
Menurut Hidayah (2006) pendekatan lingkungan sebagai salah satu alternatif pendekatan dalam pembelajaran biologi sudah mulai diterapkan. Pendekatan lingkungan sebagai pendekatan dalam pembelajaran biologi juga dapat dipadukan dengan pendekatan lain. Pembelajaran dengan pendekatan lingkungan lebih bermakna bila dikombinasikan dengan pembelajaran kooperatif. Didalam pembelajaran siswa bekerja sama dengan kelompoknya serta saling membantu dalam belajar. Pendekatan lingkungan diwujudkan dengan cara menampilkan contoh-contoh penerapan biologi yang terdapat di lingkungan siswa.
Pendekatan lingkungan merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berusaha untuk meningkatkan keterlibatan peserta didik melalui pemberdayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar. Pendekatan ini berasumsi bahwa kegiatan pembelajaran akan menarik perhatian peserta didik jika apa yang dipelajari diangkat dari lingkungan. Dalam pendekatan lingkungan, pelajaran disusun sekitar hubungan dan faidah lingkungan. Isi dan prosedur disusun hingga mempunyai makna dan ada hubungannya antara peserta didik dengan lingkungannya. Pengetahuan yang diberikan harus memberi jalan ke luar bagi peserta didik dalam menanggapi lingkungannya. Pemilihan tema seyogyanya ditentukan oleh kebutuhan lingkungan peserta didik. UNESCO (1980) mengemukakan jenis-jenis lingkungan yang dapat didayagunakan oleh peserta didik untuk kepentingan pembelajaran sebagai berikut:
a. Lingkungan yang meliputi faktor-faktor fisik, biologi, sosio-ekonomi, dan budaya yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung, dan berinteraksi dengan kehidupan peserta didik.
b. Sumber masyarakat yang meliputi setiap unsur atau fasilitas yang ada dalam suatu kelompok masyarakat.
c.Ahli-ahli setempat yang meliputi tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan khusus dan berkaitan dengan kepentingan pembelajaran.
Pembelajaran berdasarkan pendekatan lingkungan dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut:
a. Membawa peserta didik ke lingkungan untuk kepentingan pembelajaran. Hal ini bisa dilakukan dengan metode-metode karyawisata, metode pemberian tugas, dan lain-lain
b. Membawa sumber-sumber dari lingkungan ke sekolah (kelas) untuk kepentingan pembelajaran. Sumber tersebut bisa sumber asli, seperti narasumber, bisa juga sumber tiruan, seperti model dan gambar.
Pengertian Pendidikan Lingkungan dan Kependudukan
Pendidikan dalam arti luas adalah segala pengalaman belajar diberbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi perkembangan individu.
Pendidikan dalam arti sempit dalam prakteknya identik dengan penyekolahan (schooling), yaitu pengajaran formal dibawah kondisi-kondisi yang terkontrol, jadi pendidikan hanya berlangsung  bagi mereka yang menjadi siswa pada suatu sekolah atau mahasiswa pada suatu perguruan tinggi.
Menururut UU SPN No. 20 Tahun 2003 “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masayarakat, bangsa dan negara”.
Lingkungan adalah kesatuan ruang dengan segala makhluk hidup, makhlik tak hidup, dan daya serta manusia dengan segala perilakunya, yang saling berhubungan secara timbal balik, jika ada perubahan salah satu komponen akan mempengaruhi  komponen lainnya.
Yang dimaksud dengan Kependudukan adalah sejumlah orang yang tinggal disuatu wilayah atau daerah dengan segala kebudayaan, tata kehidupan dan adanya peraturan pemerintahan yang mengaturnya.
Untuk mengendalikan lingkungan agar tetap terjaga sebagai mana mestinya maka diperlukan pendidikan kepada setiap individu selanjutnya setiap penduduk agar bisa menjaga ekosistem dan kesetabilan lingkungannya.
B.    Pendekatan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)
PLH adalah program pendidikan untuk membina anak didik agar memiliki pengertian, kesadaran, sikap, dan perilaku yang rasional serta bertanggung jawab terhadap alam dan terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan.(Mustofa).
Tujuan PLH adalah agar siswa memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku rasional dan bertanggung jawab terhadap masalah kependudukan dan lingkungan hidup. PLH bukan mata pelajaran yang berdiri sendiri melainkan mata pelajaran yang di integrasikan keberbagai mata pelajaran dalam kurikulum terutama kurikulum SD yang berlaku.
Pendidikan Lingkungan Hidup pada jalur pendidikan formal dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu pendekatan monolitik dan integrative.
1.    Pendekatan Monolitik
Pendekatan monolitik adalah pendekatan yang didasarkan pada suatu pemikiran bahwa setiap mata pelajaran merupakan komponen yang berdiri sendiri dalam kurikulum dan mempunyai tujuan tertentu dalam kesatuan yang utuh. System pendekatan ini dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu:
1)    Membangun satu disiplin ilmu baru yang diberi nama PLH. Nantinya dijadikan mata pelajaran yang terpisah dari ilmu-ilmu lain.
2)    Membangun paket PLH yang merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Kelebihan pendekatan monolitik
1)    Mata pelajaran yang berdiri sendiri.
2)    Persiapan mengajar lebih mudah dan bahan-bahannya dapat diketahui dari silabus.
3)    Pengetahuan yang diperoleh siswa akan lebih sintesis.
4)    Waktu yang disediakan dapat secara khusus, pencapaian tujuan bisa lebih aktif.
5)    Evaluasi belajar bisa lebih jelas dan mudah.
Kelemahan Pendekatan Monolitik
1)    Perlu dibuat silabus sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri sejajar dengan mata pelajaran lain.
2)    Perlu menambah tenaga pengajar yang mempunyai spesialisasi dalam Pendidikan Lingkungan Hidup.
3)    Kemungkinan menambah beban belajar siswa dari mata pelajaran yang ada sekarang dalam kurikulum.
2.    Pendekatan Terpadu (Integratif)
Pendekatan terpadu adalah pendekatan yang didasarkan pemaduan mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup dengan mata pelajaran lain. Pendekatan ini dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu:
a.    Membangun suatu unit atau seri pokok bahasan yang disiapkan untuk dipadukan kedalam mata pelajaran tertentu.
b.    Membangun suatu program inti yang bertitik tolak dari suatu mata pelajaran tertentu.
Kelebihan Pendekatan Terpadu
1)    Tidak perlu menambah tenaga kerja pengajar khusus dibidang PLH.
2)    Makin banyak guru mata pelajaran lain yang terlibat sehingga siswa memperoleh bahan yang lebih banyak.
Kelemahan pendekatan terpadu
1)    Perlu adanya penataran guru untuk pelajaran PLH yang dipadukan.
2)    Perlu mengubah silabus dan jam pelajaran yang telah ada.
3)    Timbul kesulitan proses untuk memadukan PLH dengan pelajaran lain.
4)    Kemungkinan tenggelamnya program PLH ke dalam mata pelajaran lain dan sebaliknya.
5)    Keterbatasan waktu yang tersedia dapat menghambat tercapainya tujuan dengan baik.
6)    Evaluasi perlu cara khusus karena adanya dua tujuan dalam satu kegiatan pembelajaran.
Pertimbangan pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan pelaksanaan PLH dalam program sekolah melalui pendekatan terpadu. Agar ini berhasil maka perlu memperhatikan factor-faktor sebagai berikut:
a.    Perpaduan harus dilakukan secara tepat agar pengetahuan mata pelajaran yang dijadikan perpaduan tidak mengalami perubahan susunan.
b.    Susunan pengetahuan yang jadi perpaduan berdasarkan kurikulum yang ada pada system persekolahan yang sedang berlaku.
c.    Mata pelajaran induk yang dipilih sebagai wadah perpaduan memiliki daya serap yang cukup.
Adapun mata pelajaran yang utama sebagai wadah perpaduan adalah Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, PENJAS dan Pendidikan Kewarga Negaraan.
C.    Ruang Lingkup Keadaan Sekitar Lingkungan Kependudukan
Dalam lingkungan tidak lepas dari dua komponen biotik dan abiotik. Biotik didalamnya terdapat mahluk hidup termasuk manusia, abiotik yaitu benda mati batu, tanah, matahari, anggin, air dan sebagainya. Tetapi yang paling besar peranannya adalah manusia.
Manusia pada dasarnya sebagai mahluk individu yang hidupnya pengen sendiri serakah, tetapi manusia juga tidak lepas dari orang lain dan lingkungan sekitar karena itu manusia disebut juga mahkluk sosial. Manusia tidak bisa hidup sendiri ia membutuhkan interaksi dengan sesamanya dilingkungan hidup ini. Karena secara naluriah manusia selalu ingin berkumpul dengan orang lain sebab memiliki akal yang sempurna.
Segala hal yang melibatkan dua orang atau lebih, melibatkan orang lain berarti sosial.
a. Individu dan Masyarakat
Manusia adalah salah satu makhluk yang ada di dunia, tetapi manusia lebih sempurna dengan makhlik lainnya yang ada di dunia. Karena adanya akal dan perbuatannya pun diatur oleh akal hanya sebagian kecil diatur oleh naluri. Dengan akalnya itu manusia mempunyai pengetahuan dan terus mengembangkan sehingga tercipta sesuatu hal yang baru dan lebih bermanfaat. Namun potensial itu hanya mungkin menjadi kenyataan apabila individu yang berpotensial bersangkutan saling berinteraksi dan hidup dalam suatu masyarakat saling timbal balik dan saling melengkapi.
b.    Kelompok Sosial
Kecenderungan manusia untuk berkumpul/berkelompok timbul dari kesadaran manusia akan keinginan hidup saling memerlukan. Pergaulan antar sesama manusia adalah kebutuhan dan dari pengalamannya itu manusia harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan itu semua tidak bisa dilakukan sendiri yakni harus ada timbale balik dari sesamanya dilingkungan sosial tersebut, maka itu terjadilah interaksi sosial.
c.    Hubungan Makhluk dengan Lingkungan
Lingkungan terdiri komponen biotik dan abiotik. Biotik terdiri dari manusia, hewan dan tumbuhan. Abiotik terdiri dari benda-benda tak bernyawa yang ada disekitar kita.
Antara makhluk yang satu dengan yang lainnya saling ketergantungan dan saling melengkapi, seperti manusia membutuhkan hewan dan tumbuhan untuk keperluan pangan, butuh air untuk minum dan lainnya. Hewan dan tumbuhan membutuhkan air untuk bertahan hidup, butuh matahari dan sebagainya.
d.    Penduduk dan Sumber Daya Alam (SDA)
Manusia hidup bersama unsur lingkungan yang lainnya yakni SDA. SDA adalah segala sesuatu yang ada di alam berupa biotik atau abiotik yang dapat dimanfaatkan manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Jumlah penduduk makin meningkat berarti kebutuhannya juga meningkat. Dengan berbagai cara manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan tetapi hasil dari pengetahuan dan IPTEK ada yang menguntungkan ada juga yang tidak. Sebab SDA menurut jenisnya ada dua yaitu biotik dan abiotik, menurut sifatnya SDA yang dapat diperbaharui dan SDA yang tidak dapat diperbaharui, oleh sebab itu kita harus waspada atas kelestarian SDA.
Agar SDA tetap lestari keberadaannya dibutuhkan pemeliharaan lingkungan dan tidak mudah tentunya, maka harus ada kesadaran seluruh warga dalam melestarikan lingkungan dan disini diperlukan pendidikan agar tiap individu bisa melakukannya.
D.    Permasalahan Lingkungan dan Kependudukan
Masalah lingkungan hidup adalah suatu persoalan yang dihadapi semua bangsa di dunia baik bangsa yang maju dan berkembang. Menurut Emil Salim (1986), sudah sejak lama masyarakat Indonesia hidup akrab dengan lingkungan alam juga memiliki semangat kekeluargaan yang besar dalam lingkungan sosial, dengan kata lain masyarakat Indonesia telah menerapkan pola hidup yang serasi dengan lingkungan hidup.
Jumlah penduduk mempengaruhi keseimbangan lingkungan, penyediaan sumber kekayaan lingkungan juga jadi tujuan sebagai bahan pemenuhan kebutuhan hidup. Penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tidak tepat dapat mengganggu keseimbangan lingkungan, peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan IPTEK akan diikuti oleh pemakaian lahan.
Tahun 1972 diadakan konferensi PBB di Stockholm, dan membahas tentang lingkungan hidup. Oleh karena tanggal 5 juni 1972 merupakan hari pembukaan konferensi maka tanggal 5 juni disepakati sebagai hari lingkungan hidup sedunia.
Lingkungan Hidup dan Sistem Lingkungan
1.  Lingkungan hidup
Ilmu yang mendasari tentang lingkungan adalah Ekologi. Ilmu lingkungan mempelajari makhluk hidup berdasarkan unit populasinya. Akibat naiknya kepadatan populasi akan timbul persaingan dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Akan timbul akibat persaingan tersebuit yaitu jika:
1)    Efek ekologi bila berlangsung pada waktu singkat.
2)    Efek evolusi bila berlangsung pada waktu relatife lama.
Ada 2 faktor lingkungan yang dapat menurunkan daya baik populasi yaitu:
1)    Bergantung kepadatan populasi itu sendiri, seperti ruang untuk hidup.
2)    Factor yang tidak bergantung pada kepadatan populasi, seperti suatu lingkungan tertentu.
Menurut Soemarwoto (1985) ada beberapa factor yang menentukan lingkungan hidup yaitu:
1)    Jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur lingkungan hidup.
2)    Hubungan atau interaksi antara unsur dalam lingkungan.
3)    Kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup.
4)    Non-material, suhu, cahaya, kebisingan.
2. Teknologi dan lingkungan
Ilmu dan teknologi memberi peluang kepada manusia untuk merubah lingkungan. Perubahan yang terjadi bisa secara cepat atau lambat. Manusia menggunakan teknologi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi perlu diingat bahwa pada hakikatnya teknologi selain dapat membawa kesejahteraan dapat pula membawa bencana.
Pemakaian ilmu dan teknologi dalam meningkatkan kualitas hidup manusia memberikan efek samping tersendiri. Adanya pabrik dan berbagai industri akan menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan. WHO telah menetapkan ada 4 tingkat pencemaran, yaitu:
1)    Pencemaran yang tidak menimbulkan kerugian kepada manusia jika dilihat dari zat pencemaran dan waktu kontaknya dengan lingkungan.
2)    Pencemaran yang mulai mengakibatkan iritasi ringan pada panca indra.
3)    Pencemaran yang sudah mengakibatkan reaksi pada paal tubuh dan menyebabkan sakit kronis.
4)    Pencemaran yang sudah besar sehingga menimbulkan gangguan dan menyebabkan sakit parah bahkan kematian.
Manfaat teknologi
Teknologi sangat bermanfaat bagi manusia diantaranya adalah:
-    Teknologi informasi dan komunikasi misalnya; dapat menyaksikan dan mendengarkan peristiwa yang terjadi di negara lain yang jaraknya sangat jauh, adanya TV, komputer, radio, telepon genggam, satelit dan sejenisnya.
-    Teknologi transfortasi misalnya; adanya kendaraan bermotor mobil, kereta, kapal laut, pesawat terbang dapat mempermudah berpindah dari satu tempat ketempat lain yang jauh dalam waktu yang singkat.
-    Bidang kedokteran misalnya; telah menggunakan sinar radio aktif untuk diagnosis dan pengobatan, pada pengobatan kangker misalnya.
-    Bidang pertanian misalnya; petani dapat mengusahakan tanamannya sepanjang tahun karena tidak lagi mengandalkan sipat-sipat alam seperti curah hujan, unsur hara, sinar matahari dan sebagainya. Pengairan dengan mesin pompa, irigasi, pupuk buatan, insektisida, herbisida dan lainnya.
-    Bidang keamanan misalnya; pesawat zet tempur, senjata api, bom dan lainnya sering dipakain dalam perang.
Akibat buruk teknologi
Teknologi juga ada dampak buruknya yakni; adanya pencemaran udara akibat kendaraan bermotor dan pabrik, pencemaran lingkungan, limbah pabrik yang tidak termanfaatkan. Penggunaan gas-gas beracun dan sebagainya ini menyebabkan lapisan ozon menipis akibatnya suhu meningkat, panas, banyak penyakit terutama kangker kulit.
Akibat intensifikasi pertanian banyak burung yang musnah, penggunaan insektisida, herbisida, pupuk buatan dan zat sejenisnya dapat mengakibatkan kesuburan tanah hilang dalam waktu relati lama dan akhirnya ketergantungan zat-zat kimia tersebut dan membahayakan kita. Insektisida DDT, adalah hidrat orang yang diklorinasi dan tidak larut di air, bila terkonsumsi akan terjadi penurunan populasi hewan khususnya.
Gampangnya mendapat informasi, memudahkan orang yang menyalah gunakan teknologi misalnya; Telepon untuk maksiat, TV, memudahkan orang berbuat jahat dan sebagainya itu semua penyalah gunaan teknologi yang harus kita waspadai.
E.    Fungsi  Pendidikan Lingkungan Hidup terhadap Kependudukan
Proses belajar mengajar sebaiknya dilakukan dengan pendekatan lingkungan alam sekitar (PLAS). Dasar filosofis mengajar dengan mengimpelementasikan pendekatan lingkungan alam sekitar adalah dari Rousseau dan Pestalozzi.
Jean Jacques Rousseau (1712-1788), mengatakan bahwa kesehatan dan aktifitas fisik adalah faktor utama dalam pendidikan anak-anak. Rousseau percaya bahwa “anak harus belajar langsung dari pengalaman sendiri, dari pada harus mendengarkan dari penjelasan buku”. Disini lingkungan sangat berperan penting dalam proses pembelajaran.
Johann Heinrich Pestalozzi (1716-1827), seorang pendidik berkebangsaan Swiss, dengan konsef “Home School”nya, menjadikan lingkungan alam sekitar sebagai objek nyata untuk memberikan pengalaman pertama bagi anak-anak. Pestalozzi juga mengajarkan ilmu bumi dan alam sekitar kepada anak didiknya dengan fasilitas yang ada dilingkungan sekitarnya dan menanamkan rasa tanggung jawab pada diri anak akan dirinya sendiri juga lingkungan agar tetap seimbang.
Tanpa adanya campur tangan manusia, lingkungan hidup belum tentu dapat terawat. Makanya dari pada itu, kependudukan mesti berperan aktif dalam upaya menyalamatkan lingkungan.
Di antaranya adalah:
1.    Peran sebagai pengelola, bukan penghancur lingkungan.
Saat ini, banyak sekali penduduk yang perannya tidak sesuai dengan kenyataan. Yang mestinya menjadi pengelola, malah yang menjadi pengrusaknya. Pohon ditebang, lahan dieksporitasi dan udara dibuat mengandung penyakit.
2.    Peran sebagai penjaga, bukan perusak lingkungan.
Kalau dalam diri penduduk sudah sadar akan pentingnya lingkungan hidup untuk kehidupannya. Maka, mereka akan menjadi penjaga, bukan menjadi perusak demi kepentingan pribadinya.
Sebab itulah pendidikan lingkungan di butuhkan dan harus diberikan kepada anak sejak dini agar mereka mengerti dan kelak tidak merusak lingkungan.
Pendidikan lingkungan sangat berpengaruh tehadap kependudukan, diantaranya:
1.    Aspek Kognitif
Pendidikan lingkungan mempunyai fungsi terhadap kognitif yakni untuk meningkatkan pemahaman terhadap permasalahan lingkungan kependudukan, selain itu meningkatkan daya ingat, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi terhadap kondisi yang terjadi dalam lingkungan sekitarnya.
2.    Aspek Afektif
Sementara itu, Pendidikan lingkungan berfungsi juga dalam aspek afektif, yakni dapat meningkatkan penerimaan, penilaian,  pengorganisasian dan karakteristik kepribadian dalam menata kehidupan dalam keselarasan dengan alam. Sehingga, adanya penataan teradap kependudukan dilingkungan hidupnya.
3.    Aspek Psikomotor
Dalam aspek psikomotor, fungsi Pendidikan Lingkungan cukup berperan dalam peniruan, manipulasi, ketetapan, artikulasi, dan pengalamiahan dalam tentang lingkungan yang ada disekitar kita, dalam upaya ningkatkan hajanah kebudayaan misalnya.
4.    Asepek Minat
Dalam aspek terakhir ini juga, fungsi dari pendidikan lingkungan terhadap kependudukan, yang dalam hal ini adalah penduduknya meningkat dalam minat yang tumbuh dalam dirinya.  Minat tersebut, digunakan untuk meningkatkan usaha dalam menumbuhkan kesuksesan kependudukan yang ada.
Sjarkowi (2005), mengatakan bahwa membangun kadar pemahaman yang seimbang tentang peran aktif manusia pembangunan di tengah lingkungan hidupnya, maka di seluruh penjuru nusantara perlu diselenggarakan program penghijauan kurikula (Greening The Curicules) seperti digagas Collet, J & S dan Karakhaslan (1996). Dengan pola dan bobot pendidikan yang berwawasan lingkungan itu maka kadar kesepahaman antar sesama manusia pembangunan dan bobot kerjasama pro-aktif dan reaktif mereka terhadap bencana dan kerugian lingkungan pun akan dapat ditumbuhkan dengan cepat secara internal daerah atau bahkan kebangsaan maupun internasional.
Bencana lingkungan hidup seperti kebakaran, banjir, longsor dan lainya dapat merusak sumber daya alam. Sekali dimensi kelestarian sumber daya itu mengalami kerusakan tentunya akan sulit dipulihkan. Maka dapat dimengerti betapa pentingnya merealisasikan program pendidikan lingkungan, agar lingkungan terjaga keseimbangannya.
A.    Kesimpulan
Pada dasarnya kehidupan ini selaras seimbang antara segala sesuatu yang ada didalamnya, yaitu makhluk hidup ada manusia, hewan dan tumbuhan, dan semua benda mati yang dapat dimanfaatkan dan mempunyai peran dalam kehidupan ini. Yang membuat lingkungan rusak dan tidak tertata lagi selain sang pencipta adalah masalah siapa yang menduduki dan menjadi pemimpin di atasn  kehidupan lingkungan ini tiada lain yakni manusia.
Kalau lingkungan mau setabil berarti manusia harus bisa menata kembali tatanannya dengan cara mendidik individu-individu manusianya agar dapat mengelola lingkungannya.
Lingkungan dan Kependudukan  bisa selaras apabila satu sama lain bisa seimbang. Dalam penerapan yang ada, pelaku utamanya adalah manusia selaku penduduk, yang di fokuskan kepada pengelolaan lingkungan  melalui pedekatan pendidikan lingkungan muali dari tingkat SD hingga perguruan tinggi dan kepada masyarakat.
Lingkungan akan menajdi bumerang bila, kita tidak bisa mengelolanya dengan baik. Apalagi kalau sudah terjadi bencana alam maka lingkungan akan mengancam keselamatan kita.
Tujuan Pendekatan  Lingkungan
Dalam proses belajar mengajar, terkadang guru menampilkan sosok tiruan dari benda se-benarnya yang dijadikan sebagai objek pelajaran, akan tetapi akan lebih mengena bila si murid kita ajak langsung terjun kealam (lingkungan) agar dalam penganalisisan data lebih mengena karena langsung pada objek sesungguhnya yang real dan konkrit.
Adapun tujuan pendekatan lingkungan sebagai sumber belajar adalah sebagai berikut:
1.         Supaya kegiatan belajar lebih menarik dan tidak membosankan siswa duduk di kelas ber-jam-jam sehingga motivasi belajar siswa akan lebih tinggi.
2.         Supaya hakikat Belajar akan lebih bermakna sebab siswa dihadapkan pada keadaan yang sebenarnya.
3.         Supaya bahan-bahan yang dapat dipelajari lebih kaya dan lebih actual sehingga ke-benarannya lebih akurat.
4.         Supaya kegiatan belajar siswa lebih kon-prehenshif dan lebih aktif sebab dapat di-lakukan dengan berbagai cara seperti wa-wancara, mengamati dan lain-lain.
5.         Supaya sumber belajar menjadi lebih kaya di-sebabkan lingkungan yang dipelajari beraneka ragam.
6.         Supaya siswa dapat memahami dan meng-hayati aspek yang ada di lingkungannya.
Kelemahan dan Kelebihan Pendekatan Lingkungan
LB. Sharp berpendapat bahwa tidak akan pernah ada suatu sekolah yang terlalu sempit, miskin, kekurangan alat – alat atau bahan untuk bisa memulai sesuatu kegiatan belajar mengajar. Proses pembelajaran, dan eksplorasi dapat di-lakukan di luar gedung sekolah. Dan tidak satu sekolah yang terlalu lengkap dan sangat maju di-dalam hal proses belajar mengajar tanpa ditujukan dengan di eksplorasi ke lingkungan alam sekitar. Pendapat Sharp tersebut, dapat dijadikan sebagai inspirasi bagi kita, bahwa untuk bisa ber-langsungnya kegiatan belajar mengajar yang efek-tif, tidak selalu harus ditunjang oleh tersedianya fasilitas yang lengkap, atau ketiadaan fasilitas be-lajar di dalam kelas, tidak bisa dijadikan toak ukur untuk tidak terlaksananya kegiatan belajar me-ngajar yang optimal.
Namun sayang walaupun harapan yang diinginkan demikian (seperti yang tertulis di tujuan di atas), akan tetapi dalam penerapan penggunaan Lingkungan sebagai sumber belajar juga terdapat beberapa kelemahan, diantaranya:
1.         Kegiatan belajar kurang dipersiapkan sebelumnya yang menyebabkan ketika siswa diajak ke tempat tujuan tidak melakukan kegiatan belajar yang di harapkan sehingga terkesan main-main.
2.         Ada kesan dari guru dan siswa bahwa ke-giatan mempelajari lingkungan mem-perlukan waktu yag lebih lama, sehingga meng-habiskan waktu untuk belajar di kelas.
3.         Sempitnya pandangan guru bahwa kegiatan belajar hanya terjadi di dalam kelas.
Lingkungan yang ada di sekitar anak me-rupakan salah satu sumber belajar yang dapat di-optimalkan untuk pencapaian proses dan hasil pendidikan yang berkualitas bagi anak. Ling-kungan menyediakan berbagai hal yang dapat di-pelajari anak jumlah sumber belajar yang tersedia di lingkungan ini tidaklah terbatas, sekalipun pada umumnya tidak dirancang secara sengaja untuk kepentingan pendidikan. Sumber belajar ling-kungan ini akan semakin memperkaya wawasan dan pengetahuan anak karena mereka belajar tidak terbatas oleh empat dinding kelas. Selain itu ke-benarannya lebih akurat, sebab anak dapat me-ngalami secara langsung dan dapat meng-optimalkan potensi panca inderanya untuk ber-komunikasi dengan lingkungan tersebut. Dalam penggunaan pendekatan lingkungan ter-dapat beberapa kelebihan diantaranya adalah :
1.         Penggunaan lingkungan memungkinkan ter-jadinya proses belajar yang lebih bermakna (meaningfull learning) sebab anak di-hadapkan dengan keadaan dan situasi yang sebenarnya. Hal ini akan memenuhi prinsip kekonkritan dalam belajar sebagai salah satu prinsip pendidikan anak.
2.         Penggunaan lingkungan sebagai sumber be-lajar akan mendorong pada penghayatan nilai-nilai atau aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya. Kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam kehidupan bisa mulai di-tanamkan pada anak sejak dini, se-hingga se-telah mereka dewasa kesadaran ter-sebut bisa tetap terpelihara.
3.         Penggunaan lingkungan dapat menarik bagi anak, kegiatan belajar dimungkinkan akan le-bih menarik bagi anak sebab lingkungan menyediakan sumber belajar yang sangat be-ragam dan banyak pilihan. Kegemaran belajar sejak usia dini merupakan modal dasar yang sangat diperlukan dalam rangka penyiapan masyarakat belajar (learning societes) dan sumber daya manusia di masa mendatang.
Manfaat Pendekatan Lingkungan
Sebagai guru,  kita dapat memilih berbagai benda yang  terdapat di lingkungan  untuk kita ja-dikan media dan sumber belajar bagi siswa di se-kolah. Bentuk dan jenis lingkungan ini bermacam-macam, misalnya :  sawah, hutan, pabrik, lahan pertanian, gunung, danau, peninggalan sejarah, musium,  dan sebagainya.   Media di  lingkungan juga bisa berupa benda-benda sederhana yang da-pat dibawa ke ruang kelas, misalnya : batuan, tumbuh-tumbuhan, binatang, peralatan rumah tangga, hasil kerajinan , dan masih banyak lagi contoh yang lain. Semua benda itu dapat kita kumpulkan dari sekitar kita dan dapat kita per-gunakan sebagai media pembelajaran di ke-las. Benda-benda tersebut dapat kita perloeh dengan mudah di lingkungan kita sehari-hari. Jika mungkin, guru dapat menugaskan para sis-wa untuk mengumpulkan benda-benda tertentu se-bagai sumber belajar untuk topik tertentu. Benda-benda tersebut juga dapat kita simpan   untuk  da-pat  kita pergunakan  sewaktu-waktu diperlukan.
Manfaatkan lingkungan sebagai media pembelajaran memiliki banyak keuntungan. Be-berapa beberapa keuntungan tersebut  antara lain :
1.        Menghemat biaya, karena memanfaatkan benda-benda yang telah ada di lingkungan.
2.        Praktis dan mudah dilakukan, tidak me-merlukan peralatan khusus seperti  listrik
3.        Memberikan pengalaman yang riil kepada sis-wa, pelajaran menjadi lebih konkrit, tidak ver-balistik.
4.        Karena benda-benda tersebut berasal dari lingkungan siswa, maka benda-benda tersebut akan sesuai dengan karakteristik  dan ke-butuhan siswa.  Hal ini juga sesuai dengan konsep pembelajaran kontekstual (contextual learning).
5.        Pelajaran lebih aplikatif, maksudnya materi belajar yang diperoleh siswa melalui media lingkungan kemungkinan besar akan dapat diaplikasikan langsung,  karena siswa   akan sering menemui  benda-benda atau peristiwa serupa dalam kehidupannya sehari-hari.
6.        Media lingkungan memberikan pengalaman langsung kepada siswa.  Dengan media ling-kungan, siswa dapat berinteraksi secara lang-sung dengan benda, lokasi atau peristiwa se-sungguhnya secara alamiah.
7.        Lebih komunikatif, sebab benda dan peristiwa yang ada di lingkungan siswa biasanya mudah dicerna oleh siswa, dibandingkan dengan me-dia yang dikemas (didesain).
Strategi Penggunaan Lingkungan dalam Proses Belajar Mengajar
Strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan sis-wa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Cara pe-laksanaan pembelajaran IPA dalam menggunakan pendekatan lingkungan diantaranya adalah
(a)      Menggunakan lingkungan sebagai lahan pengembangan keterampilan proses
(b)     Menggunakan lingkungan sebagai lahan pengembangan sikap
(c)      Mengunakan untuk pengayaan
(d)     Struktur pengembangan wawasan lingkungan menurut kelompok umur.
Penutup
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan uraian diatas adalah sebagai berikut :
1.         Ada beberapa alasan kenapa lingkungan itu penting dalam pembelajaran IPA, alasan ini di karenakan (a) lingkungan sebagai sasaran be-lajar, (b) lingkungan sebagai sumber belajar, (c) lingkungan sebagai sarana belajar.
2.         Tujuan pendekatan lingkungan dalam pem-belajaran IPA adalah agar siswa (a) Supaya kegiatan belajar lebih menarik dan tidak membosankan, (b) Supaya hakikat Belajar akan lebih bermakna, (c) Supaya bahan-bahan yang dapat dipelajari lebih kaya dan lebih ac-tual sehingga kebenarannya lebih akurat, (d) Supaya kegiatan belajar siswa lebih kon-prehenshif dan lebih aktif, (e) Supaya sumber belajar menjadi lebih kaya disebabkan ling-kungan yang dipelajari beraneka ragam, (f) Supaya siswa dapat memahami dan meng-hayati aspek yang ada di lingkungannya.
3.         Prinsip – prinsip dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yaitu (a) Prinsip ke-terlibatan siswa secara aktif, (b) Prinsip be-lajar berkesinambungan, (c) Prinsip motivasi, (d) Prinsip multi saluran, (e) Prinsip pe-nemuan, (f) Prinsip totalitas, (g) Prinsip per-bedaan indipidu.
4.         Kelebihan dan kelemahan pendekatan ling-kungan dalam pembelajaran IPA diantaranya adalah :
a.         Kelemahan pendekatan lingkungan dalam pembelajaran IPA
1.         Kegiatan belajar kurang dipersiapkan sebelumnya yang menyebabkan ke-tika siswa diajak ke tempat tujuan ti-dak melakukan kegiatan belajar yang diharapkan sehingga terkesan main-main.
2.         Ada kesan dari guru dan siswa bah-wa kegiatan mempelajari lingkungan memperlukan waktu yag lebih lama, sehingga menghabiskan waktu untuk belajar di kelas.
3.         sempitnya pandangan guru bahwa kegiatan belajar hanya terjadi di da-lam kelas.
b.         Kelebihan pendekatan lingkungan dalam pembelajaran IPA
1.         Penggunaan lingkungan memungkin-kan terjadinya proses belajar yang le-bih bermakna (meaningfull learning) sebab anak dihadapkan dengan ke-adaan dan situasi yang sebenarnya.
2.         Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar akan mendorong pada penghayatan nilai-nilai atau aspek-aspek kehidupan yang ada di ling-kungannya. Kesadaran akan pen-tingnya lingkungan dalam kehidupan bisa mulai ditanamkan pada anak se-jak dini, sehingga setelah mereka de-wasa kesadaran tersebut bisa tetap terpelihara.
3.         Penggunaan lingkungan dapat me-narik bagi anak, sebab lingkungan menyediakan sumber belajar yang sangat beragam dan banyak pilihan. Kegemaran belajar sejak usia dini merupakan modal dasar yang sangat diperlukan dalam rangka penyiapan masyarakat belajar (learning societes) dan sumber daya manusia di masa mendatang.
5.         Manfaat pendekatan lingkungan dalam pembelajaran IPA diantaranya adalah (a) Menghemat biaya, karena memanfaatkan benda-benda yang telah ada di ling-kungan, (b) Praktis dan mudah dilakukan, tidak memerlukan peralatan khusus se-perti  listrik, (c) Memberikan pengalaman yang riil kepada siswa, pelajaran menjadi lebih konkrit, tidak verbalistik, (d) Ka-rena benda-benda tersebut berasal dari lingkungan siswa, maka benda-benda ter-sebut akan sesuai dengan karakteristik  dan kebutuhan siswa.  Hal ini juga sesuai dengan konsep pembelajaran kontekstual (contextual learning), (e) Pelajaran lebih aplikatif, maksudnya materi belajar yang diperoleh siswa melalui media ling-kungan kemungkinan besar akan dapat diaplikasikan langsung,  karena siswa akan sering menemui  benda-benda atau peristiwa serupa dalam kehidupannya sehari-hari, (f) Media lingkungan mem-berikan pengalaman langsung kepada sis-wa.  Dengan media lingkungan, siswa da-pat berinteraksi secara langsung dengan benda, lokasi atau peristiwa sesung-guhnya secara alamiah. (g) Lebih komu-nikatif, sebab benda dan peristiwa yang ada di lingkungan siswa biasanya mudah dicerna oleh siswa, dibandingkan dengan media yang dikemas (didesain).
6.        Cara pelaksanaan pembelajaran IPA dalam menggunakan pendekatan lingkungan dian-taranya adalah (a) menggunakan lingkungan sebagai lahan pengembangan keterampilan proses, (b) menggunakan lingkungan sebagai lahan pengembangan sikap, (c) mengunakan untuk pengayaan, (d) struktur pengembangan wawasan lingkungan menurut kelompok umur.
Saran yang dapat diberikan supaya mutu pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di Sekolah Dasar dapat meningkat adalah sebagai berikut :
1.        Dalam proses pembelajaran IPA diharapkan jangan terlalu monoton menggunakan metode ceramah atau pengisian LKS yang bisa mem-buat siswa merasa bosan atau tidak senang dengan pembelajaran IPA.
2.        Berikanlah kebebasan siswa dalam mene-mukan sesuatu permasalahan yang ada di lingkungan sekitar dengan cara guru meng-gunakan pendekatan lingkungan.
3.        Dalam proses pembelajaran IPA guru bisa menggunakan pendekatan lingkungan dengan cara membimbing siswa untuk melakukan ob-servasi tumbuhan atau hewan yang ada di-sekitar kehidupan siswa.
4.        Berikan kesempatan kepada siswa untuk me-ngenali lingkungan alam sekitar pada saat berlangsungnya proses pembelajaran.
Pendekatan – Pendekatan Pembelajaran yang dapat digunakan di PKn
a. Pendekatan individual
merupakan pendekatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru terhadap anak didik dengan cara memahami karakter masing-masing dari anak didik, baik itu dari segi daya serap tingkat kecerdasan, cara mengemukakan pendapat dan lain sebagainya.
b. Pendekatan kelompok
merupakan pendekatan pembelajaran yang memang suatu waktu diperlikan untuk membina dan mengembangkan sikap sosial anak didik.
c. Pendekatan bervariasi
pendekatan ini bertolak dari konsepsi bahwa permasalahan yang dihadapi oleh setiap anak didik dalam belajar bermacam-macam, sehingga diperlukan variasi teknik pemecahan dari permasalahan tersebut.
d. Pendekatan edukatif
yakni setiap tindakan, sikap dan perbuatan yang guru lakukan harus bernilai pendidikan, dengan tujuan untuk mendidik anak didik agar menghargai nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya.
2. Strategi Pembelajaran PKn
a. Strategi deduktif
dimulai dari penampilan prinsip-prinsip yang diketahui ke prinsip-prinsip yang belum diketahui. Sebaliknya, dengan strategi induktif, pembelajaran dimulai dari prinsip-prinsip yang belum diketahui.
b. Strategi belajar tuntas
merupakan suatu strategi yang memberi kesempatan belajar secara individual sampai pembelajar menuntaskan pelajaran sesuai irama belajar masing-masing. Ceramah dan demonstrasi merupakan dua strategi yang pada hakikatnya sama, yaitu guru menyampaikan fakta dan prinsip-prinsip, namun pada demonstrasi sering kali guru menunjukkan (mendemonstrasikan) suatu proses.
c. Strategi Pembelajaran Langsung (direct instruction)
strategi pembelajaran langsung merupakan strategi yang kadar berpusat pada gurunya paling tinggi, dan paling sering digunakan. Pada strategi ini termasuk di dalamnya metode-metode ceramah, pertanyaan didaktik, pengajaran eksplisit, praktik dan latihan, serta demonstrasi.
d. Strategi Pembelajaran Tidak Langsung (indirect instruction)
strategi pembelajaran tidak langsung memperlihatkan bentuk keterlibatan tinggi siswa dalam melakukan observasi, penyelidikan, penggambaran inferensi berdasarkan data, atau pembentukan hipotesis.
e. Strategi Pembelajaran Interaktif (interactive instruction),
Strategi pembelajaran interaktif merujuk kepada bentuk diskusi dan saling berbagi di antara peserta didik. Strategi pembelajaran interaktif ini dikembangkan dalam rentang pengelompokkan dan metode-metode interaktif.
f. Strategi Belajar Melalui Pengalaman (experiential learning)
Strategi belajar melalui pengalaman ini menggunakan bentuk sekuens induktif, berpusat pada siswa, dan berorientasi pada aktivitas.
g. Strategi Belajar Mandiri (independent study)
Strategi belajar mandiri merujuk kepada penggunaan metode-metode pembelajaran yang tujuannya adalah mempercepat pengembangan inisiatif individu siswa, percaya diri, dan perbaikan diri.
h. Metode penerangan nilai (value clarification)
merupakan metode pengembangan kesadaran nilai oleh pendidik kepada peserta didik dengan anggapan bahwa nilai-nilai tidak bisa diajarkan secara indoktrinasi.
Konsep dasar model pembelajaran
1. Pahami tujuan maple , hambatan dan karakteristik siswa
2. Pahami klasifikasi sk kd (indicator)
3. Gunakan 7 pilar tcl
4. Pilih model yang tepat dan efektif
5. Tetapkan criteria keberhasilan (efektif, efisien, & daya tarik)
Pendekatan MENEMUKAN (INQUIRY)

Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Topik mengenai adanya dua jenis binatang melata, sudah seharusnya ditemukan sendiri oleh siswa, bukan “menurut buku”
Siklus inkuiri :
o Obsevasi (Observation)
o Bertanya (questioning)
o Mengajukan dugaan (Hyphotesis)
o Pengumpulan data (Data gathering)
o Penyimpulan (Conclussion)
Apakah hanya pada pelajaran IPA inkuiry itu bisa bias diterapkan? Jawabanya, tentu “Tidak”. Inkuiri dapat diterapkan pada semua bidang studi; bahasa Indonesia (menemukan cara menulis pragraph deskripsi yang indah); IPS (membuat sendiri bagan silsilah raja-raja Majapahit); PPKN (menemukan perilaku baikdan perilaku buruk sebagai warga Negara). kata kunci dari strategi inkuiri adalah “siswa menemukan sendiri”
Langkah-langkah kegiatan menemukan (inkuiri) :
(1). Merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun)
o Bagaimanakah silsilah raja-raja Majapahit (dalam mata pelajaran sejarah)
o Bagaimanakah cara melukiskan suasana menikmati ikan bakar di tepi pantai Kendari (bahasa Indonesia)?
o Ada berapa jenis tumbuham menurut bentuk bijinya (biologi)
o Kota mana saja yang termasuk kota besar di Indonesia? (geografi)
(2). Mengamati atau observasi
o Membaca buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi pendukung.
o Mengamati dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumber atau objek yang diamati.
(3). Menganalsis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan
karya lainnya
o Siswa membuat peta kota-kota besar sendiri.
o Siswa membuat paragraf deskripsi sendiri.
o Siswa membuat bagan silsilah raja-raja majapahit sendiri.
o Siswa membuat penggolongan tumbuh-tumbuhan sendiri
o Siswa membuat essai atau usulan kepada Pemerintah tentang berbagai masalah di daerahnya sendiri, dst.
(4). Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru,
atau audien yang lain
o Karya siswa disampaikan teman sekelas, guru, atau kepada orang banyak untuk mendapatkan masukan
o Bertanya jawab dengan teman,
o Memunculkan ide-ide baru
o Melakukan refleksi
o Menempelkan gambar, karya tulis, peta, dan sejenisnya di majalah dinding, majalah sekolah, dst
a. Pengertian Inkuiri
Model inkuiri didefinisikan oleh Piaget (Sund dan Trowbridge, 1973)
sebagai: Pembelajaran yang mempersiapkan situasi bagi anak untuk melakukan
eksperimen sendiri; dalam arti luas ingin melihat apa yang terjadi, ingin melakukan
sesuatu, ingin menggunakan simbul-simbul dan mencari jawaban atas pertanyaan
sendiri, menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain,
membandingkan apa yang ditemukan dengan yang ditemukan orang lain.
Kuslan Stone (Dahar,1991) mendefinisikan model inkuiri sebagai
pengajaran di mana guru dan anak mempelajari peristiwa-peristiwa dan gejalagejala
ilmiah dengan pendekatan dan jiwa para ilmuwan. Pengajaran berdasarkan
inkuiri adalah suatu strategi yang berpusat pada siswa di mana kelompok-kelompok
siswa dihadapkan pada suatu persoalan atau mencari jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan
di dalam suatu prosedur dan struktur kelompok yang digariskan secara
jelas (Hamalik, 1991).
Wilson (Trowbridge, 1990) menyatakan bahwa model inkuiri adalah
sebuah model proses pengajaran yang berdasarkan atas teori belajar dan perilaku.
Inkuiri merupakan suatu cara mengajar murid-murid bagaimana belajar dengan
menggunakan keterampilan, proses, sikap, dan pengetahuan berpikir rasional
(Bruce & Bruce, 1992). Senada dengan pendapat Bruce & Bruce , Cleaf (1991)
menyatakan bahwa inkuiri adalah salah satu strategi yang digunakan dalam kelas
yang berorientasi proses. Inkuiri merupakan sebuah strategi pengajaran yang
berpusat pada siswa, yang mendorong siswa untuk menyelidiki masalah dan
menemukan informasi. Proses tersebut sama dengan prosedur yang digunakan oleh
ilmuwan sosial yang menyelidiki masalah-masalah dan menemukan informasi.
Sementara itu, Trowbridge (1990) menjelaskan model inkuiri sebagai
proses mendefinisikan dan menyelidiki masalah-masalah, merumuskan hipotesis,
merancang eksperimen, menemukan data, dan menggambarkan kesimpulan
masalah-masalah tersebut. Lebih lanjut, Trowbridge mengatakan bahwa esensi dari
pengajaran inkuiri adalah menata lingkungan/suasana belajar yang berfokus pada
8
siswa dengan memberikan bimbingan secukupnya dalam menemukan konsepkonsep
dan prinsip-prinsip ilmiah.
Senada dengan pendapat Trowbridge, Amien (1987) dan Roestiyah (1998)
mengatakan bahwa inkuiri adalah suatu perluasan proses discovery yang digunakan
dalam cara yang lebih dewasa. Sebagai tambahan pada proses discovery, inkuiri
mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan
masalah, merancang eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan
menganalisis data, menarik kesimpulan, menumbuhkan sikap objektif, jujur, hasrat
ingin tahu, terbuka dan sebagainya.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa inkuiri
merupakan suatu proses yang ditempuh mahasiswa untuk memecahkan masalah,
merencanakan eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan
menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Jadi, dalam model inkuiri ini
mahasiswa terlibat secara mental maupun fisik untuk memecahkan suatu
permasalahan yang diberikan dosen. Dengan demikian, siswa akan terbiasa
bersikap seperti para ilmuwan sains, yaitu teliti, tekun/ulet, objektif/jujur, kreatif,
dan menghormati pendapat orang lain.
b. Pembelajaran dengan Pendekatan Inkuiri
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran dengan
pendekatan inkuiri. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh mahasiswa
diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari
menemukan sendiri. Dosen harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada
kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Pemahaman konsepkonsep
materi kuliah, sudah seharusnya ditemukan sendiri oleh mahasiswa, bukan
atas dasar "menurut buku".
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri adalah
sebagai berikut:
1) Merumuskan masalah
2) Mengamati atau observasi
3) Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan,
tabel, dan karya lainnya
4) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman
sekelas, guru, atau audien yang lain

D. PENERAPAN PENDEKATAN INKUIRI
Dalam praktik pembelajaran, pada dasarnya pendekatan inkuiri adalah
menggunakan pendekatan konstruktivistik, di mana setiap mahasiswa sebagai subyek
belajar, dibebaskan untuk menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan
interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui, dipercayai, dengan fenomena, ide,
atau informasi baru yang dipelajari. Dengan demikian, dalam proses belajar
mahasiswa telah membawa pengertian dan pengetahuan awal yang harus ditambah,
dimodifikasi, diperbaharui, direvisi, dan diubah oleh informasi baru yang diperoleh
dalam proses belajar.
Proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aktivitas dan interaksi, karena
persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Pengetahuan tidak dipisahkan
dari aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna
diciptakan, serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan didesiminasikan dan
diterapkan. Dalam pebelajaran dengan pendekatan inkuiri ini mahasiswa akan
dihadapkan pada suatu permasalahan yang harus diamati, dipelajari, dan dicermati,
yang pada akhirnya dapat meningkatkan pemahaman konsep mata kuliah dalam
kegiatan pembelajaran. Secara logika apabila mahasiswa meningkat partisipasinya
dalam kegiatan pembelajaran, maka secara otomatis akan meningkatkan pemahaman
konsep materi pembelajaran, dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan prestasi
belajar.
Untuk mengungkapkan proses pembelajaran tersebut dosen atau guru harus
mengumpulkan dan menangkap data yang berupa fenomena dan bahasa verbal (katakata,
kalimat, ungkapan) serta sedikit data kuantitatif yang merupakan hasil tes guna,
mendukung kekuatan yang berupa bahasa verbal (kata, kalimat maupun fenomena).
Data yang terkumpul dianalisis secara induktif dan kualitatif interpretatif, untuk
menggambarkan seberapa besar tingkat partisipasi mahasiswa dalam mengikuti
perkuliahan. Semakin tinggi tingkat partisipasi dalam perkuliahan diasumsikan
semakin tinggi pula tingkat penguasaan materi dan konsep dari mata kuliah yang
diajarkan. Supaya lebih menarik dan lebih siap, maka pembelajaran dengan
pendekatan inkuiri harus dimulai oleh dosen dengan merencanakan pembelajaran;
menyiapkan media pembelajaran, dan melaksanakan kegiatan pembelajaran secara
maksimal. Dengan demikian, dosen berperan sebagai instrumen utama dalam
10
pelaksanaan pembelajaran, yang dapat mengukur berhasil atau tidaknya sebuah
pembelajaran yang telah dirancang sebelumnya dengan pendekatan inkuiri.
Dalam praktik pembelajaran, pada dasarnya pendekatan inkuiri adalah
menggunakan pendekatan konstruktivistik, di mana setiap mahasiswa sebagai
subyek belajar, dibebaskan untuk menciptakan makna dan pengertian baru
berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui, dipercayai, dengan
fenomena, ide, atau informasi baru yang dipelajari. Dengan demikian, dalam
proses belajar mahasiswa telah membawa pengertian dan pengetahuan awal yang
harus ditambah, dimodifikasi, diperbaharui, direvisi, dan diubah oleh informasi
baru yang diperoleh dalam proses belajar. Dengan demikian mahasiswa
dibebaskan untuk mengungkapkan pendapatnya secara bebas tanpa ada rasa takut
akan terjadi kesalahan. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada pembelajaran dengan
pendekatan inkuiri ini, peserta belajar diperbolehkan untuk berbuat salah, dalam
arti salah memahami konsep secara individual. Selanjutnya pada gilirannya dosen
harus meluruskan kosnep yang paling benar. Apabila semua mahasiswa
dibebaskan untuk berpendapat sekalipun belum tepat, pasti angka partisipasi
dalam perkuliahan akan meningkat secara signifikan. Berdasarkan penjelasan
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penerapan pendekatan inkuiri dalam
proses pembelajaran di kelas dapat meningkatkan partisipasi mahasiswa.
2. Proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aktivitas dan interaksi, karena persepsi
dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Pengetahuan tidak dipisahkan dari
aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan,
serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan didesiminasikan dan
diterapkan. Dalam pembelajaran dengan pendekatan inkuiri ini mahasiswa akan
dihadapkan pada suatu permasalahan yang harus diamati, dipelajari, dan
dicermati, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pemahaman konsep mata
kuliah dalam kegiatan pembelajaran. Secara logika apabila mahasiswa meningkat
partisipasinya dalam kegiatan pembelajaran, maka secara otomatis akan
meningkatkan pemahaman konsep materi pembelajaran, dan pada akhirnya akan
dapat meningkatkan prestasi belajar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penerapan pendekatan inkuiri dalam proses pembelajaran di kelas dapat
11
meningkatkan penguasaan konsep materi kuliah sekaligus dapat meningkatkan
prestasi belajar.
Permasalahan Pembelajaran PKN di Sekolah Dasar
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga Negara yang baik, yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship Education) merupakan mata pelajaran juga memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa. Pembelajaran PKn ini diharapkan akan mampu membentuk siswa yang ideal memiliki mental yang kuat, sehingga dapat mengatasi permasalahan yang akan dihadapi.
Namun selama ini proses pembelajaran PKn kebanyakan masih mengunakan paradigma yang lama dimana guru memberikan pengetahuan kepada siswa yang pasif. Guru mengajar dengan metode konvensional yaitu metode ceramah dan mengharapkan siswa duduk, diam, dengar, catat dan hafal ( 3DCH ), siswa kurang aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Anak cenderug tidak begitu tertarik dengan pelajaran PKn karena selama ini pelajaran PKn dianggap sebagai pelajaran yang hanya mementingkan hafalan semata, kurang menekankan aspek penalaran sehingga menyebabkan rendahnya minat belajar PKn siswa di sekolah. Masalah utama dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) ialah penggunaan metode atau model pembelajaran dalam menyampaikan materi pelajaran secara tepat, yang memenuhi muatan tatanan nilai, agar dapat diinternalisasikan pada diri siswa serta mengimplementasikan hakekat pendidikan nilai dalam kehidupan sehari-hari belum memenuhi harapan seperti yang diinginkan.
Hal ini berkaitan dengan kritik masyarakat terhadap materi pelajaran PKn yang tidak bermuatan nilai-nilai praktis tetapi hanya bersifat politis atau alat indoktrinasi untuk kepentingan kekuasaan pemerintah. Metode pembelajaran dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) terkesan sangat kaku, kurang fleksibel, kurang demokratis, dan guru cenderung lebih dominan (one way method). Di samping masih menggunakan model konvensional yang monoton, aktivitas guru lebih dominan daripada siswa, akibatnya guru seringkali mengabaikan proses pembinaan tatanan nilai, sikap, dan tindakan; sehingga mata pelajaran PKn tidak dianggap sebagai mata pelajaran pembinaan warga negara yang menekankan pada kesadaran akan hak dan kewajiban tetapi lebih cenderung menjadi mata pelajaran yang jenuh dan membosankan. Selain itu pembelajaran PKn juga cenderung kurang bermakna karena hanya berpatokan pada penilaian hasil bukan pada penilaian proses. Guru PKn mengajar lebih banyak mengejar target yang berorientasi pada nilai ujian akhir. Hal ini berkaitan pada pembentukan karakter, moral, sikap serta perilaku murid yang hanya menginginkan nilai yang baik tanpa dimbangi dengan perbaikan karakter, moral, sikap serta perilaku dari anak tersebut. jika anak tersebut telah belajar tentang mata pelajaran PKn yang seharusnya dapat memperbaiki sikap, perilaku dan moral bagi para peserta didik namun sebaliknya malah berbanding terbalik dengan sikap, perlaku dan moral peserta didik yang cenderung menurun. Dari masalah yang dikemukakandiatas terlihat bahwa pembelajaran PKn di Sekolah Dasar cenderung kurang optimal, Maka akan kami paparkan beberapa solusi dari permasalahan tersebut diatas, yaitu:
Guru harus menguasai metode – metode pembelajaran yang lebih menyenangkan bagi para muridnya, dan membuat ruang belajar menjadi lebih bergairah, penuh dengan rasa ingin tahu anak didik, serta ada semangat berkompetisi secara sehat dari anak didik. Tidak hanya mengajar dengan metode ceramah saja yang banyak dgunakan guru yang dapat membuat anak didik menjadi bosan dan jenuh dalam belajar PKn, yang dapat dilakukan dengan cara :
1. Pembelajaran yang mengutamakan penguasaan kompetensi harus berpusat pada siswa (Focus on Learners),
2. Memberikan pembelajaran dan pengalaman belajar yang relevan dan kontekstual dalam kehidupan nyata (provide relevant and contextualized subject matter) dan mengembangkan mental yang kaya dan kuat pada siswa. Disinilah guru dituntut untuk merancang kegiatan pembelajaran yang mampu mengembangkan kompetensi, baik dalam ranah kognitif, ranah afektif maupun psikomotorik siswa.
3. Strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa dan peciptaan suasana yang menyenangkan sangat diperlukan untuk meningkatkan hasil belajar.
Disini akan dikemukakan dua model pembelajaran yang dapat digunakan guru untuk mengatasi permasalahan – permasalahan dalam pembelajaran PKn
1. Meningkatkan hasil belajar PKn melalui model Problem Based Learning
Hasil belajar adalah segala kemampuan yang dapat dicapai siswa melalui proses belajar yang berupa pemahaman dan penerapan pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi siswa dalam kehidupannya sehari-hari serta sikap dan cara berpikir kritis dan kreatif dalam rangka mewujudkan manusia yang berkualitas, bertanggung jawab bagi diri sendir, masyarakat, bangsa dan negara serta bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.i
Hasil belajar PKn adalah hasil belajar yang dicapai siswa setelah mengikuti proses pembelajara PKn berupa seperangkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan dasar yang berguna bagi siswa untuk kehidupan sosialnya baik untuk masa kini maupun masa yang akan datang yang meliputi: keragaman suku bangsa dan budaya Indonesia, keragaman keyakinan (agama dan golongan) serta keragaman tingkat kemampuan intelektual dan emosional. Hasil belajar didapat baik dari hasil tes (formatif, subsumatif dan sumatif), unjuk kerja (performance), penugasan (Proyek), hasil kerja (produk), portofolio, sikap serta penilaian diri.
Untuk meningkatkan hasil belajar PKn, dalam pembelajarannya harus menarik sehingga siswa termotivasi untuk belajar. Diperlukan model pembelajara interaktif dimana guru lebih banyak memberikan peran kepada siswa sebagai subjek belajar, guru mengutamakan proses daripada hasil. Guru merancang proses belajar mengajar yang melibatkan siswa secara integratif dan komprehensif pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik sehingga tercapai hasil belajar. Agar hasil belajar PKn meningkat diperlukan situasi, cara dan strategi pembelajaran yang tepat untuk melibatkan siswa secara aktif baik pikiran, pendengaran, penglihatan, dan psikomotor dalam proses belajar mengajar. Adapun pembelajaran yang tepat untuk melibatkan siswa secara totalitas adalah pembelajaran dengan Problem Based Learning. Pembelajaran dengan model Problem Based Learning adalah suatu model pembelajaran dimana sebelum proses belajar mengajar didalam kelas dimulai, siswa terlebih dahulu diminta mengobservasi suatu fenomena. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan yang muncul, serta mendiskusikan permasalahan dan mencari pemecahan masalah dari permasalahan tersebut. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang untuk berpikir kritis dan kreatif dalam memecahkan masalah yang ada serta mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda diantara mereka.
Dari uraian diatas dapat diduga bahwa pembelajaran dengan model Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar PKn siswa dibandingkan dengan pendekatan tradisional (metode ceramah). Pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar efektif dan kreatif, dimana siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya, menemukan pengetahuan dan keterampilannya sendiri melalui proses bertanya, kerja kelompok, belajar dari model yang sebenarnya, bisa merefleksikan apa yang diperolehnya antara harapan dengan kenyataan sehingga peningkatan hasil belajar yang didapat bukan hanya sekedar hasil menghapal materi belaka, tetapi lebih pada kegiatan nyata (pemecahan kasus-kasus) yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran (diskusi kelompok dan diskusi kelas)
2. Pendekatan dan penerapan model CTL (Contextual Learning)
Agar pembelajaran PKn dapat bermakna dan untuk pembentukan karakter maka disini penulis ingin memaparkan salah satu pendekatan model CTL yaitu pendekatan yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pembelajaran berlangung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, menemukan dan mendiskusikan masalah serta mencari pemecahan masalah, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Siswa megerti apa makna belajar, apa manfaatya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Siswa terbiasa memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang bergua bagi dirinya dan bergumul dengan ide-ide. Tugas guru mengatur strategi belajar, membantu menghubungkan pengetahuan lama dengan pngetahuan baru, dan memfasilitasi belajar. Anak harus tahu makna belajar dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Sehingga anak tidak hanya bisa menghafal pelajaran melainkan diharapkan juga dapat merubah sikap, perilaku, karakter serta moral anak.
CTL adalah suatu bentuk pembelajaran yang memiliki karakteristik berikut :
a. Keadaan yang mempengaruhi langsung kehidupan siswa dan pembelajarannya;
b. Dengan menggunakan waktu/kekinian, yaitu masa yang lalu, sekarang, dan yang akan datang;
c.Lawan dari textbook centered;
d. Lingkungan budaya, sosial, pribadi, ekonomi, dan politik;
e. Belajar tidak hanya menggunakan ruang kelas, bisa dilakukan di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara;
f. Mengaitkan isi pelajaran dengan dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dengan penerapannya dalam kehidupan mereka; dan
g. Membekali siswa dengan pengetahuan yang fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan ke permasalahan lain, dari satu konteks ke konteks lain
Sehingga Pembelajaran PKN dapat menjadi:
1. Learning to Know, yaitu suatu proses pembelajaran yang memungkinkan siswa menguasai tekhnik menemukan pengetahuan dan bukan semata-mata hanya memperoleh pengetahuan.
2. Learning to do adalah pembelajaran untuk mencapai kemampuan untuk melaksanakan Controlling, Monitoring, Maintening, Designing, Organizing. Belajar dengan melakukan sesuatu dalam potensi yang kongkret tidak hanya terbatas pada kemampuan mekanistis, melainkan juga meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain serta mengelola dan mengatasi koflik
3. Learning to live together adalah membekali kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, saling pengertia dan tanpa prasangka.
4. Learning to be adalah keberhasilan pembelajaran yang untuk mencapai tingkatan ini diperlukan dukungan keberhasilan dari pilar pertama, kedua dan ketiga. Tiga pilar tersebut ditujukan bagi lahirnya siswa yang mampu mencari informasi dan menemukan ilmu pengetahuan yang mampu memecahkan masalah, bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleransi terhadap perbedaan. Bila ketiganya behasil dengan memuaskan akan menumbuhkan percaya diri pada siswa sehingga menjadi manusia yang mampu mengenal dirinya, berkepribadian mantap dan mandiri, memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang dapat mengendalikan dirinya dengan konsisten, yang disebut emotional intelegence (kecerdasan emosi).
Apa Pendekatan Lingkungandalam Pembelajaran?
Pendekatan lingkungan dalam proses belajar dan pembelajaran adalah pemanfaatan lingkungan sebagai sarana pendidikan.
Relevansi pembelajaran kimia dengan lingkungan dapat dicapai dengan memanfaatkan lingkungan siswa sebagai laboratorium alam.
Pendekatan lingkungan dapat dilakukan dalam bentuk mengadakan pengamatan langsung ke lapangan atau dengan memindahkan kondisi lapangan ke kondisi yang lebih ideal yaitu pengamatan dan penelitian dalam laboratorium (Novak, 1973)
8Ciri-Ciri Pendekatan Lingkungan
1.Yang dimaksud dengan lingkungan, mencakup semua benda dan keadaan yang mempengaruhi siswa
2.Isi pelajaran disesuaikan dengan keadaan lingkungan siswa dan penerapan-penerapan kimia
3.Penyusunan bahan pelajaran berkisar pada suatu tema atau topik
Dasuki, Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Inkuiri dan Tingkat Kecerdasan Intelektual terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Kewarganegaraan ( Eksperimen di SMP Negeri 2 Banjarnegara ). Tesis, Surakarta : Program Studi Teknologi Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret 2007Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) Perbedaan prestasi belajar PKn siswa yang diajar dengan pendekatan Inkuiri dengan siswa yang diajar dengan pendekatan Konvensional, (2) Perbedaan prestasi belajar PKn antara siswa yang memiliki Kecerdasan Intelektual Tinggi dengan siswa yang memiliki Kecerdasan Intelektual Rendah, (3) Interaksi pengaruh antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat Kecerdasan Intelektual terhadap prestasi belajar PKn di SMP.
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Banjarnegara tahun pelajaran 2006/2007. metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Populasi penelitian terdiri dari siwa kelas VIII SMP Negeri 2 Banjarnegara. Sampel penelitian terdiri dari 80 siswa kelas VIII yang diambil dengan teknik Purposive Cluster Random Sampling. Instrumen untuk mengambil data berupa Tes Psikologi untuk Variabel Tingkat Kecerdasan Intelektual dan tes Prestasi untuk Variabel Prestasi Belajar PKn.
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Tes Prestasi Belajar PKn dengan menggunakan korelasi Product moment dan rumus KR -20. hasil uji validitas tes prestasi PKn, dari 50 item soal terdapat 40 item soal yang valid, sedangkan reliabilitas menghasilkan rn=0,903. teknik analisis yang digunakan adalah analisis-varian (ANAVA) faktorial 2 x 2, dengan taraf signifikan 0,05.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara prestasi belajar PKn siswa yang diajar dan pendekatan Inkuiri dengan siswa yang diajar dengan pendekatan Konvensional (Fhitung : Ftabel 0,05 = 24,086>4,091), (2) ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara prestasi belajar PKn siswa yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual tinggi dan siswa yang memiliki tingkat kederdasan intelektual rendah ((Fhitung : Ftabel 0,05 = 123,23 > 4,091), (3) tidak ada interaksi pengaruh antara pendekatan inkuiri dan konvensional dengan tingkat kecerdasan intelektual terhadap prestasi belajar PKn di SMP ((Fhitung : Ftabel 0,05 = 0,492 < 3,967).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para guru di SMP dalam memilih dan menggunakan pendekatan pembelajaran. Selain itu sekolah juga harus memberikan perhatian pada tingkat kecerdasan intelektual siswa
Model pembelajaran dengan pendekatan lingkungan, bukan merupakan pendekatan pembelajaran yang baru, melainkan sudah dikenal dan populer, hanya saja sering terlupakan. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan lingkungan adalah suatu strategi pembelajaran yang memanfaatkan lingkungan sebagai sasaran belajar, sumber belajar, dan sarana belajar. Hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah lingkungan dan untuk menanamkan sikap cinta lingkungan (Karli dan Yuliaritiningsih, 2002).
Pembelajaran dengan pendekatan lingkungan sangat efektif diterapkan di sekolah dasar.apalagi seperti di lingkungan kami mengajar yaitu desa cukup terpencil Hal ini relevan dengan tingkat perkembangan intelektual usia sekolah dasar (7-11 tahun) berada pada tahap operasional konkret (Piaget, dalam Wilis:154). Hal senada dikatakan Margaretha S.Y., (2002) bahwa kecenderungan siswa sekolah dasar yang senang bermain dan bergerak menyebabkan anak-anak lebih menyukai belajar lewat eksplorasi dan penyelidikan di luar ruang kelas.
pada dasarnya Konsep-konsep sains dan lingkungan sekitar siswa dapat dengan mudah dikuasai siswa melalui pengamatan pada situasi yang konkret. Dampak positif dari diterapkannya pendekatan lingkungan yaitu siswa dapat terpacu sikap rasa keingintahuannya tentang sesuatu yang ada di lingkungannya. Seandainya kita renungi empat pilar pendidikan yakni learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to be (belajar untuk menjadi jati dirinya), learning to do (Belajar untuk mengerjakan sesuatu) dan learning to life together (belajar untuk bekerja sama) dapat dilaksanakan melalui pembelajaran dengan pendekatan lingkungan yang dikemas sedemikian rupa oleh guru.
Harapan Penulis terilhami menuangkan tulisan ini dengan maksud untuk dikembangkan menjadi visi misi sekolah sebagai prioritas untuk meningkatkan mutu pendidikan. Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat menjadi bahan masukan bagi para guru untuk menengok lingkungan sekitar yang penuh arti sebagai sumber belajar dan informasi yang mendukung tercapainya tujuan pembelajaran secara efektif. Model pendekatan ini pun relevan dengan pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM), sehingga pada gilirannya dapat mencetak siswa yang cerdas dan cinta lingkungan.
Siswa boleh saja berpikir secara global, tetapi mereka harus bertindak secara lokal. Artinya, setiap orang/siswa perlu belajar apa pun, bahkan mencari hikmah dari berbagai macam pengalaman bangsa-bangsa lain di seluruh dunia, namun pengetahuan tentang pengalaman bangsa-bangsa lain tersebut dijadikan sebagai pembelajaran dalam tindakan di lingkungan secara lokal. Dengan cara kerja seperti itu, kita tidak perlu melakukan trial and error yang berkepanjangan, melainkan kita belajar dari kesalahan-kesalahan orang lain, sementara kita sekadar meneruskan kerja dari paradigma yang benar.
Bekerja dan belajar yang berbasis lingkungan sekitar memberikan nilai lebih, baik bagi si pembelajar itu sendiri maupun bagi lingkungan sekitar. Katakanlah belajar ilmu sosial atau belajar ekonomi, maka lingkungan sosial dan ekonomi sekitar dapat menjadi laboratorium alam. Pembelajaran ini dapat dilakukan sembari melakukan pemberdayaan (empowering) terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, sementara si pembelajar dapat melakukan proses pembelajaran dengan lebih baik dan efisien. Mohamad Yunus, penerima Nobel asal Bangladesh adalah orang yang banyak belajar berbasis lingkungan untuk mengembangkan ekonomi. Dengan mendirikan Grameen Bank, dia belajar sekaligus memberdayakan masyarakat sekitar.


PENDEKATAN KONSEP
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa dibimbing memahami suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya. Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi fokus. Dengan beberapa metode siswa dibimbing untuk memahami konsep.
Pendekatan Proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar. Dalam pendekatan proses, ada dua hal mendasar yang harus selalu dipegang pada setiap proses yang berlangsung dalam pendidikan. Pertama, proses
mengalami. Pendidikan harus sungguh menjadi suatu pengalaman pribadi bagi
peserta didik. Dengan proses mengalami, maka pendidikan akan menjadi bagian
integral dari diri peserta didik; bukan lagi potongan-potongan pengalaman
yang disodorkan untuk diterima, yang sebenarnya bukan miliknya sendiri.
Dengan demikian, pendidikan mengejawantah dalam diri peserta didik dalam
setiap proses pendidikan yang dialaminya.
Keterampilan proses merupakan kemampuan siswa untuk mengelola (memperoleh) yang didapa dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) yang memberikan kesempatan seluas-luasnya pada siswa untuk mengamati, menggolongkan, menafsirkan, meramalkan, menerapkan, merencanakan penelitian, mengkomunikasikan hasil perolehan tersebut” (Azhar, 1993: 7)
Sedangkan “menurut Conny (1990 : 23) pendekatan keterampilan proses adalah pengembangan sistem belajar yang mengefektifkan siswa (CBSA) dengan cara mengembangkan keterampilan memproses perolehan pengetahuan sehingga peserta didik akan menemukan, mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan sikap dan nilai yang dituntut dalam tujuan pembelajaran khusus”.
Berdasarkan uraiaan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan keterampilan proses adalah pendekatan belajar mengajar yang mengarah pada pengembangan kemampuan dasar berupa mental fisik, dan sosial untuk menemukan fakta dan konsep  maupun pengembangan sikap dan nilai melalui proses belajar mengajar yang telah mengaktifkan siswa (CBSA) sehingga mampu menumbuhkan sejumlah keterampilan tertentu pada diri peserta didik.
Dimiyati (2002: 138) mengatakan bahwa pendekatan keterampilan proses dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki oleh siswa adalah :
  • Pendekatan keterampilan proses memberikan kepada pengertian yang tepat tentang hakekat ilmu pengetahuan siswa dapat mengalami rangsangan ilmu pengetahuan dan dapat lebih baik mengerti fakta dan konsep ilmu pengetahuan
  • Mengajar dengan keterampilan proses berarti memberi kesempatan kepada siswa bekerja dengan ilmu pengetahuan tidak sekedar menceritakan atau mendengarkan cerita tentang ilmu pengetahuan.
  • Menggunakan keterampilan proses untuk mengajar ilmu pengetahuan membuat siswa belajar proses dan produk ilmu pengetahuan sekaligus.
Dari pembahasan tentang pengertian keterampilan proses (PKP) dapat diartikan bahwa pendekatan keterampilan proses dalam penerapannya secara langsung memberikan kesempatan siswa untuk secara nyata bertindak sebagai seorang ilmuan karena penerapan pendekatan keterampilan proses menekankan dalam memperoleh ilmu pengetahuan siswa hendaknya menanamkan sikap dan nilai sebagai seorang ilmuan.
2.    Pentingnya Pendekatan Keterampilan Proses
Menurut Dimiyati, mengatakan bahwa pendekatan keterampilan proses (PKP) perlu diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
  1. Percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi
  2. Pengalaman intelektual emosional dan fisik dibutuhkan agar didapatkan agar hasil belajar yang optimal
  3. Penerapan sikap dan nilai sebagai pengabdi pencarian abadi kebenaran ini. (Dimiyati, 2002: 137)
Pembinaan dan pengembangan kreatifitas berarti mengaktifkan murid dalam kegiatan belajarnya. Untuk itu cara belajar siswa aktif (CBSA) yang mengembangkan keterampilan proses yang dimaksud dengan keterampilan di sini adalah kemampuan fisik dan mental yang mendasar  sebagai penggerak kemampuan-kemampuan lain dalam individu.
Sedangkan Conny (1990 : 14). mengatakan bahwa ada beberapa alasan yang melandasi perlu diterapkan pendekatan keterampila proses (PKP) dalam kegiatan belajar mengajar yaitu:
  1. Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung semakin cepat sehingga tak mungkin lagi para guru mengajarkan semua fakta dan konsep kepada siswa.
  2. Para ahli psikologi umumnya berpendapat bahwa anak-anak muda memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh kongkrit.
  3. Penemuan ilmu pengetahuan tidak bersifat relatif benar seratus persen penemuannya bersifat relatif 
  4. Dalam proses belajar mengajar pengembangan konsep tidak dilepaskand ari pengembangan sikap dan nilai dalam diri anak didik.
3.     Pola Pelaksanaan Pendekatan Keterampilan Proses (PKP)
Dalam pola pelaksanaan keterampilan proses, hendaknya guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Asas pelaksanaan keterampilan proses
Menurut (Azhar, 1993) dalam melaksanakan pendekatan keterampilan proses perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  • Harus sesuai dan selalu berpedoman pada tujuan kurikuler, serta pembelajaran yang berupa TPU dan TPK.
  • Harus berpegang pada dasar pemikiran bahwa semua siswa mempunyai kemampuan (potensi) sesuai dengan kudratnya.
  • Harus memberi kesempatan, penghargaan dan movitasi kepada peserta didik untuk berpendapat, berfikir dan mengungkapkan perasaan dan pikiran.
  • Siswa pembinaan harus berdasarkan pengalaman belajar siswa.
  • Perlu mengupayakan agar pembina mengarah pada kemampuan siswa untuk mengola hasil temuannya.
  • Harus berpegang pada prinsip "Tut Wuri Handayani". Memperhatikan azas-azas tersebut, nampaknya yang menjadi titik perkenannya adalah siswa itu adalah siswa itu sendiri sebagai subyek didik dan juga guru dalam melaksanakan pendekatan keterampilan proses benar-benar memperkirakan perbedaan masing-masing siswa.
b.    Bentuk dan pelaksanaan pendekatan keterampilan proses (PKP)
Untuk melaksanakan pendekatan keterampilan proses kepada peserta didik secara klasikal. Kelompok kecil ataupun individual. Maka kegiatan tersebut harus mengamati kepada pembangkitan kemampuan dan keterampilan mendasar baik mental, fisik maupun sosial (menurut Funk dalam Dimiyati, 1999). Adapun keterampilan yang mendasar dimaksud adalah :
a. Mengamati/observasi 
Observasi atau pengamatan merupakan salah satu keterampilan ilmiah yang paling mendasar dalam proses dan memperoleh ilmu pengetahuan serta merupakan hal terpenting untuk mengembangkan keterampilan proses yang lain (Funk 1985 dalam Dimiyati, 1909 :142).
Kegiatan mengamati, menurut penulis dapat dilakukan dengan panca indera seperti melihat, mendengar, meraba, mencium dan mengecap. Hal ini sejalan dengan pendapat (Djamarah, 2000 :89). Bahwa "kegiatan mengamati dapat dilakukan peserta didik melalui kegiatan belajar, melihat, mendengar, meraba, mencicip dan mengumpulkan dan atau informasi.
Jadi kegiatan mengamati merupakan tingkatan paling rendah dalam pengembangan keterampilan dasar dari peserta didik, karena hanya sekedar pada penglihatan dengan panca indera. Pada dasarnya mengamati dan melihat merupakan dua hal yang berbeda walaupu sekilas mengandung pengertian yang sama. Melihat belum tentu mengamati, karena setiap hari mungkin peserta didik melihat beraneka ragam tanaman, hewan, benda-benda lain yang ada di sekitarnya, tetapi sekedar melihat tanpa mengamati bagaimana sebenarnya tanaman, hewan tersebut berkembang dari kecil hingga menjadi besar.
b.    Mengklasifikasikan
Mengklasifikasikan merupakan keterampilan proses untuk memilih berbagai obyek peristiwa berdasarkan sifat-sifat khsususnya. Sehingga didapatkan golongan atau kelompok sejenis dari obyek yang dimaksud, (Dimiyati, 1999 :142).
Untuk melakukan kegiatan mengkalasifikasik menurut Djamarah adalah "peserta didik dapat belajar melalui proses : mencari persamaan (menyamakan, mengkombinasikan, menggolongkan dan mengelompokkan( Djamarah, 2000 : 89).
Melalui keterampilan mengklasifikasi peserta didik diharapkan mampu membedakan, menggolongan segala sesuatu yang ada di sekitar mereka sehingga apa yang mereka lihat sehari-harii dapat menambah pengetahuan dasar mereka.
c.    Mengkomunikasikan
Mengkomunikasikan dapat diartikan sebagai "menyampaikan dan memperoleh fakta, konsep dan prinsip ilmu pengetahua dalam bentuk suara, visual atau secara visual" (Dimiyati, 1993:143). Kegiatan mengkomunikasi dapat berkembanga dengan baik pada diri peserta didik apabila mereka melakukan aktivitas seperti : berdiskusi, mendeklamasikan, mendramatikan, bertanya, mengarang, memperagakan, mengekspresikan dan melaporkan  dalam bentuk lisan, tulisan, gambar dan penampilan” (Djamarah, 2000).
Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa mengkomunikasikan bukan berarti hanya melalui berbicara saja tetapi bisa juga dengan gambar, tulisan bahkan penampilan dan mungkin lebih baik dari pada berbicara.
d.    Mengukur
Keterampilan mengukur sangat penting dilakukan agar peserta didik dapat mengobservasi dalam bentuk kuantitatif. Mengukur dapat diartikan "membandingkan yang diukur dengan satuan ukuran tertentu yang telah ditetapkan" (Dimiyati, 1999 : 144). Adapun kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan mengukur peserta didik menurut Conny (1992 :21). Dapat dilakukan dengan cara mengembangkan sesuatu, karena pada dasarnya mengukur adalah membandingkan, misalnya saja siswa membandingkan luas kelas, volume balok, kecakapan mobil dan sebagainya.
Kegiatan pengukuran yang dilakukan peserta didik berbeda-beda tergantung dari tingkat sekolah mereka, karena semakin tinggi tingkat sekolahnya maka semakin berbeda kegiatan pengukuran yang dikerjakan.
e.    Memprediksi
Memprediksi adalah "antisipasi atau perbuatan ramalan tentang sesuatu hal yang akan terjadi di waktu yang akan datang, berdasarkan perkiraan pada pola kecendrungan tertentu, atau hubungan antara fakta dan konsep dalam ilmu pengetahuan" (Dimiyati, 1999: 144).
Menurut (Djamarah, 2000) untuk mengembangkan keterampilan memprediksi dapat dilakukan oleh peserta didik melalui kegiatan belajar antisipasi yang berdasarkan pada kecendrungan/pola. Hubungan antara data, hubungan informasi. Hal ini dapat dilakukan misalnya memprediksi waktu tertibnya matahari yang telah diobservasi, memprediksikan waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tertentu dengan menggunakan kendaraan dengan yang berkecepatan tertentu.
Pada prinsipnya memprediksi, observasi dan menarik kesimpulan merupakan tiga hal yang berbeda, hal tersebut dapat dibatasi sebagai berikut : "kegiatan yang dilakukan melalui panca indera dapat disebut dengan observasi dan menarik kesimpulan dapat diungkapkan dengan, mengapat hal itu bisa terjadi sedangkan kegiatan observasi yang telah dilakukan apa yang akan diharapkan".
f.    Menyimpulkan
Menyimpulkan dapat diartikan sebagai "suatu keterampilan untuk memutuskan keadaan suatu. Objek atau peristiwa berdasarkan fakta, konsep dan prinsip yang diketahui (Dimiyati, 1999: 145).
Kegiatan yang menampakkan keterampilan menyimpulkan misalnya: berdasarkan pengamatan diketahui bahwa lilin mati setelah ditutup dengan gelas rapat-rapat. Peserta didik dapat menyimpulkan bahwa lilin bisa menyala apabila ada oksigen. Kegiatan menyimpulkan dalam kegiatan belajar mengajar dilakukan sebagai pengembangan keterampilan peserta didik yang dimulai dari kegiatan observasi lapangan tentang apa yang ada di alam ini.
c.    Langkah-langkah melaksanakan keterampilan proses
Untuk dapat melaksanakan kegiatan keterampilan proses dalam pembelajaran guru harus melakuka  langkah-langkah sebagai berikut:
1.    Pendahuluan atau pemanasan
Tujuan dilakukan kegiatan ini adalah mengarahkan peserta didik pada pokok permasalahan agar mereka siap, baik mental emosional maupun fisik.
Kegiatan pendahuluan atau pemanasan tersebut berupa:
  • Pengulasan atau pengumpulan bahan yang pernah dialami peserta didik yang ada hubungannya dengan bahan yang akan diajarkan.
  • Kegiatan menggugah dan mengarahkan perhatian perserta didik dengan mengajukan pertanyaan, pendapat dan saran, menunjukkan gambar atau benda lain yang berhubungan dengan materi yang akan diberikan.
2.    Pelaksanaan proses belajar megnajar atau bagian inti
Dalam kegiatan proses pembelajaran suatu materi, seperti yang dikemukakan di depan hendaknya selalu mengikutsertakan secara aktif akan dapat mengembangkan kemampuan proses berupa mengamati, mengklasifikasi, menginteraksikan, meramalkan, mengaplikasikan konsep, merencanakan dan melaksanakan penelitian serta mengkunikasikan hasil perolehannya yang pada dasarnya telah ada pada diri peserta didik.
Sedangkan menurut Djamarah (2002 :92) kegiatan-kegiatan yang tergolong dalam langkah-langkah proses belajar mengajar atau bagian inti yang bercirikan keterampilan proses, meliputi :
  1. Menjelaskan bahan pelajaran yang diikuti peragakan, demonstrasi, gambar, modal, bangan yang sesuai dengan keperluan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengembangkan kemampuan mengamati dengan cepat, cermat dan tepat.
  2. Merumuskan hasil pengamatan dengan merinci, mengelompokkan atau mengklasifikasikan materi pelajaran yang diserap dari kegiatan pengamatan terhadap bahan pelajaran tersebut.
  3. Menafsirkan hasil pengelompokkan itu dengan menunjukkan sifat, hal dan peristiwa atau gejala yang terkandung pada tiap-tiap kelompok.
  4. Meramalkan sebab akibat kejadian perihal atau peristiwa lain yang mungkin terjadi di waktu lain atau mendapat suatu perlakuan yang berbeda.
  5. Menerapkan pengetahuan keterampilan sikap yang ditentukan atau diperoleh dari kegiatan sebelumnya pada keadaan atau peristiwa yang baru atau berbeda.
  6. Merencanakan penelitian umpamanya mengadakan percobaan sehubungan dengan masalah yang belum terselesaikan.
  7. Mengkomunikasikan hasil kegiatan pada orang lain dengan diskusi, ceramah mengarang dan lain-lain.
Pendekatan pemecahan masalah deduktif – induktif
Pembelajaran dengan Pendekatan Pemecahan Masalah
              Suatu pertanyaan disebut masalah hanya jika seseorang tidak mempunyai aturan tertentu yang segera dapat digunakan untuk menemukan jawaban tersebut (Hudojo,1983:2). Sejalan dengan hal tersebut, Ruseffendi (1991: 336) mengemukakan bahwa suatu persoalan merupakan  masalah bagi seseorang bila persoalan itu tidak dikenalnya, dan orang tersebut mempunyai keinginan untuk menyelesaikannya, terlepas apakah akhirnya ia sampai atau tidak kepada jawaban masalah itu.      
                Dalam pembelajaran dengan pendekatan pemecahan masalah, mahasiswa PGSD/ siswa SD akan terlatih dalam menemukan pola, mengkomunikasikan matematika, menggeneralisasikan dan keterampilan lain yang terkait. Suatu soal memenuhi kriteria sebagai suatu masalah bagi siswa, jika (1) siswa tidak mengetahui gambaran tentang soal itu  dan (2) siswa mempunyai keinginan menyelesaikan soal tersebut ( Sutawidjaja, 1998:2). Dalam pemecahan masalah meliputi 4 langkah,: memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah sesuai rencana , dan mengecek kembali seluruh langkah ( Polya : 1981).
b. Pemecahan Masalah Bernuansa Pakem   
Pemecahan masalah memerlukan pemikiran yang kompleks, antara lain kemampuan pemahaman, ingatan, analisis, kreativitas, pengaitan dan masih banyak kemampuan yang lainnya. Agar siswa tidak terlalu tertekan dalam mengerahkan kemampuannya, maka perlu diciptakan suatu kondisi yang tetap mendorong mereka bekerja terus dengan tanpa rasa jemu.  Situasi yang kondusif tersebut dapat berupa pakem. Pakem ini merupakan pendekatan pembelajaran di mana siswa aktif secara fisik dan mental, kreatif, efektif dan tentu saja menyenangkan.  Nuansa Pakem memiliki ciri-ciri seperti berikut ini.
    1. Siswa didorong untuk menuliskan baik hasil pemahaman maupun    kesimpulan dengan kata-kata sendiri.
    2. Siswa dapat memanfaatkan lingkungan sosial/alam untuk pengembangan imaginasi atau pun sarana menyelesaikan persoalan.
    3. Keberhasilan siswa dalam siswa memecahkan dan menyelesaikan masalah  akan dipajang di kelas.
2.       Pembelajaran guru akan bervariasi, klasikal, kelompok, individu, tergantung situasi.
3.       Siswa dengan bebas mengutarakan pendapatnya
4.       Evaluasi dengan beberapa jenis.
5.       Siswa  memanfaatkan perpustakaan.   
D. METODOLOGI PENELITIAN
 Untuk menjawab permasalahan di atas, maka akan dilaksanakan  penelitian tindakan (Action Research). Langkah-langkah dan desain penelitian mengikuti prinsip dasar  yang dikemukakan oleh Kemmis dan Taggart (1998: 13). Prosedur dan langkah-langkah penelitian mengikuti prinsip dasar yang berlaku dalam penelitian tindakan. Desain penelitian tindakan terdiri dari empat tahap  yang merupakan proses daur ulang (siklus) mulai dari tahap perencanaan (planning) , pelaksanaan tindakan (action) , observasi (observation)  dan refleksi (reflection) serta diikuti dengan perencanaan ulang (replanning) jika diperlukan.  Teknik pengumpulan data dengan  observasi, tes,  interview, dan field note.   Data yang berhasil dikumpulkan melalui observasi, interview dan field note  akan dianalisis dengan menggunakan metode alir (Miles dan Huberman, 1992: 17). Data kuantitatif sebagai pendukung data kualitatif akan dianalisis dengan uji beda. Pengecekan data akan dilaksanakan dengan trianggulasi di antara peneliti , oberver, dan mahasiswa. Setelah dilaksanakan tindakan serta seluruh data terkumpul, maka diadakan refleksi di antara peneliti, observer dan melibatkan mahasiswa untuk menentukan perlu tidaknya diadakan perencanaan ulang sebagai pelaksanaan siklus lanjutan. Pelaksanaan tindakan akan  dihentikan jika mean skor mahasiswa dari hasil tes akhir tindakan sudah mencapai 75 atau lebih dalam rentang skor antara 0 – 100; jalannya perrkuliahan sudah baik menurut kriteria yang ditentukan serta respon mahasiswa sudah positif.  
Pemecahan masalah adalah suatu proses penemuan suatu respon yang tepat terhadap suatu situasi yang benar-benar unik dan baru bagi pemecah masalah (siswa). Kemampuan pemecahan masalah adalah salah satu objek tak langsung dalam belajar matematika (Bell, 1981: 119). Gagne mengemukakan belajar pemecahan masalah adalah tingkat tertinggi dari hierarkhi belajar (Bell, 1981; Hudoyo, 1988; Dahar, 1989). Selanjutnya Hudojo (Aisyah, 2007: 5-3) mengemukakan pemecahan masalah pada dasarnya merupakan proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi sampai masalah itu tidak lagi menjadi masalah baginya.
Pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan penting dalam matematika sekolah, karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Melalui kegiatan ini aspek-aspek kemampuan matematik penting seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, komunikasi matematik, dan lain-lain dapat dikembangkan secara lebih baik.
Pengajaran matematika di SD, juga bertujuan untuk melatih siswa memecahkan masalah. Melalui pemecahan masalah, diharapkan siswa dapat mengembangkan kemampuan memecahkan masalah-masalah yang mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pendekatan pemecahan masalah seyogyanya menjadi bagian dari pembelajaran matematika di sekolah.
Matematika yang disajikan dalam bentuk masalah akan memberikan motivasi kepada siswa untuk mempelajari matematika lebih dalam. Dengan dihadapkan suatu masalah matematika, siswa akan berusaha menemukan penyelesaiannya melalui berbagai strategi pemecahan masalah matematika. Kepuasan akan tercapai apabila siswa dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Kepuasan intelektual ini merupakan motivasi intrinsik bagi siswa. Dengan demikian, tampak jelas bahwa pemecahan masalah matematika mempunyai kedudukan yang penting dalam pembelajaran matematika di SD Aisyah (2007: 5-1)
Skemp (Aisyah, 2007: 5-6) mengatakan pendekatan pemecahan masalah merupakan suatu pedoman mengajar yang sifatnya teoritis atau konseptual untuk melatihkan siswa memecahkan masalah – masalah matematika dengan menggunakan berbagai strategi dan langkah pemecahan masalah yang ada.
Ciri–ciri pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah adalah: a) siswa dihadapkan pada situasi yang mengharuskan mereka memahami masalah (mengidentifikasi unsur yang diketahui dan yang ditanyakan), b) membuat model matematika, c) memilih strategi penyelesaian model matematika, dan d) melaksanakan penyelesaian model matematika dan menyimpulkan. Untuk menghadapi situasi ini, guru memberikan kesempatan yang sebesar–besarnya bagi siswa untuk mengembangkan ide–ide matematikanya sehingga siswa dapat memecahkan masalah tersebut dengan baik.
Selanjutnya Sanjaya (2007: 220) mengemukakan beberapa keunggulan pembelajaran dengan pendekatan pemecahan masalah diantaranya:
a. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk memahami isi pelajaran.
b. Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
c. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
d. Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
e. Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping itu, pemecahan masalah itu juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
f. Melalui pemecahan masalah bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran, bahwa pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari buku–buku saja.
g. Pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.
h. Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
i. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
Johson dan Rising (Syamsuddin, 2003: 224) mengemukakan beberapa alasan pemecahan masalah menjadi suatu kegiatan belajar yang paling signifikan dalam pembelajaran matematika, yaitu:
a). Pemecahan masalah adalah suatu proses untuk belajar suatu konsep baru.
Memecahkan masalah merupakan suatu cara yang sangat baik bagi siswa untuk belajar suatu konsep baru. Di dalam proses pemecahan masalah sering ditemukan suatu konsep atau prinsip yang belum pernah dipelajari. Sebagai contoh melalui suatu diskusi tentang masalah pembuktian himpunan bilangan prima adalah tak hingga (infinit), bisa menjadi suatu langkah untuk menentukan prinsip pembuktian tidak lansung dalam matematika.
b). Pemecahan masalah adalah suatu cara yang paling tepat untuk mempratekkan keterampilan komputasional .
Kebiasaan memecahkan masalah menjadi suatu latihan menggunakan konsep-konsep maupun prinsip matematika yang telah dipelajari. Hal ini perlu karena dalam belajar matematika tidak cukup hanya dengan manghafal. Setiap konsep ataupun prinsip matematika yang dipelajari perlu dipraktekan, sehingga matematika dapat bermanfaat. Hal ini dapat dicapai melalui pemecahan masalah.
c). Melalui pemecahan masalah diperoleh pengetahuan baru.
Di dalam pemecahan banyak muncul pengetahuan baru yang sebelumnya tidak pernah dipelajari. Seseorang yang terbiasa memecahkan masalah matematika akan mendapatkan manfaat yang sangat besar dengan adanya pengetahuan baru yang muncul dalam pemecahan masalah.
d). Pemecahan masalah dapat merangsang rasa keingintahuan intelektual.
Rasa ingin tahu suatu dorongan yang sangat penting dalam belajar matematika. Adanya rasa ingin tahu mendorong seseorang untuk mempelajari hal-hal yang baru. Untuk menimbulkan rasa ingin tahu dibutuhkan adanya sesuatu yang menantang. Hal seperti ini biasanya muncul bila seseorang menghadapi suatu masalah yang harus segera dipecahkan.
Untuk menerapkan pendekatan pemecahan masalah dalam pembelajaran pemecahan masalah matematika di SD, dapat dilakukan secara klasikal maupun kelompok dengan mengikuti langkah-langkah umum pendekatan pemecahan masalah
dan langkah-langkah pembelajaran yang biasa dilakukan di SD, yaitu pendahuluan, pengembangan, penerapan dan penutup.
1. Model Pembelajaran Induktif
Pendekatan ini dikembangkan oleh filosof Perancis Bacon yang menghendaki
penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta-fakta yang kongkrit sebanyak mungkin. Semakin banyak fakta semakin mendukung hasil simpulan.
Langkah-langkah yang harus Anda tempuh dalam model pembelajaran dengan pendekatan induktif yaitu:
(1) PEMILIHAN PRINSIP
guru memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktif
(2) PEMBERIAN CONTOH
guru menyajikan contoh khusus, yang mendukung prinsip, atau aturan yang memungkinkan siswa memperkirakan sifat umum yang terkandung dalam contoh,
(3) PEMBERIAN CONTOH LAIN
guru menyajikan bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau mengangkat perkiraan, dan memperkuat prinsip
(4) MENYIMPULKAN
menyimpulkan, memberi penegasan dari beberapa contoh kemudian disimpulkan dari contoh tersebut menuju sebuah prinsip yang hendak dicapai siswa.
2. Model Pembelajaran Deduktif
Pendekatan deduktif merupakan pendekatan yang mengutamakan penalaran dari umum ke khusus. Langkah-langkah yang dapat Anda tempuh dalam model pembelajaran dengan pendekatan deduktif dijelaskan sebagai berikut:
(1) guru memilih konsep, prinsip aturan yang akan disajikan,
(2) guru menyajikan aturan, prinsip yang berifat umum, lengkap dengan definisi dan contoh-contohnya,
(3) guru menyajikan contoh-contoh khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan khusus dengan aturan prinsip umum yang didukung oleh media yang cocok,
(4) guru menyajikan bukti-bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan bahwa keadaan umum itu merupakan gambaran dari keadaan khusus
Pendekatan Deduktif – Induktif
Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif ditandai dengan pemaparan konsep, definisi dan istilah-istilah pada bagian awal pembelajaran. Pendekatan deduktif dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik bila siswa telah mengetahui wilayah persoalannya dan konsep dasarnya(Suwarna,2005).
Pendekatan Induktif
Ciri uatama pendekatan induktif dalam pengolahan informasi adalah menggunakan data untuk membangun konsep atau untuk memperoleh pengertian. Data yang digunakan mungkin merupakan data primer atau dapat pula berupa kasus-kasus nyata yang terjadi dilingkungan.
Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran dengan pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Di bidang sain dan teknik dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan pengetahuan utama mahasiswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan pada guru mentransfer informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam Prince dan Felder, 2006) melakukan penelitian dibidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: ”All new learning involves transfer of information based on previous learning”, artinya semua pembelajaran baru melibatkan transfer informasi berbasis pembelajaran sebelumnya.
Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif dimulai dengan menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika. Contoh urutan pembelajaran: (1) definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip contoh dikerjakan siswa dengan maksud untuk menguji pemahaman siswa tentang definisi yang disampaikan.
Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran pendekatan deduktif adalah dengan pendekatan induktif . Beberapa contoh pembelajaran dengan pendekatan induktif misalnya pembelajaran inkuiri, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran berbasis kasus, dan pembelajaran penemuan. Pembelajaran dengan pendekatan induktif dimulai dengan melakukan pengamati terhadap hal-hal khusus dan menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau memberi masalah konstekstual, siswa dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur berdasar pengamatan siswa sendiri.
Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efektif untuk mengajarkan konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan memberikan contoh-contoh atau kasus khusus menuju konsep atau generalisasi. Siswa melakukan sejumlah pengamatan yang kemudian membangun dalam suatu konsep atau geralisasi. Siswa tidak harus memiliki pengetahuan utama berupa abstraksi, tetapi sampai pada abstraksi tersebut setelah mengamati dan menganalisis apa yang diamati.
Dalam fase pendekatan induktif-deduktif ini siswa diminta memecahkan soal atau masalah. Kemp (1994: 90) menyatakan ada dua kategori yang dapat dipakai dalam membahas materi pembelajaran yaitu metode induktif dan deduktif. Pada prinsipnya matematika bersifat deduktif. Matematika sebagai “ilmu” hanya diterima pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran “yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus” Soedjadi (2000: 16). Dalam kegiatan memecahkan masalah siswa dapat terlibat berpikir dengan dengan menggunakan pola pikir induktif, pola pikir deduktif, atau keduanya digunakan secara bergantian.
Pendekatan komunikatif
Munculnya pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa bermula dari adanya perubahan-perubahan dalam tradisi pembelajaran bahasa di Inggris pada tahun 1960-an menggunakan pendekatan situasional (Tarigan, 1989:270). Dalam pembelajaran bahasa secara situasional, bahasa diajarkan dengan cara mempraktikkan/melatihkan struktur-struktur dasar dalam berbagai kegiatan berdasarkan situasi yang bermakna. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, seperti halnya teori linguistik yang mendasari audiolingualisme, ditolak di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1960-an dan para pakar linguistik terapan Inggris pun mulai mempermasalahkan asumsi-asumsi yang mendasari pengajaran bahasa situasional. Menurut mereka, tidak ada harapan/masa depan untuk meneruskan mengajar gagasan yang tidak masuk akal terhadap peramalan bahasa berdasarkan peristiwa-peristiwa situasional. Apa yang dibutuhkan adalah suatu studi yang lebih cermat mengenai bahasa itu sendiri dan kembali kepada konsep tradisional bahwa ucapan-ucapan mengandung makna dalam dirinya dan mengekspresikan makna serta maksud-maksud pembicara dan penulis yang menciptakannya (Howatt, 1984:280, dalam Tarigan, 1989:270).
Pendekatan komunikatif adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk membuat kompetensi komunikatif sebagai tujuan pembelajaran bahasa, juga mengembangkan prosedur-prosedur bagi pembelajaran 4 keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, berbicara, dan menulis), mengakui dan menghargai saling ketergantungan bahasa.
Ciri utama pendekatan komunikatif adalah adanya 2 kegiatan yang saling berkaitan erat, yakni adanya kegiatan-kegiatan komunikatif fungsional (functional communication activies) dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya interaksi sosial (social interaction activies). Kegiatan komunikatif fungsional terdiri atas 4 hal, yakni: mengolah infomasi, berbagi dan mengolah informasi, berbagi informasi dengan kerja sama terbatas, dan berbagi informasi dengan kerja sama tak terbatas. Kegiatan interaksi sosial terdiri atas 6 hal, yakni: improvisasi lakon-lakon pendek yang lucu, aneka simulasi, dialog dan bermain peran, sidang-sidang konversasi, diskusi, serta berdebat.
Ada delapan aspek yang berkaitan erat dengan pendekatan komunikatif (Nunan, 1989, dalam Solchan T.W., dkk. 2001:66), yaitu:
a. Teori Bahasa Pendekatan Komunikatif berdasarkan teori bahasa menyatakan bahwa pada hakikatnya bahasa adalah suatu sistem untuk mengekspresikan makna, yang menekankan pada dimensi semantik dan komunikatif daripada ciri-ciri gramatikal bahasa. Oleh karena itu, yang perlu ditonjolkan adalah interaksi dan komunikasi bahasa, bukan pengetahuan tentang bahasa.
b. Teori belajar yang cocok untuk pendekatan ini adalah teori pemerolehan bahasa kedua secara alamiah.
c. Tujuan mengembangkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi (kompetensi dan performansi komunikatif).
d. Silabus harus disusun searah dengan tujuan pembelajaran dan tujuan yang dirumuskan dan materi yang dipilih sesuai dengan kebutuhan siswa.
e. Tipe kegiatan tukar menukar informasi, negosiasi makna atau kegiatan lain yang bersifat riil.
f. Peran guru fasilitator proses komunikasi, partisipan tugas dan tes, penganalisis kebutuhan, konselor, dan manajer proses belajar.
g. Peran siswa pemberi dan penerima, sehingga siswa tidak hanya menguasai bentuk bahasa, tapi juga bentuk dan maknanya.
h. Peranan materi pendukung usaha meningkatkan kemahiran berbahasa dalam tindak komunikasi nyata.

Prosedur-prosedur pembelajaran berdasarkan pendekatan komunikatif lebih bersifat evolusioner daripada revolusioner. Adapun garis kegiatan pembelajaran yang ditawarkan mereka adalah; penyajian dilog singkat, pelatihan lisan dialog yang disajikan, penyajian tanya jawab, penelaah dan pengkajian, penarikan simpulan, aktivitas interpretatif, aktivitas produksi lisan, pemberian tugas, pelaksanaan evaluasi.

2.2.1.4 Pendekatan Integratif
Pendekatan Integratif dapat dimaknakan sebagai pendekatan yang menyatukan beberapa aspek ke dalam satu proses. Integratif terbagi menjadi interbidang studi dan antarbidang studi. Interbidang studi artinya beberapa aspek dalam satu bidang studi diintegrasikan. Misalnya, mendengarkan diintegrasikan dengan berbicara dan menulis. Menulis diintegrasikan dengan berbicara dan membaca. Materi kebahasaan diintegrasikan dengan keterampilan bahasa. Integratif antarbidang studi merupakan pengintegrasian bahan dari beberapa bidang studi. Misalnya, bahasa Indonesia dengan matematika atau dengan bidang studi lainnya.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, integratif interbidang studi lebih banyak digunakan. Saat mengajarkan kalimat, guru tidak secara langsung menyodorkan materi kalimat ke siswa tetapi diawali dengan membaca atau yang lainnya. Perpindahannya diatur secara tipis. Bahkan, guru yang pandai mengintegrasikan penyampaian materi dapat menyebabkan siswa tidak merasakan perpindahan materi.
Integratif sangat diharapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pengintegrasiannya diaplikasikan sesuai dengan kompetensi dasar yang perlu dimiliki siswa. Materi tidak dipisah-pisahkan. Materi ajar justru merupakan kesatuan yang perlu dikemas secara menarik.
1.  Pendekatan tujuan pembelajaran
Pendekatan ini berorientasi pada tujuan akhir yang akan dicapai. Sebenarnya pendekatan ini tercakup juga ketika seorang guru merencanakan pendekatan lainnya, karena suatu pendekatan itu dipilih untuk mencapai tujuan pembelajaran. Semua pendekatan dirancang untuk keberhasilan suatu tujuan.
Sebagai contoh : Apabila dalam tujuan pembelajaran tertera bahwa siswa dapat mengelompokan makhluk hidup, maka guru harus merancang pembelajaran, yang pada akhir pembelajaran tersebut siswa sudah dapat mengelompokan makhluk hidup. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut dapat berupa metode tugas atau karyawisata.

2.  Pendekatan konsep
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa dibimbing memahami suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya. Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi fokus. Dengan beberapa metode siswa dibimbing untuk memahami konsep.
3.  Pendekatan lingkungan
Penggunaan pendekatan lingkungan berarti mengaitkan lingkungan dalam suatu proses belajar mengajar. Lingkungan digunakan sebagai sumber belajar. Untuk memahami materi yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari – hari sering digunakan pendekatan lingkungan.

4.  Pendekatan inkuiri
Penggunaan pendekatan inkuiri berarti membelajarkan siswa untuk mengendalikan situasi yang dihadapi ketika berhubungan dengan dunia fisik yaitu dengan menggunakan teknik yang digunakan oleh para ahli peneliti ( Dettrick, G.W., 2001 ). Pendekatan inkuiri dibedakan menjadi inkuiri terpempin dan inkuiri bebas atau inkuiri terbuka. Perbedaan antara keduanya terletak pada siapa yang mengajukan pertanyaan dan apa tujuan dari kegiatannya.

5.  Pendekatan penemuan
Penggunaan pendekatan penemuan berarti dalam kegiatan belajar mengajar siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri fakta dan konsep tentang fenomena ilmiah. Penemuan tidak terbatas pada menemukan sesuatu yang benar – benar baru. Pada umumnya materi yang akan dipelajari sudah ditentukan oleh guru, demikian pula situasi yang menunjang proses pemahaman tersebut. Siswa akan melakukan kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan hal yang akan ditemukan.

6.  Pendekatan proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar.

7.  Pendekatan interaktif ( pendekatan pertanyaan anak )
Pendekatan ini memberi kesempata pada siswa uuntuk mengajukan pertanyaan untuk kemudian melakukan penyelidikan yang berkaitan dengan pertanyaan yang mereka ajukan ( Faire & Cosgrove, 1988 dalam Herlen W, 1996 ). Pertanyaan yang diiajukn siswa sangat bervariasi sehingga guru perlu melakukan llangkah – langkah mengumpulkan, memilih, dan mengubah pertanyaan tersebut menjadi suatu kegiatan yng spesifik.

8.  Pendekatan pemecahan masalah
Pendekatan pemecahan masalah berangkat dari masalah yang harus dipecahkan melalui praktikum atau pengamatan. Dalam pendekatan ini ada dua versi. Versi pertama siswa dapat menerima saran tentang prosedur yang digunakan, cara mengumpulkan data, menyusun data, dan menyusun serangkaian pertanyaan yang mengarah ke pemecahan masalah. Versi kedua, hanya masalah yang dimunculkan, siswa yang merancang pemecahannya sendiri. Guru berperan hanya dalam menyediakan bahan dan membantu memberi petunjuk.

9.  Pendekatan sains teknologi dan masyarakat ( STM )
Hasil penelitian dari National Science Teacher Association ( NSTA ) ( dalam Poedjiadi, 2000 ) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek : kaitan dan aplikasi bahan pelajaran, kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima siswa akan lebih lama diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM ini tercakup juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan pada masalah yang ditemukan sehari – hari, yang dalam pemecahannya menggunakan langkah – langkah ilmiah

10.  Pendekatan terpadu
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang intinya memadukan dua unsur atau lebih dalam suatu kegiatan pembelajaran. Pemaduan dilakukan dengan menekankan pada prinsip keterkaitan antar satu unsur dengan unsur lain, sehingga diharapkan terjadi peningkatan pemahaman yang lebih bermakna dan peningkatan wawasan karena satu pembelajaran melibatkan lebih dari satu cara pandang.
Pendekatan terpadu dapat diimplementasikan dalam berbagai model pembelajaran. Di Indonesia, khususnya di tingkat pendidikan dasar terdapat tiga model pemdekatan terpadu yang sedang berkembang yaitu model keterhubungan, model jaring laba – laba, model keterpaduan.

Pendekatan kesejarahan
BEBERAPA PERMASALAHAN DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Beberapa pakar pendidikan sejarah maupun sejarawan memberikan pendapat tentang fenomena pembelajaran sejarah yang terjadi di Indonesia diantaranya masalah model pembelajaran sejarah, kurikulum sejarah, masalah materi dan buku ajar atau buku teks, profesionalisme guru sejarah dan lain sebagainya.
Yang pertama adalah masalah model pembelajaran sejarah. Menurut Hamid Hasan dalam Alfian (2007) bahwa kenyataan yang ada sekarang, pembelajaran sejarah jauh dari harapan untuk memungkinkan anak melihat relevansinya dengan kehidupan masa kini dan masa depan. Mulai dari jenjang SD hingga SMA, pembelajaran sejarah cenderung hanya memanfaatkan fakta sejarah sebagai materi utama. Tidak aneh bila pendidikan sejarah terasa kering, tidak menarik, dan tidak memberi kesempatan kepada anak didik untuk belajar menggali makna dari sebuah peristiwa sejarah.
Taufik Abdullah memberi penilaian, bahwa strategi pedagogis sejarah Indonesia sangat lemah. Pendidikan sejarah di sekolah masih berkutat pada pendekatan chronicle dan cenderung menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa (Abdullah dalam Alfian, 2007:2). Siswa tidak dibiasakan untuk mengartikan suatu peristiwa guna memahami dinamika suatu perubahan.
Sistem pembelajaran sejarah yang dikembangkan sebenarnya tidak lepas dari pengaruh budaya yang telah mengakar. Model pembelajaran yang bersifat satu arah dimana guru menjadi sumber pengetahuan utama dalam kegiatan pembelajaran menjadi sangat sulit untuk dirubah. Pembelajaran sejarah saat ini mengakibatkan peran siswa sebagai pelaku sejarah pada zamannya menjadi terabaikan. Pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan pelajaran di kelas, sehingga menempatkan siswa sebagai peserta pembelajaran sejarah yang pasif (Martanto, dkk, 2009:10). Dengan kata lain, kekurangcermatan pemilihan strategi mengajar akan berakibat fatal bagi pencapaian tujuan pengajaran itu sendiri (Widja, 1989:13).
Kedua adalah masalah kurikulum sejarah, karena kurikulum adalah salah satu komponen yang menjadi acuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Secara umum dapat dikatakan bahwa kurikulum adalah rencana tertulis dan dilaksanakan dalam suatu proses pendidikan guna mengembangkan potensi peserta didik menjadi berkualitas. Dalam sebuah kurikulum termuat berbagai komponen, seperti, tujuan, konten dan organisasi konten, proses yang menggambarkan posisi peserta didik dalam belajar dan asessmen hasil belajar. Selain komponen tersebut, kurikulum sebagai suatu rencana tertulis dapat pula berisikan sumber belajar dan peralatan belajar dan evaluasi kurikulum atau program.
Sejak Indonesia merdeka, telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum dan mata pelajaran sejarah berada didalamnya. Akan tetapi materi-materi yang diberikan dalam kurikulum yang sering mendapat kritik dari masyarakat maupun para pemerhati sejarah baik dari pemilihannya, teori pengembangannya dan implimentasinya yang seringkali digunakan untuk mendukung kekuasaan (Alfian, 2007:3).
Ketika Orde Baru bermaksud menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, tujuan pendidikan nasional diarahkan untuk mendukung maksut tersebut. Tentu saja kurikulum sekolahan dikembangkan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Kurikulum 1986 yang berlaku pada awal masa Orde Baru kemudian mengalami pergantian menjadi kurikulum 1975, kurikulum sejarah juga mengalami penyempurnaan. Demikian seterusnya terjadi beberapa perubahan kurikulum menjadi kurikulum 1984, 1994 dan 2004 (Umasih dalam Alfian, 2007:3). Kurikulum yang dipakai arahannya kurang jelas dan sangat berbau politis, artinya kurikulum yang digunakan tidak lepas dari adanya kepentingan-kepentinagn dari rezim yang berkuasa. Sejarah dijadikan alat untuk membangun paradigma berfikir masyarakat mengenai perjalanan sejarah bangsa dengan mengagung-agungkan rezim yang mempunyai kekuasaan. Sistem pembelajaran yang diterapkan tidak mengarahkan siswa untuk berfikir kritis mengenai suatu peristiwa sejarah, sehingga siswa seakan-akan dibohongi oleh pelajaran tentang masa lalu (Anggara, 2007:103).
Selain masalah kurikulum yang selalu mengalami perubahan, masalah yang tak kalah pentingnya adalah masalah materi dan buku ajar/buku teks sejarah. Menurut Lerissa (dalam Alfian, 2007), masalah buku ajar ini sudah ada sejak sistem pendidikan nasional mulai diterapkan di Indonesia tahun 1946. Saat buku ajar yang dipakai sebagai bahan ajar sejarah adalah karangan Sanusi Pane yang berjudul Sejarah Indonesia (4 Jilid) yang ditulis atas permintaan pihak Jepang pada tahun 1943-1944, yang kemudian dicetak ulang pada tahun 1946 dan 1950. Pada tahun 1957 Anwar Sanusi menulis buku sejarah Indonesia untuk sekolah menengah (3 Jilid). Setelah itu kemudian muncul berbagai buku ajar laniya yang ditulis oleh berbagai pihak, terutama oleh guru, salah satunya buku yang dikarang oleh Subantardjo.
Pada tahun 1970, para ahli sejarah yang terhimpun dalam Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) mengadakan “Seminar Sejarah II” di Jogjakarta dan menghasilkan sebuah keputusan untuk menulis buku sejarah untuk keperluan perguruan tinggi dan bisa dijadikan sumber buku ajar di SMP dan SMA. Buku yang terdiri dari 6 jilid itu, kemudian juga tidak luput dari permasalahannya dan sempat memunculkan pertentangan. Tidak semua penulis menggunakan metodo;logi yang sama yang telah ditentukan oleh editor umum, Prof. sartono Kartodirdjo (pendekatan structural); masing-masing penulis membawa tradisi ilmiah yang telah melekat pada dirinya (i structural atau naratif/kisah). Pada masa itu perbedaan antara pendekatan structural dan pendekatan naratif secara metodologis tidak bisa dijembatani sama sekali. Masing-masing mempunyai domain sendiri-sendiri. Konflik yang berkepanjangan ini menyebabkan Sartono mengundurkan diri dan diikuti oleh penulis-penulis lainnya. Setelah buku tersebut dicetak ulang (1983-1984) sebagi editor umum hanya tercantum nama Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan Prof. Dr. Marwati Djoned Poesponegoro (Alfian, 2007:5). Tahun 1993 sempat dilakukan revisi oleh RZ Lerissa dan Anhar Gonggong dan kawan-kawan, namun entah kenapa kabarnya buku itu tidak diedarkan (Purwanto dan Adam, 2005:105).
Hampir seluruh buku ajar, baik yang diterbitkan oleh swasta maupun pemerintah sebenarnya tidak layak untuk dijadikan referensi. Hampir seluruh penulis buku hanya membaca dokumen kurikulum secara harfiah dan tidak mampu memahami jiwa kurikulum dengan baik. Sebagian besar penulis buku juga tidak paham sejarah sebagi ilmu, historiografi, dan tertinggal sangat jauh dalam referensi mutahkir penulisan (Purwanto, 2006:268).
Masalah profesionalisme guru sejarah juga masih dipertanyakan, sampai saat ini masih berkembang kesan dari para guru, pemegang kebijakan di sekolah bahwa pelajaran sejarah dalam mengajarkannya tidak begitu penting memperhatikan masalah keprofesian, sehingga tidak jarang tugas mengajar sejarah diberikan kepada guru yang bukan profesinya. Akibatnya, guru mengajarkan sejarah dengan ceramah mengulangi apa isi yang ada dalam buku (Anggara, 2007:102). Sementara itu terlalu banyak sekolah yang memposisikan guru sejarah sebagi orang buangan, dan mata pelajaran sejarah sekedar sebagai pelengkap. Bahkan banyak kasus ditemukan, guru sejarah menjadi sasaran untuk menaikkan nilai siswa agar yang bersangkutan dapat naik kelas. Selain itu, sebagian besar guru juga tidak mengikuti perkembangan hasil penelitian dan penerbitan mutakhir sejarah Indonesia. Hal yang terekhir itu juga berkaitan denagn adanya kenyataan bahwa institusi resmi yang menjadi tempat pendidikan tambahan bagi guru sejarah itu hanya berkutat pada substansi historis dan metode pengajaran sejarah yang tertinggal jauh (Purwanto, 2006:268).
Pengajaran sejarah di sekolah selama ini sering dilakukan kurang optimal. Pelajaran sejarah seolah sangat mudah dan digampangkan. Banyak pendidik yang tidak berlatar belakang pendidikan sejarah terpaksa mengajar sejarah di sekolah (Hariyono, 1995:143).
SOLUSI PERMASALAHAN PEMBELAJARAN SEJARAH
Salah satu metode pembelajaran sejarah yang cocok untuk menjadikan siswa aktif dan guru sebagai fasilitatornya adalah kontruktivisme, inquiry, dan cooperatif learning. Kontruktivisme adalah bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (Anggara, 2007:104). Pembelajaran sejarah kontruktivisme berkaitan dengan pembelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Metode inquiry juga sesuai dalam pembelajaran sejarah. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Penggunaan model pembelajaran cooperatif learning menempatkan guru sebagai fasilitator, director-motivator dan evaluator bagi siswa dalam upaya membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan kemampuan berfikir kritis, agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, mampu bekerjasama dengan orang lain, dan mampu berinteraksi sosial dengan masyarakat.
Kurikulum sejarah merupakan suatu konsep atau kontrak yang merencanakan pendidikan sejarah bagi sekelompok penduduk usia muda tertentu yang mengikuti jenjang pendidikan tertentu. Tujuan dari lembaga pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu menentukan konsep pendidikan sejarah yang harus dikembangkan bagi peserta didik lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu kurikulum pendidikan sejarah digambarkan dalam bentuk tujuan, materi/pokok bahasan, cara belajar peserta didik, dan asessmen hasil belajar baik dalam bentuk perencanaan tertulis maupun imlementasinya. Untuk kemudian dilakukan evaluasi kurikulum untuk mengetahui keberhasilan atau kagagalan kurikulum dalam mencapai tujuan (Hasan dalam Nursam, dkk. (ed)., 2008:421).
Untuk dapat kembali mengajarkan sejarah secara baik dan menarik, pendidik mempunyai keleluasaan mengolah dan menata materi yang ada. Sudah barang tentu tidak mungkin topik yang ada dalam kurikulum dapat diselesaikan dengan alokasi waktu yang tersedia. Untuk itulah bagaimana pendidik mengontrol berbagai materi pengajaran yang memungkinkan dipelajari di luar kelas. Kurikulum yang baik untuk kelas tertentu adalah yang cocok, terencana dengan baik, sesuai, menyajikan pemikiran yang bijaksana dan sistematis. Tujuan kurikulum adalah membuka peluang melalui perencanaan yang bijaksana bagi tumbuhkembangnya mata pelajaran dan para siswanya (Hariyono, 1995:172 ; Kochar, 2008:68).
Sesuai dengan ketetapan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan PP No. 19 tahun 2005, maka pengembanagn kurikulum pendidikan sejarah dimasa mendatang adalah tanggungjawab satuan pendidikan. Artinya, pengembangan kurikulum pendidikan sejarah SD, SMP, SMA menjadi tanggungjawab masing-masing sekolah tersebut. Melalui pengembangan dan penempatan sejarah lokal sebagai materi kurikulum yang dasar, terlepas apakah materi tersebut dikemas dalam mata pelajaran sejarah ataukah mata pelajaran lain. Posisi materi sejarah lokal dalam kurikulum dianggap penting karena pendidikan harus dimulai dari lingkungan terdekat dan peserta didik harus menjadi dirinya sebagai anggota masyarakat terdekat (Hasan, 2007:8-13). Kurikulum sejarah tersebut harus mampu mengembangkan kualitas manusia Indonesia masa mendatang, yaitu (1) semangat yang kuat, (2) kemampuan berpikir baik yang bersifat proaktif maupun reaktif (3) memiliki kemampuan mencari, memilih, menerima, mengolah dan memanfaatkan informasi melalui berbagai media (4) mengambil inisiatif (5) tingkat kreativitas yang tinggi dan (6) kerjasama yang tinggi (Musnir dalam Gunawan (ed), 1998:130).
Sedangkan untuk mengatasi permasalahan buku teks harus ada kriteria yang baik. Salah satu kriteria buku cetak yang baik menurut Kochar (2008) adalah buku cetak harus bersih dari indoktrinasi. Buku cetak harus menyajikan pandangan yang adil tentang berbagai macam ide yang disampaikan pada fase kehidupan tertentu. Buku ini harus tidak mengandung sekumpulan pendapat yang sempit, tidak mengandung terlalu banyak nasionalisme hingga cenderung membelenggu, kaku, dan resmi. Buku ini harus tidak menanamkan kebiasaan memberikan tanggapan secara spontan tanpa berpikir terlebih dahulu, penilaian yang menyakitkan dan tanggapan yang emosional. Pandangan yang bias dan prasangka penulis harus tidak tercermin didalam lembaran buku cetak. Buku cetak yang dipergunakan siswa harus mengatakan kebenaran yang sesungguhnya, dan tidak ada yang lain selain kebenaran.
Ada bahaya dibalik pemakaian buku cetak tunggal karena akan menciptakan batasan-batasan. Siswa cenderung mengembangkan ide yang salah bahwa sejarah sama artinya dengan buku cetak. Dan sebagus apapun buku tersebut tidak akan cukup untuk mendukung siswa dalm belajar. Jadi, saran alternatifnya adalah gunakan buku cetak tunggal sebagi pendukung, dan sediakan serangkaian buku cetak lainnya yang masing-masing mewakili subjek permasalahan dari sudut pandang yang berbeda. Cara ini akan meminimalkan kecenderungan untuk bergantung sepenuhnya pada buku cetak. Selain itu, siswa akan mampu membandingkan dan menyelaraskan sudut-sudut pandang yang berbeda (Kochar, 2008:175).
Sejarah haruslah diinterpretasikan seobjektif dan sesederhana mungkin. Ini dapat terlaksana hanya jika guru sejarah memilki beberapa kualitas pokok. Menurut Kochar (2008:393-395) kualitas yang harus dimilki guru sejarah adalah penguasaan materi dan penguasaan teknik. Dalam penguasaan materi, guru sejarah harus lengkap dari segi akademik. Meskipun ia mengajar kelas-kelas dasar, guru sejarah harus sekurang-kurangnya bergelar sarjana dengan spesialisasi dalam periode tertentu dalam sejarah. Di kelas-kelas yang lebih tinggi, sebagi tambahan untuk subjek yang menjadi spesialisasinya, guru sejarah harus dapat memasukkan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Setiap guru harus sejarah harus memperluas dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait seperti bahasa modern, sejarah filsafat, sejarah sastra, dan geografi. Dalam penguasaan teknik, guru sejarah harus meguasai berbagai macam metode dan teknik dalam pembelajaran sejarah. Ia harus menciptahkan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan agar proses belajar-mengajar dapat berlangsung dengan cepat dan baik.
Pendidikan dan pembinaan guru perlu ditingkatkan untuk menghasilkan guru yang bermutu dan dalam jumlah yang memadai, serta perlu ditingkatkan pengembangan karier dan kesejahteraannya termasuk pemberian penghargaan bagi guru yang berprestasi (Musnir dalam Gunawan (ed), 1998: 129). Maka dari itu secara professional, guru sejarah harus memilki pemahaman tentang hakikat pembelajaran sejarah, tujuan pembelajaran sejarah, kompetensi-kompetensi apa yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, nilai-nilai apa yang dibutuhkan dan dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, sebelum nantinya guru dapat menentukan metode atau pendekatan yang digunakan (Anggara, 2007:102-103).


No comments:

Post a Comment